Intisari-Online.com - Liburan memberi kesenangan. Terkait dengan hal ini, para pakar psikologi positif mengacu kepada teori anticipal pleasure yang dikemukakan ekonom William Stanley Jevons pada awal abad ke-20. Mereka mengungkapkan bahwa kenikmatan liburan sudah dapat kita rasakan sejak merencanakannya. Kepuasan ini semakin terasa menjelang harinya tiba, dan mencapai puncaknya pada hari pertama liburan.
Liburan juga seharusnya membawa dampak positif bagi kesejahteraan mental. Liburan yang sehat akan menyegarkan jiwa dan kita pun kembali ke kegiatan sehari-hari dengan semangat baru. Karena liburan menjauhkan diri kita dari tuntutan pekerjaan sehingga mengistirahatkan otak dari mekanisme berpikir yang rumit.
Liburan juga membawa fungsi penyegaran secara sosial (social recharge) dengan mendekatkan kita pada keluarga atau teman-teman yang sering terabaikan karena kesibukan sehari-hari.
Secara khusus dari aspek kesehatan emosional, berlibur memberi banyak peluang bagi kita untuk mengalami pengalaman puncak (peak experience). Bayangkan, saat kita menatap Matahari terbenam dan dalam hitungan detik kita merasakan kekaguman luar biasa dengan keindahan langit kala senja.
Pengalaman-pengalaman semacam ini diyakini Abraham Maslow, penggagas psikologi humanistis, penting untuk kematangan emosi. Kenikmatan-kenikmatan seperti ini dapat memperkaya sekaligus menyeimbangkan aspek-aspek emosional kita.
Seperti yang dikatakan filsuf Yunani, Epicurus, “Tidak mungkin manusia dapat memiliki hidup menyenangkan tanpa hidup bijak dan melakukan hal-hal bermakna”. Begitu juga sebaliknya, manusia tidak mungkin memiliki hidup bermakna tanpa mengalami kesenangan kesenangan diri dalam hidup. Karena dalam hidup yang penting adalah menyeimbangkan keduanya, hidup yang bermakna (eudaimonia) dan kesenangan (hedonisme).
Dengan cara tertentu, liburan adalah bentuk keseimbangan antara keduanya. Jika kebahagiaan menurut Thomas Merton, penyair yang juga biarawan, adalah persoalan harmoni dan keseimbangan, maka liburan pun menyumbang terhadap kebahagiaan kita.
Oleh sebab itu, sering-seringlah liburan. Mungkinkah? Di sinilah pentingnya “mental” liburan. Jika kita memiliki mental liburan, kita dapat berlibur setiap hari, tidak perlu menunggu waktu libur panjang, tidak perlu menghitung jatah cuti. Bagaimana caranya?
Kita dapat melakukan apa yang dinamakan Fred B. Bryant dan Joseph Verrof, keduanya pakar psikologi positif, sebagai liburan harian. Liburan harian ini penting untuk keseimbangan hidup setiap harinya. Caranya juga mudah. Siapkan waktu sekitar 30 menit per hari untuk memanjakan diri dengan sekadar duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi panas, membaca buku favorit, atau membeli jajanan pasar yang sudah lama tidak dicicipi.
Daftar di atas dapat Anda tambahkan sendiri. Rencanakan setiap hari apa yang hendak Anda lakukan besok untuk berlibur singkat. Jangan lupa, kenikmatan liburan sudah dapat kita rasakan sejak merencanakannya.
Tulisan ini ditulis oleh Ester Lianawati, psikolog di Paris, dan Yds. Agus Surono. Tulisan ini dimuat di Majalah Intisari edisi Extra November 2013 dengan judul asli Kita Semua Butuh Liburan!