Riwayat Kebon Dalem, dari Istana Menjadi Tiada

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Kebon Dalem tak bisa dipisahkan dari sejarah Pecinan di Semarang. Rumah yang dibangun dengan tiga aspek gaya itu berada di tepian Kali Semarang yang membelah Pecinan. Bagaimana takdir rumah dan para penghuninya? (Wikipedia Commons/pewarnaan: Sulton)
Kebon Dalem tak bisa dipisahkan dari sejarah Pecinan di Semarang. Rumah yang dibangun dengan tiga aspek gaya itu berada di tepian Kali Semarang yang membelah Pecinan. Bagaimana takdir rumah dan para penghuninya? (Wikipedia Commons/pewarnaan: Sulton)

[EDISI IMLEK]

Kebon Dalem tak bisa dipisahkan dari sejarah Pecinan Semarang.Rumah yang dibangun dengan tiga aspek gaya itu berada di tepian Kali Semarang yang membelah Pecinan. Bagaimana takdir rumah dan para penghuninya?

Penulis: Bram Luska untuk Majalah Intisari Februari 2024

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Cerita tentang Kebon Dalem tak mungkin lepas dari nama Be Ing Tjioe, pemuda kelahiran Cina yang mengadu nasib ke Pulau Jawa. Konon, setelah tiba di Semarang, dia bekerja untuk keluarga Tjoa.

Be Ing Tjioe yang bekerja dengan baik dan ulet kemudian dinikahkan dengan putri juragannya itu yang bernama Tjoa Tjoe Nio. Dari pernikahan itu lahirlah tiga putra: Be Biauw Tjoan (1826 -1904), Be Ik Sam(1838-1891), dan Be Soe Ie (1833-1888).

Menurut bukuRiwayat Semarangyang diterbitkan Java Ien Boe Kongsi, pembangunan rumah Kebon Dalem dimulai pada 7 Januari 1839, ketika Be Ing Tjioe diangkat sebagai kapitan di Bagelen. Beberapa bulan kemudian dia membeli juga beberapa petak rumah di Gang Pinggir yang tak jauh dari rumahnya itu, juga sebidang tanah.

Tukang-tukang lalu didatangkan untuk membangun Kebon Dalem. Karena jumlahnya yang banyak, setelah pembangunan rampung, mereka akhirnya ikut menetap di areal kebun kentang di belakang Kebon Dalem. Kawasan itu kini dikenal sebagai Kentangan.

Jika menengok dari desainnya, rumah megah itu mengadopsi tiga gaya bangunan sekaligus: gaya Cina, Eropa, dan Jawa. Gaya Cina terlihat dari atap bangunannya dengan gaya ekor walet khas Minan. Aroma Eropa didapat dari pilar-pilarnya. Sementara aksen Jawa-nya terlihat dari penataan paseban dan taman yang berbentuk huruf U.

Tempat berpesta di hari raya

1841, untuk pertama kalinya Be Ing Tjioe dan keluarga menempati Kebon Dalem yang juga disebut Tong Wan (kebun sebelah timur). Karena itulah ketika Be Ing Tjioe diangkat sebagai Majoor der Chinezen Bagelan pada 25 Desember 1841, perayaan meriah digelar di rumah baru itu.

Kebon Dalem akan semakin riuh saat perayaan Imlek tiba. Ketika itu,tuan rumah mengadakan pesta selama 14 hari berturut-turut. Sejak di Kebon Dalem itu juga, menurut sebuah arsip lama, Be Ing Tjioe punya kebiasaan berbagi uang kepada keturunan Tionghoa yang kurang mampu.

Kebiasaan bagi-bagi uang itu dilakukan padaDji Kauw Me atau sehari sebelum Sintjia. Tujuannya adalah bersyukur kepada para leluhur. Kebetulan, sekitar 1851-an Majoor Be Ing Tjioe mendapatkan laba yang besar besar jumlahnya.

Suasana Kebon Dalem juga tak kalah meriah saat Peh Cun (secara harafiah berarti mendayung perahu). Pada momen itulah keluarga besar Be Ing Tjioe berkumpul.

Tapi tak hanya keluarga besar, masyarakat di sekitar, termasuk warga di Gedong Gulo, juga ikut berpartisipasi. Yaitu ikut berperahu dari Gedong Gulo menuju Kebon Dalem.

Intinya, setiap hari rayanya keturunan Tionghoa, Kebon Dalem selalu ramai. Semua sahabat dan keluarga besar Be Ing Tjoe -- termasuk dari pihak istri -- merayakan bersama-sama.

Biasanya, mereka terlebih dahulu akan mengunjungi See Wan atau taman barat di kompleks Gedong Gulo lalu naik perahu kecil menuju Tong Wan atau taman timur yang ada di kompleks Kebon Dalem.

