Mengajarkan Anak Menyimpan Uang

Agus Surono

Editor

Mengajarkan Anak Menyimpan Uang
Mengajarkan Anak Menyimpan Uang

Intisari-Online.com -Anak tidak secara naluriah mengetahui bahwa menabung itu baik. Tapi ia akan mengetahuinya dari pengalaman dan pendidikan. Kalau uang tidak dikelola dengan baik, tidak akan terwujud keluarga sejahtera.

Bagi anak berumur 2,5 tahun, uang logam Rp 500,- yang berkilat keemasan, mungkin lebih menarik daripada uang kertas Rp 10.000,- karena anak kecil tidak mengenal nilai uang.

Anak-anak sering mengawasi dengan penuh minat ketika orangtua mereka menyerahkan lembaran uang kepada pemilik toko sebagai pembayaran gula, biskuit, dsb. Kadang-kadang sebelum pandai berbicara pun, mereka sudah main duit-duitan. Mereka menyerahkan lembaran kertas kepada ayah atau ibu dengan harapan menerima sesuatu.

"Sungguh permainan yang patut diladeni, karena anak mendapat kesempatan berpraktik sebagai konsumen," ucap Catherine Crook de Camp, ekonom AS sekaligus guru yang berpengalaman menolong kaum muda memecahkan masalah keuangan.

Lebih baik celengan kotak

Ketika Dudi berumur 5 tahun, neneknya memberi uang Rp 500,-. Kata nenek, uang itu mesti disimpan dan tidak boleh dibelanjakan. Dudi menyerahkan kembali uang itu dengan tangannya yang montok. "Kalau tidak boleh dibelanjakan, saya tidak mau, ah. Buat apa uang ini," katanya.

Dudi betul. Tanggapannya mungkin lain, kalau neneknya berkata begini, "Ini uang lima ratus rupiah. Simpan baik-baik sampai kau menemukan sesuatu yang sangat kau inginkan. Nah, uang ini bisa menolongmu untuk mendapatkannya."

Anak memang mesti belajar kapan harus menyimpan uangnya dan kapan harus membelanjakannya. Jika menanggapi serius pesan untuk menyimpan saja uangnya, ia akan menjadi orang kikir yang menderita frustrasi.

Contohnya Anto. Ketika umur 5 tahun ia dipesan tidak boleh membelanjakan uangnya, ia menurut. Ia berpikir, bukankah orang dewasa lebih bijaksana daripadanya? Sejak itu, kalau melihat anak lain makan es krim, ia cuma bengong sambil menahan liur. Ia tidak berani berpisah dengan uangnya.

Kini sebagai pria setengah umur, ia masih tetap merasakan kekurangannya semasa kanak-kanak. Akibatnya, hampir setiap hari ia makan es krim sebagai usaha untuk "menebus" kekurangannya di masa kanak-kanak.

Namun, tentu anak-anak bukan hanya perlu belajar kapan sebaiknya ia membelanjakan uangnya, melainkan juga bagaimana caranya memanfaatkan uang sebaik-baiknya. Anak umur 4 atau 5 tahun bisa diajak ke toko dengan berbekal umpamanya uang Rp 500,-. Ia sudah diberi tahu, tidak boleh berbelanja lebih dari Rp 500,-.

Ia boleh melihat-lihat dan memilih. Kalau memilih benda yang harganya lebih dari Rp 500,-, kita beri tahu barang itu harganya di luar jangkauan. Namun bila belum ada yang ingin dibelinya, uang itu bisa disimpan untuk lain kali, kalau ada benda yang benar-benar berkenan di hatinya. Kalau ada barang yang ingin ia beli, kita antarkan ia ke kasir untuk menyerahkan sendiri uangnya.

Kita pun mesti bisa mengerti bahwa celengan yang harus dipecahkan tidak disukai oleh anak-anak. Mereka lebih suka celengan berbentuk cash box, yang bisa dibuka-tutup dengan kunci kalau mereka ingin menghitung isinya atau mengambil sebagian untuk dibelanjakan.

Celengan macam itu melindungi milik mereka dari jangkauan orang lain, tetapi memungkinkan mereka menikmati uangnya. Celengan juga membuat anak merasa "aman" karena tahu sewaktu-waktu diperlukan mereka bisa memanfaatkan isinya. (*)