Museum Vatikan (1) : Bukan Kantor Paus

Birgitta Ajeng

Editor

Museum Vatikan (1) : Bukan Kantor Paus
Museum Vatikan (1) : Bukan Kantor Paus

Intisari-Online.com -Tiga kali mengunjungi Roma, tahun 1995, 1997, dan terakhir Oktober 2000. Tapi baru pada kesempatan ketiga saya bisa masuk Museum Vatikan. Tepatnya 26 Oktober lalu dan itu pun perlu waktu sekitar empat jam, dari pukul 12.00 – 16.00 untuk merenungi kebesaran museum, yang konon panjangnya mencapai 1,8 km itu.Sesuai namanya, Museum Vatikan terletak di Vatican City, yang sejak 1929 resmi menjadi negara berdaulat. Vatikan sendiri bisa disebut sebagai satu dari lima kawasan di Roma, yang membuatnya populer sebagai salah satu kota yang sanggup mempertahankan warisan pusat peradaban tertua dunia.Empat kawasan lainnya adalah pusat kota (yang memiliki tradisi sebagai pusat pemerintahan Roma sejak zaman monarki), ancient Roma (kota tua, lokasi gedung-gedung bersejarah peninggalan Imperium Romawi), kawasan monumental (tempat banyak berdiri bangunan bercita rasa seni tinggi, di luar gedung pemerintahan) serta kawasan basilica (lokasi sejumlah basilika terkenal seperti Santa Maria Maggiore, San Pietro, San Giovanni).Bukan kantor PausDengan ongkos masuk 18.000 lira (sekitar Rp 75.000,-) per orang, bersama dua teman, saya ikut berjubel di tengah ribuan pengunjung lainnya. Menelusuri 22 museum kecil dan koleksi yang tergabung dalam nama besar Museum Vatikan. Museum-museum itu dari luar berbentuk bangunan memanjang, seperti terlihat dari Lapangan St. Petrus, di depan Basilika yang bernama serupa.Para peziarah sering salah kaprah, mengira itulah ruang kerja sekaligus tempat tinggal Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, sekaligus penguasa Negara Vatikan. Uniknya, untuk masuk ke dalam museum, keleluasaan buat pengunjung sangat terasa. Tak ada keharusan meninggalkan barang di tempat penitipan. Juga tidak ada larangan memotret, kecuali di tempat tertentu. Pengamanan pun tidak terkesan mencolok. Tetapi bisa dipastikan, bangunan dan barang di sana mendapat pengamanan amat canggih. Meski tak kasat mata.Dibangun di abad XVI, dengan mengumpulkan karya-karya klasik dan dikategorisasikan ke dalam 22 museum kecil, konon Museum Vatikan adalah museum terbesar di dunia. Baik dalam jumlah maupun mutu koleksi. Apalagi saat menelusuri lorongnya, pengunjung ibarat memutar balik kisah sejarah kebesaran masa lalu dalam bentuk miniatur maupun asli. Rentang usia koleksi mulai abad XV hingga abad XX, dari Museum Perpustakaan Apostolik Vatikan tahun 1475 sampai Museum Kesenian Kristen Modern tahun 1973.Urutan usia bukan patokan. Museum Gregorius, museum pertama, yang menyimpan karya-karya seni Mesir Kuno menyambut pengunjung, sedangkan Kapel Sistina menjadi museum terakhir. Di tengah bangunan-bangunan panjang itu ada lapangan terbuka, tempat pengunjung melepas lelah. Sedangkan di pinggir lapangan ada papan-papan yang menjelaskan bagaimana museum dibangun dan direstorasi.Lapangan itu terasa melegakan, karena ada hamparan rumput hijau, benda mewah di Roma yang penuh gedung tua dan lalu lintas semrawut."Anda orangIndonesia, ternyata bisa juga mengagumi masa lalu," komentar sepasang keluarga muda yang sedang sama-sama melepas lelah di pinggir lapangan. Mereka yang datang dari Firenze bersama bayi yang belum genap enam bulan mengaku, sudah empat kali masuk ke Museum Vatikan, dan akan selalu masuk setiap kali datang di Roma.Dalam suasana jauh dari Tanah Air, pertanyaan itu tentu saja terasa sinis. "Pernahkah Anda ke Indonesia?" kami balik bertanya. "Belum," jawab si bapak muda. "Kami hanya dengar dan baca, negara dan bangsa Anda suka merusak masa lalu. Sebaliknya, kami memperlakukan masa lalu sebagai bagian dari kebanggaan kami." Oh, tragisnya.(Bersambung)--Tulisan ini ditulis oleh St. Sularto yang dimuat di Majalah Intisari edisi April 2001 dengan judul asli "Menyaksikan Kebesaran Museum Vatikan".