Rahasia Hilal, Menghitung Bulan Menetapkan Awal Puasa dan Lebaran

Moh Habib Asyhad

Editor

Menghitung Bulan Menetapkan Lebaran: Mereka yang Melihat Hilal
Menghitung Bulan Menetapkan Lebaran: Mereka yang Melihat Hilal

Intisari-Online.com -Inilah rahasia bagaimana menghitung bulan menetapkan lebaran.. Terdapat 305 tempat di Indonesia yang dipakai untuk melihat bulan. Mantan Kepala Subdit Pertimbangan Hukum Agama dan Hisab Rukyat, Departemen Agama RI Drs. Wahyu Widiana M.A., mengungkapkan itu kepada kita.

Bulan suci Ramadhan telah tiba. Bulan suci ini diyakini sebagai bulan “panen” bagi mereka yang menyenangi kebajikan.

(Baca juga: Khusus Penderita Maag, Inilah Makanan Terlarang Saat Berpuasa)

Betapa tidak? Pada bulan ini banyak sekali keistimewaan yang tidak akan diperoleh pada bulan-bulan lainnya. Amalan ibadah wajib akan dibalas berlipat ganda, dan amalan sunah akan diberi pahala seperti mengerjakan amalan wajib di luar bulan Ramadhan.

Dikatakan, pada bulan suci ini pintu-pintu surga terbuka lebar, pintu neraka tertutup rapat, dan tangan jahil setan terbelenggu kuat. Orang yang lulus menjalankan kewajiban Ramadhan akan disebut sebagai orang fithri, orang suci sebagaimana sucinya seorang bayi yang baru lahir.

Namun sayang sekali, sering ditemui masalah yang sedikit “menggangu” walaupun ada yang menganggap itu hal biasa; tak perlu dipermasalahkan dan dibesar-besarkan. Masalah yang dimaksud adalah perbedaan hari dalam merayakan Idul Fitri. Yap, perbedaan Lebaran.

(Baca juga: Bagaimana Kaum Muslim Berpuasa di Midnight Sun, Tempat Matahari Bersinar 24 Jam Sehari?)

Perbedaan ini menjadikan banyak orang ingin tahu permasalahannya: mengapa hal itu bisa terjadi. Tulisan ini diharapkqn dapat menjawab pertanyaan tersebut dan memberi gambaran tentang penetapan Idul Fitri di Indonesia.

Mengintip bulan

Semula, awal dan akhir Ramadhan ditentukan dengan cara melihat bulan sabit. Fase bulan—yang semula gelap, lalu tampak kecil berbentuk sabit tipis, semakin besar sampai purnama, kemudian kembali mengecil sampai hilang dan timbul lagi seperti sabit dijadikan pedoman dalam melakukan puasa Ramadhan.

Bahkan lebih jauh dari itu, fase bulan tersebut dalam istilah astronomi dikenal sebagai periode bulan sinodis itu (satu periode sekitar 29,5 hari) dijadikan pedoman dalam menentukan bulan-bulan Islam.

Memulai dan mengakhiri puasa dengan cara melihat bulan juga diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW: “Berpuasalah kamu jika melihat bulan, dan berbukalah jika melihat bulan”. Perintah Nabi tersebut sangat praktis, sebab melihat bulan dapat dilakukan oleh setiap orang, tanpa harus mengetahui perhitungan dan data astronomis.

(Baca juga: Bulan Puasa Menjelang, Konsumsilah Santan Secara Moderat)

Dengan perintah tersebut, setiap menjelang awal bulan Ramadhan, kaum muslimin beramai- ramai mendatangi pantai, gunung, dan bukit yang diperkirakan mudah untuk melihat bulan sabit.

Mereka berusaha melihat bulan sabit tersebut pada tanggal 29 bulan Sya'ban (nama bulan sebelum, bulan Ramadhan) setelah saat matahari terbenam, sebab bulan sabit pertama akan nampak di sekitar arah matahari terbenam. Jika bulan sabit tersebut nampak, maka malam itu dan keesokan harinya dihitung sebagai tanggal satu bulan Ramadhan.

Namun jika bulan sabit itu tidak dapat dilihat, maka keesokan harinya dihitung sebagai tanggal 30 bulan Syaban. Puasa Ramadhan dimulai sejak lusanya, tanpa melakukan usaha melihat bulan lagi.

Sering pula, usaha “mengintip” bulan ini dilakukan sejak dua hari sebelum tibanya bulan Ramadhan dengan maksud siapa tahu perhitungan tanggal mereka keliru dan bulan sudah muncul lebih awal daripada yang mereka perkirakan. Usaha “mengintip” bulan sabit ini, dalam Islam, dikenal dengan istilah rukyat hilal. Hilal adalah istilah bahasa Arab untuk bulan sabit yang timbul di awal bulan.

Kepastian masuknya Ramadhan diumumkan ke seluruh negeri secara lisan dan berantai. Pada saat masyarakat Islam masih belum tersebar luas, mereka dapat memulai dan mengakhiri Ramadhan secara bersama-sama, sebab berita tersebut dengan mudah dapat menjangkau seluruh masyarakat.

Namun ketika Islam telah tersebar luas, maka timbullah permasalahan sejauh mana berlakunya berita berhasilnya rukyat hilal tersebut. Ada ulama yang berpendapat bahwa hasil rukyat hilal tersebut hanya berlaku lokal, sekitar 90 km. Alasannya, kemungkinan untuk dapat melihat hilal selalu didahului oleh daerah-daerah yang lebih barat. Bisa terjadi, hilal sudah dapat dilihat di daerah sebelah barat namun mungkin belum terlihat dari daerah sebelah timurnya, sebab masih di bawah ufuk.

Berlakunya hasil rukyat dianalogkan kepada jarak perjalanan yang membolehkan seseorang melakukan salat qashar, yaitu sekitar 90 km. Artinya, jika di suatu tempat hilal sudah dapat terlihat, maka maksimum 90 km daerah sebelah timurnya harus memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan sama seperti daerah yang telah berhasil melihat hilal tadi. Ulama lainnya berpendapat bahwa berlakunya hasil rukyat mengikat kepada seluruh umat Islam yang tinggal di suatu negara. Alasannya, hasil rukyat hilal baru mempunyai kekuatan hukum jika telah dikukuhkan oleh kadi atau pemerintah.

Oleh karena itu, hasil rukyat harus berlaku untuk semua wilayah kekuasaan kadi atau pemerintah tersebut. Pendapat lainnya lebih luas lagi. Hasil rukyat harus berlaku untuk setiap kaum muslimin yang menerima kabar tersebut di mana pun ia berada dan dari bangsa apa pun ia berasal. Pendek kata, pendapat ini memberlakukan hasil rukyat untuk seluruh dunia. Alasannya, Nabi memerintahkan melihat hilal kepada kaum muslimim secara umum, tidak terikat oleh daerah dan bangsa. Artikel ini pernah ditulis di Intisari Februari 1994 dengan judul "Menghitung Bulan Menetapkan Lebaran".

Artikel Terkait