Kisah Imlek 4: Dari Snack Sampai Onde untuk Leluhur

Lily Wibisono

Editor

Kisah Imlek 4: Dari Snack Sampai Onde untuk Leluhur
Kisah Imlek 4: Dari Snack Sampai Onde untuk Leluhur

Intisari-Online.com -Pada masa sebelum tahun 1967, perayaan Imlek dirayakan murni menurut tradisi peranakan di Indonesia. Dalam hal saya, pengalaman saya adalah pengalaman seorang anak keluarga peranakan yang tinggal di kota Pekalongan, Jawa Tengah. Bisa saja peranakan Tionghoa lain yang tinggal di daerah lain, meski tak berbeda pada hal-hal mendasar, akan menceritakan pengalaman yang sedikit berbeda, karena faktanya, budaya peranakan Tionghoa di Indonesia itu sangat kaya sebagai hasil pertemuan budaya Tionghoa dengan budaya-budaya lokal yang amat beragam di negeri kita.

Ceng Beng, Capgo Meh, Rebutan, Onde

Karena Ayah adalah anak lelaki pertama di keluarganya, maka meja (altar) sembahyang ada di rumah kami. Secara teknis tanggung jawab jatuh ke pundak Ibu sebagai menantu perempuan pertama, untuk melakukan semua ritual sepanjang tahun. Pada perayaan tertentu di meja sembahyang harus disediakan makanan, misalnya pada Hari Ceng Beng (perayaan bagi para arwah), Hari Raya Rebutan (https://id-id.facebook.com/notes/tionghoa-indonesia/-masyarakat-tionghoa-di-jakarta-/10151676870460238), Hari Raya Onde, Hari Raya Capgo Meh (tanggal 15 Ciagwee, penutupan masa perayaan Imlek). Kemudian juga pada hari meninggalnya para leluhur, ada juga ritual menyediakan makanan.

Setiap bulan menurut kalender Imlek, pada tanggal 1 dan 15 Ibu menyajikan teh dan sayur sawi rebus untuk leluhur Ayah disertai gula batu. Rupanya itulah snack para leluhur saya yang hidup di awal abad ke-20. Saya sering diberi tugas untuk “mempersilakan” para leluhur kami itu, yang terdiri atas kakek dan nenek buyut, serta nenek dari pihak Ayah, menikmati minum dan snack tersebut dengan membakar hio, lalu mengangkatnya tinggi beberapa kali di depan dahi saya sambil membatin, “Kong-co, Mak-co, Engkong, Emak, silakan minum dan makan!” Setelah saya cocokkan semua hio di tempat hio, saya menyoja, lalu membuka pintu bagian atas. Menurut Ibu, itu adalah lambang kami membuka pintu untuk para arwah yang kami undang untuk minum dan nye-nack. Memelihara meja sembahyang dihentikan ketika Kakek mengumumkan, bahwa saat ia meninggal abu hio berikut tempat hio hendaknya dimakamkan bersama petijenazahnya. Hal ini dikatakannya karena sangat memahami bahwa zaman berubah dan ia tak mau membebani cucu-cucunya. Tanpa keputusan dari kakek tersebut, niscaya kami tidak akan ada yang berani untuk menelantarkan tugas tersebut.

Menu disesuaikan dengan selera yang hidup

Seingat saya, sembahyang dilakukan pada hari sebelum Hari Raya Imlek. Ibu menyiapkan makanan yang jumlahnya bisa tujuh, delapan atau sembilan macam. Seingat saya: babi cin (daging babi dimasak dengan kecap dan taoco), ca rebung (rebung yang ditumis dengan daging babi dan kecap), bakso lohoa (bakso dari daging babi dan udang dalam kuah dan sayuran), sam-seng (hidangan rebusan terdiri atas tiga macam daging: babi, ayam, dan bebek), bandeng kuah, ayam goreng, kue lapis legit, buah.

Belakangan, samseng oleh Ibu digantinya menjadi Ayam Kodok dengan pertimbangan lebih cocok dengan selera keluarga (yang masih hidup). Ayam Kodok sebenarnya semakin tak jelas ketionghoaan-nya. Masakan ini berupa ayam utuh cabut tulang yang diisi dengan adonan daging babi, ayam, dan ham dengan bumbu berbau Eropa, karena mengunakan pala (masakan Tionghoa biasanya tidak menggunakan pala).

Menu-menu wajib biasanya dikombinasikan dengan menu-menu kesukaan para leluhur. Di keluarga sepupu saya, ditambahkan menu sambal goreng petai, karena kakek sepupu saya itu penggemar berat petai.