Intisari-Online.com – Rapat Dewan Komisaris telah berakhir. Bob mulai berdiri dan berdesak-desakan meja, hingga ia menumpahkan kopi di atas lembar kerjanya. “Bagaimana ini. Memalukan! Mengapa saya begitu canggung di usia tua saya.”
Setiap orang yang mendengarnya tertawa. Dan akhirnya segera kami semua bercerita tentang saat-saat paling memalukan. Frank ikut bergabung bersama kami, ia duduk diam dan mendengarkan kisah orang lain. Seseorang berkata, “Ayo, Frank. Ceritakan pada kami kisah yang paling memalukanmu.”
Frank tertawa dan mulai menceritakan masa kecilnya. “Aku dibesarkan di San Pedro. Ayahku seorang nelayan, dan ia mencintai laut. Ia memiliki perahu sendiri, tapi sulit memang mencari nafkah di laut. Ia bekerja keras dan akan tinggal di tengah laut sampai menangkap ikan yang cukup untuk memberi makan keluarga. Tidak hanya cukup untuk keluarga kami, tetapi juga untuk ibu dan ayah, dan anak-anak lainnya yang tinggal di rumah kami.”
Ia menatap kami dan melanjutkan, “Aku berharap kalian bisa bertemu ayahku. Badannya besar, dan ia kuat menarik jala serta berjuang di laut untuk menangkapnya. Ketika kalian mendekatinya, ia berbau seperti lautan. Ia akan memakai jaket kanvasnya dan mantelnya. Topi hujannya akan ditarik ke bawah alisnya. Tidak peduli seberapa sering ibu mencucinya, tetap saja bau laut dan ikan.”
Suara Frank agak merendah. “Ketika cuaca buruk, ia akan mengantarkan saya ke sekolah. Ia memiliki truk tua yang digunakannya untuk memancing. Truk yang umurnya lebih tua darinya. Saat ia mengantarku ke sekolah, aku akan menyusut ke kursi berharap menghilang. Truk itu benar-benar tua hingga sering kali terbatuk-batuk. Dan itu akan membuat orang yang berdiri di sekitarnya melihat truk itu. Lalu ia akan membungkuk dan memberiku ciuman di pipi, dan memberitaku agar menjadi anak yang baik. Sungguh, itu memalukan buatku. Aku berumur dua belas tahun, dan ayahku akan membungkuk dan menciumku selamat tinggal.”
Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “Aku ingat hari itu aku memutuskan bahwa aku terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal. Ketika kami sampai ke sekolah dan berhenti, ia tersenyum seperti biasanya. Ia mulai menunduk ke arahku, tapi aku meletakkan tanganku dan berkata, ‘Tidak, Yah.’ Itu pertama kalinya aku berbicara seperti itu kepadanya. Tentu saja ia terkejut. Aku berkata, ‘Ayah, aku sudah terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal. Aku sudah terlalu tua untuk setiap jenis ciuman.’
Ayah menatapku untuk waktu yang lama, dan matanya mulai memerah. Aku belum pernah melihatnya menangis. Ia berbalik dan melihat ke luar kaca depan. “Kau benar,” katanya. “Kau sudah besar. Aku tidak menciummu lagi.”
Ekspresi wajah Frank lucu ketika bercerita, namun air matanya mulai menggenang di matanya saat ia bercerita. “Tak lama setelah itu ketika ayahku pergi ke laut, ia tidak pernah kembali. Hari itu sebagian pelaut masih ada di perahu, tapi tidak dengan Ayah. Ia memiliki keluarga besar yang harus diberi makan. Mereka menemukan perahunya terpaut dengan jaring setengah di dalam dan setengah keluar. Ia pasti tertelan badai dan mencoba menyelamatkan jala dan mengapung.”
Terlihat air mata mengalir di pipi Frank. Frank bercerita lagi, “Teman, kalian tidak tahu apa yang akan saya berikan untuk memiliki Ayah yang memberiku lebih dari satu ciuman di pipi, untuk merasakan wajah tuanya yang kasar, untuk mencium bau laut padanya, untuk merasakan lengannya di leherku. Aku berharap aku adalah pria itu. Harusnya jika aku menjadi seorang pria, aku tidak akan pernah mengatakan kepada ayahku, aku terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal.”
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR