Intisari-Online.com - “Karakter orang Indonesia saat tur ke luar negeri, mereka sangat mementingkan sesi foto dan belanja,” jelas Hanny Busiastari dari Bayu Buana Travel Services saat ditanya tentang ciri khas traveler dari Indonesia. Bahkan, meski negara yang dituju memiliki banyak cerita sejarah yang sangat menarik, biasanya mereka hanya tertarik di awal perjalanan. Selebihnya, “Sudah mulai bubar karena lebih memilih untuk foto-foto dan belanja,” ujar Hanny.
Khusus mengenai kegemaran para tamunya yang gemar berbelanja, Hanny teringat pada pengalamannya mendampingi tamu untuk tur di Bangkok. Tamu yang dia bawa hanya berjumlah 18 orang, namun saat akan kembali ke Indonesia, jumlah koper yang mereka bawa mencapai 44 buah. Untung saja maskapai penerbangan yang digunakan masih memberikan toleransi kelebihan muatan tersebut.
Masih mengenai kegemaran turis asal Indonesia dalam berbelanja, James dari Panorama Travel memiliki kenangan saat menjadi tour leader dengan rute Cina dan Hongkong. Saat itu, dia mendampingi rombongan tur keluarga yang terdiri dari tiga orang. Jumlah koper yang dibawa saat keberangkatan memang hanya tiga, namun, saat terbang dari Cina ke Hongkong, jumlahnya menjadi enam.
Jumlah enam koper, yang sudah membuat mereka kerepotan tersebut, ternyata bertambah menjadi delapan saat akan kembali ke Indonesia. Akibat banyaknya koper yang harus dibawa, yang merupakan barang belanjaan, salah satu tamu James harus bersusah payah membawa barang belanjaannya hingga harus menggunakan kursi roda karena keseleo. “Tapi, yang jadi aneh lagi, ketiganya itu laki-laki,” kenang James.
Saat menjadi tour leader dengan Turki dan Dubai sebagai negara tujuan, Sasha juga terkena “dampak” dari kegemaran orang Indonesia dalam berbelanja. Perjalanan itu sendiri merupakan perjalanan insentif, namun dalam kelasvery very important people (VVIP) dan hanya terdiri atas lima orang. Jumlah peserta yang hanya lima orang ini menjadi jomplang dengan jumlah koper yang harus mereka bawa saat kembali ke Indonesia, yaitu 22 koper.
Walau sudah diakali dengan membagi-bagi jumlah bawaan, menggunakan baju berlapis-lapis, dan pasrah dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk extra bagage (AS$900), tidak semua barang dapat dibawa langsung dalam penerbangan tersebut. “Beberapa barang sampai harus dikirim terpisah,” ujar Sasha yang menyebutkan selain baju, barang belanjaan yang mereka beli adalah karpet dan keramik. “Tapi bukan untuk dijual kembali, memang mereka suka saja,” James menambahkan.
Selain harus membayar extra bagage, banyaknya belanjaan juga bisa membuat waktu perjalanan tertunda. Tour leader pun kerap dimintai bantuan. Bukan sekadar membantu mengangkut belanjaan tersebut, kadang juga harus rela dipinjami uang oleh tamu yang sudah kehabisan bekal. “Apalagi mereka yang pertama kali (melakukan perjalanan ke luar negeri), biasanya kalap,” ucap Hanny yang menyebut Beijing sebagai salah satu tujuan wisata belanja dengan harga-harga yang “murmer” alias murah meriah.