Acara semakin meriah karena diramaikan oleh musik-musik dan syair-syair Tionghoa -- sembari menikmati secangkir arak. Dari sini lahirlah peribahasa Tionghoa masyhur: "See Wan tjay tjioe, Tong Wan tjoey". Artinya kurang lebih: "Bawa arak dari Kebon Barat (Gedong Gulo) akhirnya mabuk di Kebon Timur (Kebon Dalem)."

Sebuah kabar duka mengejutkan tiba-tiba menghantam Kebon Dalam pada Peh Cun 1857: Be Ing Tjioe yang sedang berada di Batavia meninggal dunia.

Pesta yang awalnya berlangsung begitu meriah langsung berhenti tanpada ada perintah. Itu membuktikan begitu besarnya rasa hormatn kepada Be Ing Tjioe.

Jenazah Sang Mayor dibawa ke Semarang menggunakan kapal Koningin der Nederlanden. Keluarga Be menyewa satu kapal itu dengan biaya sepuluh ribu rupiah. Siapa pun yang ingin ke Semarang juga bisa ikut serta ... tanpa biaya.

Meski sudah puluhan tahun meninggalkan tanah leluhur, keluarga Be tak melupakan tradisi nenek moyang. Itu terlihat dari acara perkabungan Be Ing Tjioe.

Misalnya, anak laki-laki (hauw lam) mengenakan pakaian putih ketika berduka. Mereka juga tak diperkenankan tidur di atas ranjang atau bale-bale. Keluarga inti juga tak diperkenankan tidur di kamar sampai jenazah berangkat ke pemakaman.

Selama hari berkabung, keluarga akan tidur di samping siupan atau peti mati ala Tionghoa yang berbentuk kembang cengkeh. Keluarga juga tidak boleh memangkas rambutnya sebelum sembahyangtjoo pek djit atau seratus hari setelah meninggal. Sembahyang ini adalah simbol rasa bhakti tulus keluarga untuk mendiang.

Setelah serangkaian prosesi di Kebon Dalem, jenazah Mayor Be Ing Tjioe dimakamkan di perbukitan Wonodri. Kelak, pemakaman ini dikenal sebagai Wonodri Kebon Dalem karena banyak keluarga Kebon Dalem dimakamkan di sini.

Upacara tjoo pek djit pun tiba. Selama beberapa hari sebelum acara dimulai para hwee sio dari Kelenteng Tay Kak Sie sangat sibuk mengatur upacara sembahyangan besar (tjoo kong tek) di Kebon Dalem.

Tentu upacara perkabungan semacam ini berlangsung megah dan berbiaya besar. Misalnya untuk twa djoe (rumah-rumahan kertas yang akan dibakar saat upacara)saja harganya bisa sampai seribu rupiah. Untuk saat itu, harganya setara dengan rumah biasa layak huni.

Beras satu kapal

Masa kejayaan Kebon Dalem terjadi di bawah pimpinan putra tertua Be Ing Tjioe yang bernama Be Biauw Tjoan (1826-1904). Awalnya sebagai Luitenant der Chinezen (1845) lalu naik pangkat hingga Majoor der Chinezen Semarang pada 1860.

Di bawah kepemimpinannya, Kebon Dalem menjadi istana megah dan simbol kejayaan Keluarga Be.

Untuk menjaga istananya, Majoor Be menyewa jago-jago silat tersohor. Salah satunya Be Kang Pien. Menjelang akhir abad ke-19, kemasyhuran Kebon Dalem -- selain sebagai tempat tinggal juga sebagai kantor Majoor Be Biaew Tjoan -- sudah terdengar hingga kawasan Asia bahkan Eropa.

Tak hanya kaya raya,Be Biauw Tjoan juga dikenal sebagai sosok yang dermawan. Pada 1888 dia menyumbang beras satu kapal penuh untuk membantu korban kelaparan di wilayah Kekaisaran Austro-Hongaria.

Salah satu provinsi yang terparah adalah Galicia, yang angka kematian mencapai 50 ribu orang. Berkat bantuan itu, pada 1889, Be Biauw Tjoan dianugerahi bintang jasa Ritterkreuz Allerhochste Ihres oleh Kaisar Austro-Hongaria Franz Joseph I.

KetikaRaja Siam (Thailand) Chulalongkorn berkunjung ke Semarang pada 1895, Kebon Dalem adalah tempat menginapnya. Setahun kemudian Be Biau Tjoan menerima gelar Ridden van den Witten Olifant von Siam (The Knight of the White Elephant) dari Raja Chulalongkorn karena sumbangannya untuk negeri Gajah Putih tersebut.

