Intisari-Online.com - “Manunggale Cipto, Roso, Karso Agawe Rahayuning Bumi Reog”. Menyatunya semangat penciptaan, rasa, dan keinginanlah yang membuat Bumi Reog ini lestari.
Begitu kira-kira arti slogan yang terpampang pada gapura panggung Alun-alun Kota Ponorogo. Kabupaten di Jawa Timur ini memang terkenal lewat salah satu produk seninya, Reog.
Ponorogo terletak 200 km dari Surabaya. Dari Jakarta, kita bisa menjangkaunya dengan menggunakan bus malam dari terminal-terminal utama. Beberapa operator bus di jalur ini adalah Shantika, Kramat Djati, dan Pahala Kencana.
Pilihan lainnya jika lewat udara, kita dapat terbang dulu ke Solo. Lalu melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus sekitar 3 jam untuk sampai di Ponorogo.
Jika beruntung, ketika bertandang ke Ponorogo kita berkesempatan menyaksikan pementasan Reog Ponorogo yang digelar setiap malam bulan purnama. Tempatnya di panggung utama Alun-alun Ponorogo.
(Ingin Mengajak Bayi Liuran Long Weekend? Ini Persiapan Yang Harus Dilakukan)
Pementasannya menjadi objek hiburan rakyat yang masih sangat populer. Terbukti setiap kali ada pementasan warga Ponorogo tumpah ruah di Alun-alun, baik orang dewasa maupun anak-anak.
Pun jika tidak ada pementasan, setiap malem Alun-alun kota selalu menjadi kawasan yang paling semarak di Ponorogo. Ia menjadi ruang publik bagi warga yang ingin bercengkerama di ruang terbuka, terlebih bagi kaum muda-mudi. Di tengah pengunjung hadir para pedagang buah tangan, seniman topeng, serta penjual makanan atau jajanan khas kota itu.
Bagi para pelancong, Ponorogo boleh jadi merupakan salah satu kota penting untuk disinggahi. Di antaranya karena kota ini mempunyai nuansa lokalitas dan seni tradisi yang masih kuat.
Selain Reog, setiap tahun selalu diadakan Grebeg Suro. Ini merupakan upacara yang menampilkan arak-arakan festival Reog, dan Larung sesaji di Telaga Ngebel. Biasanya para pegawai kantor ikut tampil untuk memeriahkan acara. Mereka mengenakan pakaian ala warok selama dua minggu.
Menurut cerita, nama Ponorogo diciptakan secara rembukan oleh Bathoro Katong, Kiai Mirah, Selo Aji, dan Joyo Dipo di bawah sinar purnama.
Mulanya mereka memilih nama Pramana Rogo yang artinya “dalam raga manusia terdapat rahasia hidup berupa olah batin terhadap sifat-sifat positif dan negatif”. Dalam perkembangnnya kemudian, Pramana Rogo dilafalkan dengan Ponorogo.