Menyikapi Tingkah Aneh Si Bos (1)

Rusman Nurjaman

Editor

Menyikapi Tingkah Aneh Si Bos (1)
Menyikapi Tingkah Aneh Si Bos (1)

Intisari-Online.com - Pernahkah Anda atau teman Anda atau mendengar cerita perihal karyawan yang berhenti kerja karena tidak suka dengan gaya kepemimpinan atasan? Meski jarang, namun kasus seperti itu ada. Tyas, 27 tahun, contohnya. Kini ia berstatus mantan karyawan sebuah perusahaan penerbitan buku. Setahun lalu dia masih bekerja sebagai editor agrobisnis di perusahaan itu. Kemudian, memutuskan untuk berhenti lantaran merasa tidak cocok dengan atasan.

Atasannya sering berperilaku tidak adil. Meski sering datang telat, si bos berlagak “baik-baik saja”. Padahal, giliran karyawan yang telat, dia tidak terima. Alih-alih menegur, ia lebih suka menyindir. Ia juga sering menolak pekerjaan karyawan tanpa alasan yang jelas.

Misalnya, sekali waktu Tyas mengusulkan rancangan cover buku. Atasannya tidak setuju tanpa memberi alasan, apalagi memberi solusi atau saran. “Jalan pikirannya tidak pernah sama dengan yang lain,” ucap Tyas tak habis pikir. Dia tidak jarang mengapresiasi usaha keras karyawannya, malah lebih sering mencaci.

Acapkali ketika semua karyawan sibuk bekerja, sang bos malah asyik nonton TV lewat HP atau baca koran. Bahkan, ia juga suka membuka komputer karyawannya untuk “memata-matai” apa yang dilakukan karyawan. Akhirnya, para karyawannya memilih diam. Segala titah sang bos dipatuhi saja, sebelum kemudian Tyas dan karyawan lain mundur teratur. Kendati demikian, ia tak sendirian. Pekerja di tempat lain pun tak jarang mengalami hal serupa. Sebaliknya, ia percaya, tidak semua bos mempunyai tipe kepemimpinan yang sama. Di tempat lain masih banyak atasan yang baik.

Atasan sebagai “kambing hitam”?

Alasan orang berhenti kerja memang bisa macam-macam. Misalnya, karena tidak cocok dengan teman atau lingkungan kerja, masalah kesejahteraan (gaji/reward), atau masalah prinsip pribadi karyawan sendiri. Tetapi faktor atasan yang bertingkah ini tidak bisa dibilang faktor yang paling buncit.

Elistyawati Ruhiyat, MA, praktisi SDM dan perencanaan karier dari Career Care Indonesia, membenarkan adanya kecenderungan tersebut. Berdasarkan beberapa kasus yang pernah ditanganinya, alasan karena tidak cocok dengan atasan turut memicu turn over kerja yang tinggi selama ini. Terlepas dari jujur tidaknya pengaduan klien, menurutnya, faktor atasan ini setidaknya paling mudah “dikambinghitamkan” ketika orang memilih berhenti atau keluar dari pekerjaannya. Hanya saja, ibarat pepatah, tak mungkin ada asap jika tak ada api.

Elis menambahkan, gaya kepemimpinan yang selama ini banyak dianut, hampir semuanya memang berpotensi memunculkan konflik atasan-bawahan. Jika hal ini terjadi, banyak karyawan yang frustasi. Ujung-ujungnya, lantaran tidak sanggup bertahan lebih lama lagi, mereka memutuskan keluar.

Pemaparan Gary Yukl dalam Leadership in Organization (2010) pun sesungguhnya menyiratkan hal itu. Ada banyak kondisi yang menyebabkan gaya kepemimpinan atasan menjadi masalah bagi karyawannya. Contoh, atasan yang selalu bersikeras dengan prinsipnya sendiri. Jika berhadapan dengan karyawan yang juga suka menang sendiri bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Prasangka antara si pimpinan dengan karyawan pun tak bisa dihindari. Meski kemudian bisa didamaikan, ke depannya pimpinan akan tetap berperilaku sesuai prinsip yang dia yakini. Inilah yang membikin karyawannya tidak nyaman. Mereka menjadi tidak bisa mengekspesikan ide, harapan, atau kendala yang dihadapinya dalam bekerja.

Simak ulasan lengkapnya di Majalah Intisari Edisi Extra "Seputar Dunia Kerja", terbit November 2012.