Jangan Pernah Samakan Persaingan Sehat dengan Kompetisi

K. Tatik Wardayati

Editor

Persaingan Sehat Bukanlah Kompetisi
Persaingan Sehat Bukanlah Kompetisi

Intisari-Online.com -Jangan melihat kompetisi semata dengan orang lain, tetapi lebih kepada diri sendiri. Kalau gagal, jangan salahkan orang lain. Kompetisi itu harus dengan diri sendiri. Mau orang lain lebih bagus atau jelek, yang penting kita sudah maksimal. Yang penting achievement kita bagus.

(Resep Sarapan Sehat: Kue Cokelat untuk Tingkatkan Fungsi Kognitif Otak)

Selain membiasakan bersaing dengan diri sendiri, bersaing sehat berarti juga melihat kinerja kini dan membandingkannya dengan kinerja sebelumnya, semester lalu misalnya, sehingga kita dapat berpacu dengan diri sendiri.

Selain untuk pribadi, persaingan sehat dapat juga diterapkan di komunitas kantor, meski kata persaingan itu sendiri cenderung berkonotasi kurang menguntungkan. Seorang psikolog menyatakan bahwa persaingan sehat bisa diembuskan dari pimpinan. Misalnya, dengan menciptakan sistem dengan pengukuran-pengukuran kinerjanya jelas. Atasan dapat mengatakan, "Kamu lihat pekerjaan temanmu lebih cepat, tepat waktu, dan tanpa kesalahan" atau "Kamu dinilai jelek karena pekerjaan kamu di edisi Juni tidak lengkap dan tidak fokus."

(Kedewasaan Tidak Bersaing, tapi Berbagi)

Jangan kepribadian yang dipersoalkan. Kalau ingin menciptakan iklim yang sehat, pimpinan harus menghargai setiap kemajuan bawahannya. Selain itu, harus menciptakan transparansi informasi. Jangan ada orang-orang tertentu yang terlalu berkuasa menguasai informasi. Atasan perlu mengenal anak buahnya satu demi satu. Sehingga ia tahu latar belakang anak buah dan tahu bagaimana cara memotivasi mereka.

Ada orang yang melihat kompetisi sebagai cara untuk meningkatkan diri. Mereka terpacu mengalahkan orang lain, dan menganggap orang lain sebagai pengalang untuk mencapai kesuksesan. Bahkan ada yang sampai kecanduan, sehingga segala sesuatu harus dilakukan dengan cara mengalahkan orang lain.

Namun, harus dibedakan antara achievement (pencapaian) dengan kompetisi. Dalam konteks kompetisi, ada pihak yang menang dan kalah. Kalau seseorang tidak mencapai tujuan, berarti kalah dari orang lain. Sebaliknya, untuk mencapai tujuan, berarti harus mengalahkan orang lain. Paradigma yang berlaku menjadi, saya mengalahkan atau dikalahkan orang lain. Pada jangka pendek kompetisi memang membuat kinerja seseorang meningkat. Namun tidak untuk jangka panjang.

Yang pasti, manusia ada batasnya. Setelah mencapai titik tertentu, ia akan lelah. Atau akan ada yang terpental dari tim kerja. Entah itu teman kerja maupun yang bersangkutan, karena keberadaannya tidak diterima rekan kerja yang lain.

Bersaing sehat juga menuntut kejujuran pada diri sendiri. Ketika menargetkan sesuatu, sebelumnya harus jujur, apakah niatnya murni ingin meningkatkan kemampuan diri atau hanya menjatuhkan orang lain. Kalau seseorang fokus untuk meningkatkan kemampuan diri, pasti tidak sempat berpikir untuk menjatuhkan orang lain.

Manusiawi bila orang merasa dirinya lebih baik ketika melihat orang lain lebih rendah daripada dirinya. Orang-orang yang kepercayaan dirinya rendah biasanya peduli sekali dengan kelemahan orang lain. Pada orang-orang tertentu yang punya latar belakang tidak menyenangkan, mereka selalu ingin membuktikan dirinya lebih daripada orang lain. Karenanya, mereka menyukai aura persaingan.

Persaingan berarti mencapai tujuan dengan mengorbankan tujuan orang lain. Sebetulnya bersaing sehat adalah mengakui kelebihan orang lain, serta mengakui kelemahan diri sendiri. Orang-orang yang cerdas emosinya akan memanfaatkan kelebihan orang lain untuk keuntungan dirinya dan perusahaan.

Meski menetapkan target dan siap bersaingan dengan diri sendiri bukan berarti menutup diri dari penilaian orang lain, terutama atasan. Setiap orang dituntut open minded. Buka diri dan pikiran terhadap kritik, saran, dan ide. Hal itu dapat memperkaya pemahaman dan wawasan dalam memandang sebuah persoalan atau kondisi.

Perlu ditanamkan juga nilai-nilai, apakah seseorang bekerja untuk diri sendiri. Kalau nilai hidup atau cita-cita sudah ditemukan, otomatis di setiap "cabang" kehidupan mana pun, tak pernah lepas dari nilai dan cita-cita dasar itu. Jadi, kalau di kantor paradigma mengalahkan orang lain sudah berakar, maka di rumah pun begitu. Pun dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, kalau akar kita gemar menolong, membantu orang lain serta mengembangkan diri, otomatis di kehidupan rumah tangga, sosial, kita akan melakukan hal yang sama. Itulah yang disebut integritas.

Kita tidak perlu merasa rugi memberi informasi yang dibutuhkan rekan kerja. Kejadian ini kerap terjadi karena orang merasa tersaingi bila memberikan informasi yang diketahui kepada rekan kerja yang membutuhkan.

Selain itu, jika berhasil dalam suatu proyek, jangan merasa semua itu berkat diri sendiri. Camkan, ada kontribusi orang lain yang mendukung keberhasilan kita. Misalnya, proyek yang kita jalankan takkan berhasil, kalau tidak mendapat ide dan masukan dari rekan lain. Akui kontribusi kelompok. Ucapkan terima kasih atas bantuan mereka. Budaya seperti itulah yang mestinya ditularkan dalam organisasi.

Bersaing sehat yang dibeberkan di atas berlaku universal. Bahkan untuk organisasi masa depan, ketika iklim persaingan kian ketat. Negara yang transparan dan punya ukuran jelas, misalnya, lebih maju dibandingkan dengan negara dengan banyak peraturan. Begitu juga negara yang terlalu fanatik pada satu agama mayoritas, seperti Filipina dan Arab Saudi, tidak lebih maju dibandingkan dengan negara yang terbuka dan menumbuhkan benih-benih achievement.

(Sumber: Intisari)

Artikel Terkait