Intisari-Online.com - Meski secara psikologis setiap anak bisa menjalani homeschooling, tapi ada persyaratan tertentu agar homeschooling berjalan dengan semestinya.
Sebagai sebuah alternatif, wajar jika tidak semua anak berjodoh atau bisa melakukan homeschooling (HS). Menurut praktisi pendidikan Darmaningtyas, HS lebih cocok untuk anak-anak yang memiliki kreativitas dan inovasi tinggi. “Anak-anak yang kreatif memerlukan kebebasan berekspresi. Sementara sekolah memiliki aturan-aturan yang cenderung baku, kaku, dan normatif,” ungkap pria yang akrab disapa Darma itu.
HS juga cocok untuk anak yang introvert, pendiam, pemalu, dan mempunyai kekurangan fisik sehingga menjadi alasan bullying bagi kawannya. Melalui HS, Darma menegaskan, anak bisa bebas belajar sesuai dengan bakat dan minatnya tanpa khawatir diejek oleh kawan-kawannya.
Sebaliknya anak-anak yang ceria, suka bergaul, periang, dan ekspresif lebih cocok bersekolah di sekolah konvensional. Sebab sekolah formal mengembangkan relasi sebanyak-banyaknya dan mereka juga tidak memiliki beban psikologis. Selain itu, karakter anak tersebut juga dapat memancarkan energi positif bagi kawan-kawannya. Anak-anak seperti itu juga tidak perlu khawatir akan mengalami bullying dari kawan-kawannya, sebaliknya dia malah bisa membangun persahabatan yang luas.
(Baca juga: Anak Introvert Lebih Cocok Homeschooling?)
Hindari pemaksaan
Secara psikologis setiap anak bisa menjalani HS. “Asalkan pembuat kurikulum HS sangat memahami anak tersebut dan dapat membuatnya sesuai dengan diri anak. Pembuat kurikulum ini bisa orangtua si anak, bisa pula ahli yang diminta bantuannya oleh orangtua si anak,” kata pengajar bagian Psikologi Pendidikan dan Wakil Dekan 1 Fakultas Psikologi Unika Atmajaya Jakarta, L Harini Tunjungsari, M.Psi.
Yang perlu dilakukan adalah menelusuri kebutuhan anak dan perancangan “kurikulum” HS-nya. Misalnya, anak yang menyukai aktivitas perdagangan dapat dibuatkan program belajar Matematika dan IPS melalui kegiatan di pusat perbelanjaan atau di tukang sayur depan rumah. Namun harus diikuti dengan belajar mengubah pemahamannya ke dalam kalimat matematika, atau membuat karangan singkat tentang interaksi pedagang dan pembeli.
Pendapat itu diperkuat oleh psikolog pendidikan Karina Adistiana. Orangtua perlu mengetahui minat dan bakat anak. “Yang harus dilakukan adalah observasi orangtua terhadap anak dan juga diskusi antara orangtua dan anak. Orangtua perlu mengasah kepekaan terhadap reaksi-reaksi anak dalam menghadapi berbagai kejadian dalam hidupnya.”
Dalam melakukan HS juga harus dihindarkan pemaksaan. “Homeschooling itu suatu pilihan bagi anak-anak, bukan pilihan orangtua. Orangtua mestinya hanya memfasilitasi anak saja untuk memilih,” ungkap Darma.
(Baca juga: 5 Langkah Menuju Sukses Homeschooling)
Seperti yang dialami keluarga Wimurti Kusman atau akrab dipanggil Moi. Dari ketiga anaknya, anak nomor dua yang justru berkeinginan menjalani HS setelah Moi bercerita tentang HS yang dibaca dari Kompas Minggu. Saat itu Amira, anak keduanya, lulus SD dan ingin langsung menjalani HS. “Namun kami belum siap saat itu. Setelah menjalani satu semester di SMP baru kami mengiyakan keinginan Amira.”
Pemaksaan HS ke anak dapat berdampak buruk bagi perkembangan si anak sendiri. Ia bisa merasa tidak nyaman lagi di rumah dan ketika dewasa mencari rasa aman di luar rumah. Hal ini bisa membuat kontrol orangtua terkendala. HS yang dipaksakan juga bisa membuat anak kehilangan keingintahuan dan minat belajar.
Rasa nyaman antara anak dan orangtua merupakan kunci keberhasilan. Ketika salah satu tidak nyaman, janganlah melakukan HS.