Ternyata, kala perintis kulit putih pertama kali melintasi Selat Magellan saat malam, mereka heran melihat banyaknya nyala api di daratan tak dikenal itu. Suku Indian Yahgan (atau Yamana) ternyata gemar menyalakan api unggun siang malam, bahkan dalam perahu saat menangkap ikan. Makanya, selain saat musim dingin, bangsa kulit merah yang kini telah punah itu hampir tak pernah berpakaian. Tanah Api pun melekat sampai kini.
Saya sebenarnya langsung mau ke Porvenir, kota terbesar di Tanah Api di belahan barat yang menjadi wilayah Chile – belahan timur milik Argentina. Tapi lebih dari tiga jam mengangkat ibu jari tiap kali ada kendaraan yang amat jarang lewat Porvenir, tiada yang memberi tumpangan. Akhirnya seorang staf Empresa Nacional del Petroleo (ENAP), Pertamina-nya Chile, yang baik hati menawarkan menginap di mess mereka selama dua malam karena esoknya pun belum ada kendaraan umum.
Tanah Api bukan wilayah subur. Gersang berbatu, kebanyakan stepa (padang rumput semi gurun), diselingi perbukitan rendah dan rawa bersemak belukar dan ilalang. Beragam jenis burung liar hidup bebas macam flamingo, nandu (sejenis burung unta mini), belibis, bangau, elang, keiken (sejenis angsa liar), dan kadang burung nazar. Wilayah 76.000 km persegi ini dipenuhi estancias, tempat ternak domba, sapi, dan kuda.
Sore itu di Cerro Sombrero, Tanah Api, saya berdiri sendiri di ketinggian, memandang lepas jauh ke depan. Mentari senja memancar merah menyala, yang sepanjang hari tak bisa memanasi Bumi di tepi kutub itu. Sunyi. Perasaan mistis menyusup di tengah alam memukau. Apakah perasaan sama pernah merasuki suku Yahgan? Entahlah.
"Mata kucing" di jalan
Pachamama diambil dari kepercayaan suku Inca. Dewi Bumi. Bersama suaminya, Inti sang Dewa Matahari, keduanya merupakan dewa-dewi utama suku Indian yang memerintah Peru, Bolivia, utara Chile, dan Argentina selama berabad-abad sampai 1532, kerajaan besar itu takluk pada Spanyol.
Paket wisata ini khas aturannya. Peserta bisa bergabung dan berpisah dengan rombongan di mana pun dan kapan pun sepanjang jalur. Jadi, peserta leluasa tinggal lebih lama di suatu tempat, yang bisa dijemput Pachamama begitu lewat lagi. Jalur selatan lewat Santiago, Pichilemu, Pucon, Valdivia, Puerto Montt, Puerto Varas, Salto el Laja, Vina Balduzzi, Santiago ini memakan waktu tujuh hari.
Asal ada kesepakatan antarpeserta, jalur bisa berubah. Begitu juga soal hotel dan restoran bisa dirundingkan dengan pemimpin wisata yang kerap merangkap jadi pemandu dan sopir. Kalau peserta banyak digunakan bus wisata, jika sedikit dengan SUV atau jip seperti yang saat itu saya ikuti.
Saat itu musim dingin di selatan Bumi, seperti di Chile, tapi panorama sepanjang jalan amat menawan. Tanah pertanian subur menghijau permai, dilatarbelakangi Andes, biru keabu-abuan di kejauhan berpuncak salju. Beberapa gunung berapi jadi arena ski di musim dingin seperti Gunung Villarrica, Osorno, dan Calbuco.
Es dan salju yang mencair di musim panas membentuk anak-anak sungai yang mengalir menuruni Pegunungan Andes. Air keputih-putihannya berkumpul di danau yang tersebar. Hutan hijau lebat, lembah dan pertanian hijau muda diselingi tanah kecoklatan, danau dan sungai biru-hijau keputih-putihan, pegunungan keabu-abuan ditingkahi salju di sana-sini – paduan yang membentuk tamasya memukau.
Pan-americana Highway paling sering saya lalui sepanjang wisata dengan Pachamama. Jalan bebas hambatan yang dicita-citakan membujur dari Alaska sampai Tanah Api ini pantas diacungi jempol, paling tidak untuk bagian yang berada di Chile. Menurut Koke, pemandu kami, jalan bersih dan terawat baik itu dikelola berbagai perusahaan yang diberi tanggung jawab memelihara bagian jalan tertentu di suatu wilayah.
Di sepanjang jalan, yang sulit ditemui lubangnya itu, tiap jembatan memiliki nama, baik untuk jembatan maupun anak sungai yang diseberangi. Ada "mata kucing" (pancang-pancang logam pemantul sinar) tertanam di marka pemisah jalur dan pinggiran jalan, memantulkan warna putih berkilau dan kuning saat malam.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR