Intisari-Online.com - Pasti kita semua hapal lagu Dari Sabang Sampai Merauke ciptaan R. Suhardjo. Lagu itu menyebutkan Indonesia yang terentang dari Sabang sampai Merauke. Sebagai penanda tepi Indonesia, di Sabang didirikan Tugu Nol Kilometer Indonesia.
Menuju ke batas ujung barat Indonesia itu memberikan rasa kebanggaan tersendiri. Terlebih kita akan memperoleh sertifikat, yang salah satu kalimat di sertifikat itu berbunyi: "Dalam Rangka Persatuan dan Kesatuan Wawasan Nusantara ..." Di sertifikat itu juga disebutkan kita pengunjung ke berapa.
Dari Banda Aceh untuk ke Sabang kita menuju ke Pelabuhan Ulee Lheue. Saat tsunami 2004 pelabuhan ini luluh lantak. Dari pelabuhan ini feri membawa kita ke Pelabuhan Balohan di Pulau Weh. Jika menggunakan feri cepat butuh waktu 45 menit. Sedangkan yang biasa bisa dua kalinya.
Menuju Titik Nol Kilometer kita akan melalui jalan mulus naik turun bukit. Kontur jalan di Pulau We memang tak rata. Pulau vulkanik aktif ini memiliki luas sekitar 156 km2. Jalanan naik turun mengelilingi pulau dengan suguhan keindahan pantai dan laut membiru tak bikin bosan menuju tugu sejauh sekitar 40 km dari pelabuhan. Di pelabuhan banyak "taksi" yang bisa kita sewa selama di Pulau Weh ini.
Sepanjang perjalanan kita juga bisa melihat banyaknya monyet yang berkeliaran. Hutan yang ada juga masih terpelihara. Jalanan relatif sepi sehingga kita bisa lebih menikmati pemandangan. Di beberapa lokasi bisa berhenti untuk melihat keindahan teluk dan pasir putih di bawah sana.
Kurang terawat
Memasuki kawasan wisata Tugu Nol, rasa trenyuh sedikit menyeruak dalam hati. Tugu tertutup oleh kerimbunan pohon sehingga tidak tampak sosok menjulangnya. Tingginya tak lebih dari 20 m saya rasa. Ada rencana tugu ini akan dipugar dengan meninggikan sampai 60 m.
Sebuah tangga membawa kita ke pelataran lantai satu, tepat di bawah lambang negara Garuda Pancasila dan angka "O". Di pelataran ini saat berkunjung akhir Agustus 2013, beberapa keramik terkelupas. Yang memprihatinkan soal vandalisme dengan mencorat-coret dinding tugu dan prasasti.
Terdapat prasasti yang berisi informasi mengenai lokasi geografis tempat ini. Disebutkan pula bahwa teknologi Global Positioning System digunakan oleh para pakar dari BPP Teknologi dan ditandatangani oleh Menristek B. J. Habibie di Sabang pada 24 September 1997.
Sedangkan di bagian bawah tugu, terdapat lagi sebuah prasasti yang ditempelkan di dinding. Isinya seputar peresmian tugu ini oleh Wakil Presiden Try Sutrisno (saat itu). Yang agak aneh, prasasti ini ditandatangani di Banda Aceh pada tanggal 9 September 1997, sekitar dua minggu sebelum kedatangan Pak Habibie ke Sabang.
Selain corat-coret di dinding, kesan kurang terawat juga tampak dari toilet yang ada di belakang tugu. Gelap, air tidak mengalir, dan pintu sudah rusak. Semoga fasilitas ini segera dibetulkan.
Di depan tugu terhampar lautan luas, Laut Andaman. Sementara tak jauh dari tugu berjejer beberapa warung penjual cindera mata berupa kaos dan pernak-pernik lain. Hati-hati dengan barang bawaan sebab di sekitar banyak monyet yang usil. Lengah sedikit barang kita bisa diambil.
Juga jangan kaget jika tiba-tiba ada babi hutan berkeliaran di seputar tugu.
"Itu sudah jinak kok babinya. Jadi tak usah takut," ujar seorang penjual cindera mata.
Tugu ini hanya ramai di musim liburan dan akhir pekan saja. Betapa kesepian dapat dilihat dari nomer yang tertera di sertifikat yang kita terima. Sudah berapa pengunjung dalam rentang waktu sekitar 16 tahun? Tak lebih dari 80 ribu!
Tugu Nol KilometerDesa Iboih, Kecamatan Sukakarya - Sabang
Seorang pengunjung mengabadikan kawasan Tugu Nol Km (Intisari/Yds)
Bagian atas Tugu 0 Km (Intisari/Yds)
Sosok utuh Tugu 0 Km dari depan. (Intisari/Yds)
Salah satu toko buah tangan di kawasan Tugu Nol Km. (Intisari/Yds)