Intisari-Online.com - Anak tak naik kelas sering dicap sebagai anak bodoh. Ini tentu anggapan serampangan sebab kenyataannya tidak selalu demikian. Mestilah dilihat kasus per kasus.
Dari sudut psikologis dapat dilihat selain IQ juga kondisi keluarga dan lingkungan tempat tinggal, serta pergaulan dan lingkungan sekolah.
Faktor psikologis lain yang tidak kalah pentingnya adalah emosi. Sikap ambisius orang tua sering kali membuat anak terkungkung dalam situasi yang menekan, bahkan terkadang menyiksa.
(Baca juga: Anak Pun Bisa Depresi Lo!)
Ambisi itu misalnya berupa sikap menuntut si anak untuk berprestasi melebihi teman-temannya. Kalau si anak mendapat nilai 6 untuk suatu pelajaran, ia sudah dianggap gagal atau bodoh. Kemudian anak itu dimaki-maki atau tidak jarang dihukum dengan tindakan fisik, misalnya ditampar, dipukul, dikurung di kamar mandi (sampai si anak masuk angin, dan orang tuanya bingung sendiri), dll.
Situasi menekan lainnya yang juga sering dialami anak misalnya terus dijejali dengan berbagai les pelajaran sekolah. Atau, begitu pulang sekolah harus langsung belajar sampai petang hari sehingga ia tidak punya kesempatan untuk bermain.
Kalau situasi yang menekan dan menyiksa ini berlangsung terus menerus, anak yang bersangkutan bisa dihinggapi rasa takut pergi ke sekolah karena terus diliputi kekhawatiran. Sikap ambisius atau perfeksionis semacam ini sering kali justru bisa kontraproduktif, bahkan menghancurkan prestasi anak. Kalaupun prestasi sekolahnya baik, tidak jarang perkembangan psikologis maupun sosialnya terganggu.
Seperti pernah dikatakan Prof. Dr. Yaumil Agoes Achir, seorang pakar psikologi, dalam sebuah seminar dengan Intisari, banyak anak rendah prestasi belajamya, dan beberapa anak tak naik kelas justru karena ia takut gagal. Soalnya, alam perasaannya diliputi kekecewaan, keragu-raguan, tekanan, dan anggapan bahwa dirinya kurang mampu.
Ketidakberhasilan ini, menurut Yaumil, akibat terganggunya dorongan untuk meraih sukses sehingga anak lebih memusatkan perhatian pada usaha menyelamatkan diri dari kegagalan. Di sini motif menghindari kegagalan lebih besar daripada motif untuk berprestasi, sehingga si anak enggan mencoba mendapat nilai cemerlang.
(Baca juga: Ketakutan Yang Tidak Beralasan)
Anak akan bisa belajar dengan baik kalau ia diliputi perasaan senang dan aman serta bebas dari paksaan.
Reproduksi ingatan atau berpikir, pembentukan pengertian dan kesimpulan, persepsi maupun asosiasi merupakan faktor psikis penting lainnya. Si anak mungkin saja mengetahui dan menyadari letak gangguan yang menyebabkan kemunduran prestasinya, tetapi ia sulit atau tidak berani mengungkapkannya. Di sinilah pentingnya peran guru dan orang tua untuk menganalisis penyebab menurunnya prestasi anak.
Faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga ataupun sekolah juga ikut menentukan baik tidaknya prestasi anak, apakah anak naik kelas atau anak tak naik kelas. Keluarga yang kurang harmonis, orang tua sering cekcok, anak kurang mendapat perhatian, semua itu akan mempengaruhi jiwa anak. Pada keluarga yang berkecukupan, banyak anak terlalu dimanja dan santai sehingga ia kurang tertantang untuk maju. Sedikit saja menemukan kegagalan, ia sudah putus asa.