Intisari-Online.com - Kita semua butuh liburan! Kalimat tersebut dikutip dari salah satu karya sastrawan Inggris W.H Davies – We All Need Holidays, bertahun-tahun lalu.
Masih terasa relevan, karena di zaman sekarang, libur justru makin jadi kebutuhan. Namun kalau kita belum memiliki “mental” liburan, kita malah mengalami stres pasca-liburan. Apa itu “mental” liburan? Berikut ini adalah penjelasannya.
---
Berapa kali Anda berlibur dalam satu tahun? Satu atau dua kali karena jatah cuti yang umumnya hanya 12 hari dalam setahun? Bagaimana Anda berlibur? Meliburkan diri saat anak-anak libur sekolah agar tidak dobel libur?
Apa yang Anda rasakan saat liburan? Senang tapi juga pusing memikirkan pekerjaan? Bagaimana sehabis liburan? Merasa segar kembali tapi hanya sebentar karena yang mendominasi adalah stres pasca-liburan atau bahkan sama sekali tidak tersegarkan?
(Baca juga:Untuk Para Perempuan Pekerja Kantoran, Begini Menghilangkan Nyeri karena Memakai Sepatu Hak Tinggi)
Jika Anda menjawab “ya” pada salah satu pertanyaan di atas, welcome to the club. Anda tidak sendirian! Banyak dari kita mengalami hal yang sama.
Dalam masyarakat kita yang boleh dikatakan giat bekerja, liburan menjadi barang langka. Jatah cuti yang terbatas atau banyaknya pekerjaan membuat kita tidak dapat menikmati liburan. Pikiran terus terbang ke pekerjaan yang menunggu.
Atau liburan jadi berantakan karena jatuh sakit akibat bobolnya pertahanan tubuh setelah sekian lamanya stamina tubuh melemah karena bekerja terlalu keras. Ketika libur usai, kita malah stres menghitung banyaknya pengeluaran.
(Baca juga:Tak Hanya Wanita, Pria Juga Stress Jika Dilecehkan Secara Seksual)
Belum lagi harus menghadapi tumpukan pekerjaan yang sudah di depan mata. La, liburan kok malah jadi menyiksa begini ya?
Mental liburan
Mungkin kita menyalahkan jatah cuti yang bisa dibilang sedikit dibandingkan dengan negara-negara Eropa. Kalau cuti kita ala Eropa, kurang lebih lima minggu dalam setahun, pasti akan jauh lebih mudah merencanakan liburan dan otomatis dapat berlibur lebih sering.
Hmm, berhentilah mengeluh. Bersikaplah realistis. Butuh waktu tentunya untuk mengubah kebijakan lamanya cuti dan bukan itu yang hendak kita bicarakan.
Secara psikologis, persoalannya bukan terletak pada jatah cuti, tetapi apakah kita memiliki “mental” liburan? Maksudnya, apakah kita memang memiliki keinginan berlibur dan dapat menikmati saat liburan?
(Baca juga:15 Fakta Konyol yang Sangat Sulit Dipercaya Namun Benar-benar Terbukti)
Mungkin Anda berpikir ini pertanyaan bodoh. Tentu semua orang ingin berlibur. Eits, tunggu dulu. Banyak orang yang kecanduan kerja (workaholic) yang sepertinya tidak membutuhkan liburan.
Hidup hanyalah untuk bekerja bagi orang-orang ini. Kalaupun mereka mengambil liburan, mereka seperti tergesa-gesa saat berlibur, seperti dikejar-kejar untuk segera mengakhiri.
Mungkin kita tidak merasa jadi pecandu kerja. Mungkin kita mengatakan bahwa tuntutan pekerjaan yang telah membuat kita tidak dapat memikirkan liburan apalagi menikmatinya. Mungkin.
Tapi bila memang itu yang Anda rasakan, dengan berat hati harus saya katakan bahwa Anda belum memiliki ‘mental’ liburan. Pentingkah memiliki ‘mental’ liburan ini? Kita akan bahas lebih lanjut.
Mitos liburan
Selain persoalan “mental” liburan, yang sering kali menghambat kita mengalami liburan yang menyenangkan adalah kita meyakini mitos-mitos tertentu mengenai liburan.
Pertama, mitos bahwa yang namanya liburan hanya ketika libur panjang. Kualitas liburan tidak ditentukan oleh lamanya liburan.
Sebuah penelitian psikologi mengungkapkan bahwa satu minggu sudah cukup untuk sebuah liburan “panjang”. Satu minggu adalah titik jenuh rata-rata kala manusia sudah ingin kembali kepada rutinitas setelah menikmati suasana berbeda saat liburan.
Warga Jakarta mungkin membayangkan betapa indahnya pantai Belitung, dan ingin berlama-lama di sana. Tetapi berapa lama mereka terlena mendengar debur ombak tanpa rindu pada kemacetan jalan raya ibukota?
(Baca juga:Antara Sanro, Mallogo, Barongko, dan Soeharto, Inilah Kisah Masa Kecil BJ Habibie)
Kedua, liburan yang sejati itu harus pergi ke luar negeri atau minimal luar kota. Mitos ini dapat dipadukan dengan mitos ketiga bahwa liburan itu mahal atau harusnya mahal, untuk dapat menghambat kita memikirkan ide-ide liburan indah dengan budget rendah.
Ketiga, belakangan ini kita semakin kehilangan rasa cinta Tanah Air karena terus-menerus mengacu ke luar negeri untuk segala macam hal termasuk liburan. Sayangnya, cukup banyak di antara kita yang ingin berlibur ke luar negeri untuk sekadar gengsi.
Jadi jika kita berpikir bahwa liburan itu harus ke luar negeri, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita mengenal indahnya alam dan keragaman budaya negeri sendiri?
Bahkan jika kondisi tidak memungkinkan untuk berlibur ke luar kota, bukan berarti kita tidak dapat menikmati liburan lo. Ide liburan sangat beragam, kita dapat menemukan ide-ide ini jika tidak terpaku pada mitos keempat: liburan sama dengan bersenang-senang dan memuaskan keinginan diri.
Inilah mitos yang sering membuat kita kehilangan kendali diri. Kita bersantap apa saja tanpa memikirkan kesehatan. Kita habiskan uang tanpa berpikir. Kita mentoleransi tindakan impulsif ini atas nama liburan.
Akibatnya, kesehatan memburuk, pengeluaran membengkak, dan akibat lebih lanjut adalah mengalami stres pasca-liburan.
Tulisan ini ditulis oleh Ester Lianawati, psikolog di Paris, dan Yds. Agus Surono. Tulisan ini dimuat di Majalah Intisari edisi Extra November 2013 dengan judul asli Kita Semua Butuh Liburan!