HOK Tanzil: Tiba di Muara Bengkal Naik Bis Air

Birgitta Ajeng

Editor

HOK Tanzil: Tiba di Muara Bengkal Naik Bis Air
HOK Tanzil: Tiba di Muara Bengkal Naik Bis Air

Inilah cerita H.O.K. Tanzil saat pergi ke Kalimantan yang dia tulis di Intisari edisi Agustus 1979 dengan judul asli "Melancong ke Kalimantan".Intisari-Online.com -Nampaknya menegangkan juga untuk berlayar dalam gelap gulita. BA dilengkapi dengan lampu suar terang 2 buah di kiri-kanan, masing-masing dilayani terus-menerus oleh dua orang pemandu yang membantu nakhoda.Sungai Kedang Kepala yang lebarnya 60-100 m berliku-liku, dan sewaktu-waktu lewat kendaraan air menarik kayu glondongan sehingga memerlukan kewaspadaan. Yang ditakuti ialah bila ada batang pohon mengapung yang hanya sebagian kecil saja muncul di atas permukaan sungai!Sejak kampung Muara Siran, karena gelap, sudah tidak tercatat nama-nama kampung yang dilewati sampai BA 004 tiba di tujuan akhir pelayaran di Muara Bengkal pada pukul 03.15 yaitu setelah 19 jam berlayar sejauh 368 km. Barulah semua petugas dapat istirahat.Para penumpang masing-masing dapat merebahkan diri di bangku-bangku yang disediakan untuk duduk 3 orang. Buat kami walaupun nampaknya "sukar" dan berat, bukanlah suatu masalah. Dalam pengalaman-pengalaman yang lalu di luar negeri ada yang lebih "sengsara".Buat saya pribadi yang menyusahkan dan paling saya takuti di Kalimantan ini ialah gigitan nyamuk dan serangga lain. Melihat serangga berterbangan di sekitar saya saja sudah membuat kulit gatal dan berbenjol-benjol!Begitu berada di alam terbuka saja saya seperti main silat untuk menggaruk dan menghalau nyamuk dengan sebuah kipas. Ternyata merutu/agas masuk juga ke dalam baju.Gigitan serangga ini membekas di badan. Gigitan agas hampir tak kelihatan. Bila dipijit mati memberi bekas garis merah karena darah! Yang saya herankan: orang lain tidak mengalami kesulitan!Saya hanya dapat tidur bila merasa tidak akan digigit nyamuk, kalau seluruh badan tertutup, juga kepala tanpa kecuali, yang terpaksa disarungi celana dalam (yang bersih lho!). Mengulas kulit dengan "Off" tidak menolong atau menenteramkan saya.Paginya, setelah mandi, saya naik ke darat, melalui sebatang pohon ulin yang bersandar agak terjal. Harus hati-hati dan memerlukan konsentrasi agar tidak terjerumus! Dapat difahami bila istri saya tak berani ikut!Kota kecamatan berbentuk panjang, Kanya mempunyai sebuah jalan utama tanpa aspal selebar 3-4 m yang sejajar dengan sungai. (Hal ini umum di tiap tempat di pinggir sungai). Dapat diduga di kota ini tak ada kendaraan darat apapun, kecuali sepeda. Alat inipun pagi itu tak saya lihat.Transport utama hanya melalui sungai. Memang cukup banyak terlihat perahu-perahu dan kapal-kapal sungai kecil bersandar di tepi. Untuk pertama kali, penduduk melihat Bis Air sehingga benda ini menarik banyak perhatian.Saya sendiri berjalan-jalan melihat keadaan kampung. Karena masih terlalu pagi (kurang lebih 07.30), kantor kecamatan dan satu-satunya Puskesmas belum buka. Rumah camat cukup mewah dibandingkan dengan yang lain-lain. Keadaan tampak makmur.Rumah semua beratap sirap (hanya Rp. 6,— selembar). Antena TV nampak menjulang di atas beberapa rumah. Dari keadaan pakaian rakyat yang mengerubungi BA, nyata kemakmurannya.Saya berkesempatan berbicara langsung dengan beberapa orang penduduk, di antaranya Pak Lurah Ahmad Indol. Jumlah penduduk di sana sekitar 10 000 (?), terdapat 3 buah SD (sebuah SD Inpres), sebuah SMP dan ada seorang dokter. Menurut keterangannya 9 bahan pokok bukan masalah. Yang kurang ialah sayuran.Untuk memperkenalkan BA yang mulai 1 Mei 1979 akan menghubungkan Muara Bengkal dengan Samarinda tiap hari secara tetap, Pak Soewarto mengundang belasan penduduk yang beruntung untuk ikut menikmati pelayaran BA 004 p.p. ke Benua Baru, kampung sebelah hulunya.Hal ini disambut dengan hangat!