Intisari-Online.com – Seperti apa seharusnya seorang pilot itu? Seperti sosok Kresna. Begitulah gambaran seorang penerbang yang sigap dan gagah. Tapi ia tetap manusia biasa, masih menjadi faktor dominan penyebab kecelakaan pesawat. Bisa dimaklumi, angkasa memang bukan habitat manusia. Pesawat Garuda Boeing 737-300 yang menjadi berita utama saat berhasil “mendarat” di Bengawan Solo, 16 Januari 2002, membangkitkan rasa ingin tahu, apa yang persis dihadapi oleh seorang pilot, terutama ketika diancam situasi gawat mendesak macam itu? Mursiddi, MBA, Marsekal Pertama (Purn) TNI, mantan instruktur penerbang Hercules C-130 menuliskannya. Tulisan ini pernah dimuat di Intisari, Maret 2002.
--
Dari sejarah penerbangan terungkap, terjadinya suatu kecelakaan selalu disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari tiga faktor. Faktor manusia berperan sebesar 70 – 75% dari seluruh kecelakaan. Disusul faktor mesin atau sarana kerja, yang mengambil porsi 20%. Sisanya lingkungan kerja, yang memegang peran sebesar 5 - 10%.
Pertanyaannya, mengapa manusia menempati posisi dominan dalam kecelakaan pesawat? Jawabannya sederhana, ruang udara bukanlah habitat asli manusia. Sehingga manusia yang bekerja di udara membutuhkan penyesuaian lingkungan yang tidak gampang. Di udara, manusia juga memerlukan kemampuan memperkirakan dan peralatan yang ekstra.
Sementara itu, di angkasa manusia juga dituntut cepat dan tepat dalam mengambil keputusan. Keterlambatan dan ketidakcermatan pengambilan keputusan bisa menyebabkan kecelakaan di udara.
Setiap pengambilan keputusan selalu dipengaruhi oleh otak rasional dan emosional. Penerbang yang baik bisa menggabungkan keduanya. Bila otak emosional menonjol, penanganan masalah menjadi tidak rasional. Sebaliknya, penggunaan rasio saja terbukti tidak menghasilkan tindakan secepat kalau emosinya ikut digunakan.
Dalam kondisi mesin mati, misalnya, pilot harus mengatasi dulu dan tetap mengambil langkah-langkah yang sudah digariskan. Kalau pada pesawat baling-baling, maka baling-balingnya harus diusahakan berhenti dengan sudut 90%. Maksudnya agar tidak membuat hambatan (drag). Sedang pada pesawat jet harus dipastikan tidak ada api di mesin dengan menarik fire extinguisher. Jika memungkinkan, mesin coba dihidupkan.
Ia juga harus memberi tahu kopilot dan awak kabin. Lha, kalau dalam kondisi segawat itu ia panik, berabe semuanya. Segala pegambilan keputusan itu tentu bergantung pada tingkat keterampilan yang dibentuk dari pengetahuan dan pengalaman yang ada.
Butir-butir kesalahan umum yang dibuat oleh manusia, khususnya penerbang yang terlihat dari data-data penyebab kecelakaan pesawat antara lain: kesalahan monitoring, kesalahan deteksi, keliru menentukan prioritas penanggulangan, kegagalan dalam menyampaikan informasi, kelemahan dalam koordinasi dan komunikasi, keliru dalam pendelegasian tugas dan tanggung jawab, terlalu sibuk menangani problem kecil, salah dalam melaksanakan prosedur, tidak dapat berkonsentrasi.
Deretan penyebab kecelakaan itu, bisa saja merupakan kesalahan yang tidak disengaja, tapi sudah diketahui. Atau bisa jadi tidak disengaja dan tidak diketahui.
Kadang memang seorang pilot sudah tahu salah, tetapi karena ia menganggap enteng dan memandang hal itu tidak membahayakan, ia tidak merasa perlu mengambil tindakan penanggulangan. Padahal mungkin saja akar kesalahan itu membahayakan. Taruhlah dalam hal mesin. Normalnya, kekuatan mesin harus berkisar 90 – 100%. Tetapi bisa saja seorang penerbang atas perhitungannya sendiri masih menanggap wajar kekuatan mesin yang katakanlah, Cuma 88%. Padahal kondisi di luar range 90 – 100%, entah 88% atau 89%, sebaiknya diwaspadai dan dicari penyebabnya.
Terlalu berkutat pada problem-problem kecil bisa juga membahayakan. Masalahnya perhatian berlebih pada masalah kecil bisa mengurangi kewaspadaan pada hal-hal yang besar. Saat disadari, segalanya sudah terlambat. Persoalannya adalah sangat sulit diterka apakah sebuah kesalahan merupakan akar permasalahan yang kecil atau besar.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR