Yogyakarta tak hanya dikenal dengan wisata budaya atau wisata alam. Jika Anda menyukai aktivitas pemicu adrenalin, banyak yang bisa Anda lakukan saat berkunjung ke Yogyakarta. Salah satu aktivitas yang sangat menantang adalah paralayang di Parangtritis.
Yogyakarta malah memiliki tempat khusus dalam dunia perparalayangan. Adalah Yogyakarta yang menjadi awal mula olahraga paralayang di Indonesia dengan munculnya Kelompok Terjun Gunung Merapi pada bulan Januari 1990. Mengapa dinamakan terjun gunung? Ya, para perintis olahraga paralayang adalah para pendaki gunung. Mereka adalah Dudy Arief Wahyudi (alm.) dan Gendon Subandono. Agar cepat turun gunung seusai mendakinya, mereka melakukan terjun payung! Jadilah dua sensasi dirasakan.
Kedua orang tadi latihan di bukit-bukit pasir di Parangtritis. Mereka belajar secara mandiri melalui buku, manual, dan majalah paralayang. Selama tiga bulan mereka belajar intensif. Mulai dari awal terbang, mengendalikan saat terbang, sampai mendarat lagi. Selain di Parangtritis, latihan dilakukan di kampus. Waktu terbang pertama mereka menggunakan parasut yang dipinjam dari Lody Karua, pemilik operator wisata arung jeram di Sungai Citarik. Tipe parasut adalah Drakkar produksi Parachute de France tahun 1987.
Seiring waktu, olahraga ini dilirik banyak petualang. Agar tak menimbulkan salah pengertian dan bikin ngeper calon peminat, istilah terjun gunung diganti dengan istilah baku: paralayang. Yah, mendengar kata terjun gunung orang akan berpikiran dari gunung langsung terjun. Bukan nyari sensasi, tapi bunuh diri.
Setahun kemudian, terjun gunung mulai dilirik para petualang lainnya. Nama-nama beken seperti Wien Soehardjo, Bismo, Daweris Taher dan Ferry Maskun mulai meramaikan panggung dunia pembangkit adrenalin ini. Dua nama awal adalah pendaki dan pemanjat asal klub Skienege sedang sisanya penerbang gantole. Sebelumnya, David A. Teak juga telah aktif terbang dengan paralayang. Peresemian perubahan nama itu dilakukan di Gunung Haruman, Jawa Barat.
Karena sudah populer, sekarang ini kita tak perlu bersusah payah untuk menuju ke lokasi peluncuran paralayang. Tak harus jalan kaki terlalu jauh atau naik gunung. Kendaraan roda empat atau roda dua sudah bisa menjangkau tempat-tempat itu. Misalnya saja di Kampung Toga Sumedang, Wonogiri, dan Parangtritis. Sekarang, yang ingin merasakan sensasi terbang dengan merasakan kaki terjuntai dan terpaan angin bisa langsung mencoba paralayang tanpa harus bersusah payah menguras tenaga mendaki gunung.
Olahraga paralayang dilakukan di lereng sebuah bukit sebagai landasan pacunya. Untuk lepas landas, penerbang lari menuruni bukit dan memanfaatkan angin yang menabrak lereng, penerbang pun terangkat ke angkasa bersama parasutnya. Tak selamanya lepas landas ini sukses sebab angin tak bisa ditebak. Bagi yang sudah terbiasa, tentu saja kegagalan ini tak menyurutkan niatnya untuk mencoba lagi. Namun bagi pemula yang ingin merasakan nikmatnya paralayang dengan digendong oleh penerbang yang sudah memiliki kualifikasi untuk itu bisa bikin ciut nyali.
Terbang tandem memang menjadi cara orang awam untuk mencicipi paralayang. Kita duduk dipangku oleh penerbang profesional. Siapa saja boleh ikut terbang. Laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Memang, untuk umur disarankan antara 14 dan 60 tahun. Namun untuk yang berumur kurang dari 18 tahun harus memperoleh izin dari orangtuanya. Mereka yang berpenyakit jantung dan epilepsi dilarang untuk mencicipi paralayang.
Parangtritis dipilih sebagai lokasi penerjuan karena kondisi angin yang bersahabat serta landasannya di atas pasir. Setidaknya hal ini mengurangi risiko cedera saat mendarat. Dalam dunia penerbangan memang saat lepas landas dan mendarat merupakan saat-saat kritis. Meski pas terbang juga bukan hal yang tak berisiko. Lokasi peluncuran adalah Parangendog, timur pantai Parangtritis. Untuk menuju ke sini harus menggunakan sepeda motor atau roda empat sejenis jip.
Dari pantai Parangtritis perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan aspal ke arah Panggang. Sekitar 500 m akan bertemu dengan pertigaan, ambil jalan ke kanan. Menanjak dan jalan tidak semulus jalan utama. Bahkan beberapa berbatu-batu. Sekitar 800 m sampailah kita di Tebing Parangendog. Ada sebuah rumah yang dijadikan base camp selama melakukan paralayang. Jika tidak membawa bekal makanan, tuan rumah bersedia menyiapkan makanan usai kita berparalayang.
Tebing Parangendog yang dijadikan lokasi lepas landas merupakan tebing kapur. Dari sini pantai Parangtritis terhampar di depan kita. Juga laut selatan yang mistis itu. Pagi dan sore hari menjadi tempat yang bagus untuk mencari objek pemotretan.
Sudah siap terbang? (Yds)
Paralayang Parangtritis *Tebing Parangendog *Jln. Parangtritis – Panggang, Bantul *Kontak: Klub Merapi Yogyakarta *Telp.(0274) 625772