Inilah cerita H.O.K. Tanzil saat pergi ke Kalimantan yang dia tulis di Intisari edisi Agustus 1979 dengan judul asli "Melancong ke Kalimantan".Intisari-Online.com -Selama berkeliling di Kalimantan, kami hindari perjalanan melalui udara, agar dapat melihat keadaan lebih dekat.Saya bertanya kepada siapa saja yang mungkin dapat memberi keterangan mengenai sarana jalanan dan sebagainya.Di antaranya seorang ibu muda penduduk Balikpapan, yang duduk berdampingan di pesawat, mengatakan jalan mobil BPP-SMD (Balikpapan - Samarinda, Red.) baik dan licin, sehingga banyak yang mengebut. Sebagai akibatnya terjadilah banyak kecelakaan, yang makan jiwa 6-7 orang sebulan. Bahkan ia menasihatkan agar jangan membawa makanan bila melalui jalan itu. Orang halus di situ mungkin saja mengingininya sehingga sopir terpengaruh dan tak kuasa lagi atas kemampuan mengemudi dan mengakibatkan kecelakaan. Cerita (tahayul) ini saya dengar dari pelbagai pihak juga.Pada tanggal 24 April 1979 pukul 08.30 saya mengendarai jip dengan isteri di samping. Patut diutarakan bahwa kendaraan itu adalah jip yang pertama kali saya kemudi sendiri!Sebagai makanan telah kami bawa 2 bungkus nasi kuning yang dikatakan terkenal lezatnya, serta minuman kaleng.Pada permulaan perjalanan, sudah hujan rintik-rintik.Menurut papan penunjuk jalan ke Samarinda jarak Projakal (Proyek Jalan Kalimantan) ini 115 km. Nampak dan terasa nyata sekali bahwa jalan kelas II ini yang diresmikan oleh Bapak Presiden pada tanggal 20 Juli 1977, baik dan licin sehingga menyenangkan sekali melaluinya dan merangsang untuk mengebut.Namun hal itu tak saya lakukan. Dengan santai kami menyelusurinya untuk lebih menikmati pemandangan. Lagipula jalan Projakal ini berliku-liku, turun-naik, hampir tak ada bagian yang lurus panjang.Pal-pal km di pinggir jalan, semuanya masih nampak rapih dan bersih. Begitupun rambu-rambu lalulintas. Garis putih dan kuning di tengah jalan sebagai tanda pemisah masih nampak jelas.Sayang, tidak tampak papan nama kota/dusun/kampung yang lazimnya terlihat bila kita memasukinya. Kecuali dusun Bukit Raya di pal 44 km dari SMD saya tak tahu nama tempat yang dilewati.Seluruh sisi jalan sampai perbatasan kota BPP pada pal 25 km didereti rumah penduduk. Selewat itu jumlah rumah makin jarang. Hutan belukar hanya nampak di jauh. Umumnya telah dibuka dan tampak telah dibakar.Seperti lumrahnya di Kalimantan ini, rumah penduduk berdinding papan, beratap sirap atau kajang. Umumnya didirikan atas tonggak-tonggak. Biasanya tidak dikapur atau dicat. Namun walaupun sederhana tidak ada yang keropok. Penduduk tampak berkecukupan.Rintik pada permulaan perjalanan menjadi hujan sangat lebat, mengaburkan kaca depan jip. Saya mencari tempat agar dapat berhenti dengan aman. Di atas sebuah bukit jip diparkir dengan lampu menyala sehingga dapat dilihat dengan jelas jauh dari arah depan maupun belakang.Dengan lahapnya kami makan nasi kuning bungkus yang kami bawa. Hawa sejuk karena deras hujan menambah selera kami.Aneh juga, begitu selesai makan dan perjalanan akan dilanjutkan, hujan reda bahkan berhenti sehingga separuh perjalanan akhir dilakukan dalam suasana panas terik.Ada sesuatu yang belum pernah kami lihat: banyak kelihatan pengendara motor dengan 2 buah keranjang besar di belakang berisi ikan-ikan dan sebuah timbangan. Mereka ini para penjual ikan yang langsung menjual kepada penduduk yang jauh dari kota. Suatu kemajuan!Penggilingan padi cukup banyak terlihat. Begitupun warung-warung kecil. Lalu-lintas kendaraan bermotor antara BPP-SMD tidak begitu ramai. Selain bis, ada juga taxi menghubungkan kedua tempat itu.