Intisari-Online.com - Penelitian doktoral Djohan Salim, penulis buku Psikologi Musik, tentang tempo menunjukkan, sebagian orang marah setelah mendengar gamelan yang temponya diubah. Ada tempo yang nyaman, yaitu yang selaras dengan detak jantung."Kalau kita naikkan sedikit, orang bisa terstimulasi untuk merasa gembira. Kalau kita turunkan sedikit orang jadi merasa lapar dan lebih tenang, sedative.Tapi kalau diturunkan sekali, maka orang berubah jadi mangkel (jengkel), ada yang merasa sesak napas atau lehernya berat," papar Djohan.Hal senada disampaikan Dr. Monty Satiadarma, Rektor Universitas Tarumanegara, Jakarta. Musik hingar bingar dan kurang beraturan akan mengganggu fungsi kerja saraf karena otak senantiasa berupaya menyesuaikan dengan ritme dan bunyi.Jika banyak inkonsistensi, maka upaya adaptif akan mengalami ragam perubahan dalam tempo pendek dan berdampak kelelahan.Selain itu, kepekaan musik juga punya hubungan erat dengan karakter individu. JS Bach yang sangat dipengaruhi kehidupan spiritual dan gerejawi gaya musiknya magnificat, manusia seolah kecil di tengah semesta.Johan Strauss yang hidup dalam era romantic menciptakan karya waltz yang penuh romantisme. Mozart yang sangat spontan, kreatif dan ceria, penuh dengan senda gurau, warna musiknya tegas spontan dengan nada bening lincah kekanakan, juga nakal, tetapi kadang tajam bergelora.Selanjutnya, intelegensi atau tingkat intelektual juga mempengaruhi kepekaan terhadap musik. Menurut Monty, tidak ada komposer yang bodoh. Karena kemampuan mengkomposisi musik membutuhkan inteligensi tinggi.Sekarang dengan makin dipahaminya konsep multiple intelligence makin jelas bahwa ada kalangan yang memang memiliki inteligensi musikal tinggi. Djohan menambahkan bahwa pengalaman masa kecil menentukan kecerdasan musikal.Menurut Djohan, sebenarnya tidak ada orang yang suaranya blero atau fals. Hanya tingkat frekuensi yang dikenal orang berbeda-beda. Rata-rata musik yang menggunakan nada 8 oktaf frekuensinya 440 hertz. Namun, gamelan punya frekuensi yang berbeda-beda.Ada indikasi bahwa anak yang masa kecilnya mendengar suara slendro atau pelog, ketika diajak menyanyi bergabung dalam paduan suara, bisa jadi memang suaranya terdengar fals, karena frekuensinya sedikit berbeda. Tapi, kalau anak itu disuruh menyanyi sendiri, tidak terdengar fals.Jadi, Djohan menyarankan, untuk meningkatkan kecerdasan musikal sebaiknya sejak kecil sering mendengar berbagai jenis musik.Hingga kini dan nanti, manusia akan terus menjadi penikmat dan pencipta musik dalam kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang sufi, Hazrat Inayat Khan, semua orang memiliki musik di dalam dirinya, dalam ritme dan harmoni aksi maupun hidupnya. (selesai)
(bersambung)--Tulisan ini dimuat di Majalah Intisari Edisi Mind Body & Soul tahun 2008, ditulis olehEulalia Adventi Kdengan judul asli “Musik Untuk Kebugaran Jiwa".