Intisari-Online.com -Rasanya ada yang kurang ketika berkunjung ke Jakarta tanpa menyaksikan Monumen Nasional (Monas) berdiri tegap di depan mata. Hampir seluruh kegiatan yang melibatkan masyarakat Jakarta dalam skala yang besar dipusatkan di sini.
Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa lapangan ini dulunya pernah terdapat pacuan kuda. Bukan dikhususkan untuk golongan elit Kolonial Belanda, tapi murni sebagai ajang perlombaan yang melibatkan banyak joki-joki. Menurut beberapa literatur yang ada, pacuan kuda di Indonesia pertama kali dikenal pada masa pemerintah Thomas Stamford Raffles (1811-1816).
Bahkan lapangan pacuan kuda bertahan sampai beberapa saat setelah masa kemerdekaan. Pacuan kuda di bagian timur lapangan Monas (dulu bernama Koningsplein) benar-benar hilang seiring dengan hengkangnya Belanda pada pertengahan 1950-an lantaran masalah Irian Barat yang kian memanas.
Pada 1942, ketika Militer Jepang berkuasa di Indonesia, lapangan yang oleh lidah orang Betawi dikenal dengan Lapangan Gambir ini dirubah menjadi Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (IKADA). Sejak itu, lapangan ini menjadi pusat segala bentuk olahraga di Jakarta, salah satunya yang paling istimewa adalah PON ke-2 tahun 1952.
Jauh sebelumnya, Herman Deandels pernah menjadikan lapangan ini sebagai pusat pelatihan militer, sebagai langkah antisipasi terhadap militer Inggris di bawah Raffles. Pemerintah Kolonial Belanda juga kerap menjadikan lapangan ini sebagai pusat perayaan Hari Ulang Tahun Ratu Wilhelmina, dengan menggelar Festival Pasar Gambir.
Langkah ini kemudian diikuti oleh Bang Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta menjadikan Monas sebagai tempat Pekan Raya Jakarta (PRJ). Salah satu rangkaian PRJ adalah Malam Muda Mudi yang dianggap sebagai malamnya warga Jakarta. (Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia)