Intisari-Online.com - Maumere adalah sebuah nama kecamatan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, sebuah tempat di bagian timur Indonesia. Kota kecil yang memiliki wilayah pantai sekaligus pegunungan ini bisa dijangkau dengan jalur penerbangan berkat adanya Bandara Frans Seda setelah transit di Denpasar, Bali.
Berada di tempat ini selama empat hari, begitu banyak kesempatan menyaksikan kekayaan budaya ataupun keindahan panorama yang ditawarkan kota berjuluk ”Kabupaten Nyiur Melambai” ini. Maumere memiliki sejarah panjang pengembangan Katolik di Pulau Flores, terlebih lagi dengan kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989.
Itulah sebabnya obyek wisata spiritual banyak ditemui di tempat ini. Seperti Patung Bunda Maria yang terletak di Bukit Nilo dan bisa dijangkau dengan perjalanan sejauh 16 kilometer dari pusat kota Maumere. Patung Maria Bunda Segala Bangsa setinggi 4 meter lebih ini berada di puncak bukit dengan pemandangan luas terhampar menuju Maumere.
Sebagai tempat peziarahan, objek ini menawarkan lokasi yang hening dan syahdu dengan semilir sejuk udara pegunungan. Wisatawan non-Katolik pun bisa datang untuk menikmati pemandangan Maumere dari ketinggian.
Sayangnya, atau memang sengaja dibuat demikian, jalan menuju tempat itu hanya selebar satu mobil saja. Sisi jalan beraspal ditumbuhi rumput tinggi, padahal di belakangnya terdapat jurang tanpa pagar pengaman. Patung ini memang baru dipadati oleh orang yang ingin berziarah pada masa-masa tertentu, puncaknya pada hari besar keagamaan, dan selebihnya sepi.
Selain Patung Maria Bunda Segala Bangsa, juga terdapat Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret yang juga pernah dikunjungi Paus Yohanes Paulus II pada kunjungan tahun 1989. Pada hari biasa ada petugas yang bisa mengantarkan wisatawan berkeliling seminari, termasuk melihat kamar yang pernah ditempati Paus sewaktu menginap semalam di Maumere.
Untuk buah tangan, tempat ini juga terkenal akan kain tenunnya. Penjual kain tenun yang menawarkan sehelai kain dengan harga Rp 400.000 tersebar di Pasar Geliting atau Alok. Untuk makanan sayangnya tidak banyak variasi selain kacang mete yang dikemas plastik dengan harga Rp 45.000 per bungkus atau madu yang dikemas dalam botol plastik.
Laut mengamuk
Maumere juga terkenal akan pantainya. Itulah sebabnya masakan laut sangat mudah dijumpai dengan menu kuah asam yang menjadi andalan. Dengan harga Rp 50.000 per porsi, kita bisa menikmati kuah asam berupa daging ikan kakap yang dimasak berkuah bening dengan citarasa jahe sehingga sangat cocok untuk menghangatkan badan.
Selain Teluk Maumere yang berada di dekat kota, ada pula Pantai Tanjung yang berjarak 20 kilometer dari pusat kota. Menuju ke sana menjadi daya tarik tersendiri karena melewati hamparan luas sawah tadah hujan hingga berganti dengan tepian laut. Saat itu permukaan laut tengah bergejolak. Pak Yos, sopir kami, menjelaskan bahwa pada musim kemarau biasanya laut tenang.
”Pada musim seperti ini laut mengamuk,” ujarnya.
Sampai di dasar salah satu bukit bernama Kajuwulu terdapat sebuah salib raksasa berwarna putih di ujungnya dan rangkaian anak tangga yang terbuat dari semen dan tidak terlalu curam untuk ditapaki. Hanya saja, keringat pasti mengucur sewaktu menapaki tangga hingga mencapai puncak. Meski embusan angin cukup kencang, menapaki tangga ini cukup membuat badan limbung atau paling tidak merasa lelah.
Namun, semuanya terbayar tuntas begitu kita sampai di atas. Panorama elok Pantai Tanjung yang berkelok-kelok dengan gugusan pulau terhampar di depan mata. Wilayah perbukitan penuh dengan rumput kehijauan juga menawarkan pesona tidak kalah elok.
Tidak heran, keindahan Maumere bisa digambarkan melalui lagu ”Maumere Manise” berikut:
Maumere dengan pulau-pulaunya,Nyiur melambai, Maumere manise,Maumere kalau masih ingat e,Jangan lupa Maumere manise.Ya, siapa pun memang akan tertambat ingatannya ke sana, ke Maumere Manise....(Didit Putra Erlangga Rahardjo/Kompas.com)