Pada masa jayanya, Be Biauw Tjoan merajai bisnis di Jawa. Mulai dari perdagangan opium, gula, hingga shipping. Berkat bisnisnya yang begitu besar itu pula, keluarga Be bisa menjalin hubungan kekaisaran Tiongkok yang saat itu di bawah Dinasti Qing.

Kaisar Guangxu dari dinasti Qing bahkan sempat memberikan gelar Grand Master (Tongfeng Dafu) kepada Be Ing Tjioe dan Be Biauw Tjoan karena sumbangsih keduanya yang begitu besar. Khususnya untuk Be Biauw Tjoan yang pada 1888 mengirimkan bantuan kepada korban perang di daerah Fujian, Tiongkok.

Bukti penganugerahan ini sebetulnya terpahat pada batu besar yang ada di sebuah bukit di daerah Peterongan.

Sayangnya pada 1970-an saat banyak bong (pemakaman) di daerah Semarang digusur untuk pemekaran wilayah pemukiman, batu besar itu pun lenyap. Jejaknya kini hanya bisa dilihat di arsip majalah Sin Po terbitan 1934.

Bukti lain kedekatan Keluarga Be dengan kekaisaran Qing adalah Kebon Dalem selalu menjadi tempat prosesi upacara pengangkatan Kaisar Qing atau upacara peringatan meninggalnya para kaisar Qing, juga kerabat dekat kaisar. Peristiwa-peristiwa itu bisa kita lihat fotonya di buku Riwajat Semarang.

Pada pergantian abad 19 ke 20, persisnya dipengujung era Kekaisaran Qing, Kebon Dalem juga menjadi saksi bisu serangkaian peristiwa penting bagi kaum Tionghoa Peranakan. Kunjungan tokoh reformis Tiongkok, Kang You Wei, mendorong berdirinya Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) atau organisasi kaum peranakan etnis Tionghoa.

Pada akhir 1903, Kang You Wei berkunjung ke Kebon Dalem dan disambut hangat oleh Be Biauw Tjoan. Dari pertemuan inilah, Kang You Wei akhirnya bisa bertemu dan mendapat banyak sokongan dana dari Oei Tiong Ham yang juga dijuluki Sang Raja Gula. Hingga akhirnya pada awal 1904 berdirilah THHK Semarang.

Di awal berdirinya THHK Semarang, salah satu bagian dari Kebon Dalem juga pernah dipakai untuk kegiatan belajar-mengajar sekolah THHK.

Pada 1907 masyarakat Tionghoa Semarang menyambut kedatangan dua kapal cruiser milik Angkatan Laut Dinasti Qing yaitu Hay Yong dan Hay Kie. Dua Kapal ini membawa dua utusan penting kekaisaran Qing untuk menarik dukungan para hoakiauw atau masyarakat Cina di perantauan.

Maklum saat itu Kekaisaran Qing sudah berada di ujung tanduk karena perlawanan kaum Revolusioner dr. Sun Yat Sen. Kedatangan mereka disambut begitu meriah di Semarang. Rombongan ini disambut dan berfoto bersama di dalam Kebon Dalem.

Pada 1909 di Kebon Dalem diadakan upacara sembahyangan Tjoo Kong Tik. Acara yang diselenggarakan oleh Tiong Hoa Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) Semarang ini untuk menghormati mangkatnya Ibu Suri Tjoe Hie dan Kaisar Kong Sie (Guangxu).

Mendirikan bank swasta

Setelah wafatnya Be Biauw Tjoan pada 1904, kejayaan Kebon Dalem lambat laun meredup.

Untuk mengenang keberadaannya, pada 1933, ruas jalan di kawasan Kampung Kali diberi nama Be Biauw Tjoan weg oleh Gemeente Semarang. Kini nama jalan itu sudah menjadi Jalan D.I. Panjaitan.

Pada 1922, pemerintah kolonial Hindia Belanda memaklumatkan De Javasche Bank Wet (DJB Wet). Peraturan itu memicu lahirnya bank-bank baru di Hindia Belanda, baik dari dalam maupun luar negeri.

Salah satunya Be Biauw Tjoan Bank (BBT Bank), bank swasta pertama di Hindia Belanda yang berkedudukan di Semarang. Be Biauw Tjoan Bank menempati salah satu gedung Kebon Dalem yang berada di Jalan Gang Pinggir.

Awalnya bank ini terlibat begitu optimis mengingat hampir seluruh pengusaha dan kaum Tionghoa mempercayakan pengelolaan dana mereka kepada mereka. Tapi secara tiba-tiba bank ini kolaps pada 1927.

Banyak yang menduga tutupnya bank ini karena krisis ekonomi dunia yang mencapai puncaknya pada 1930. Malaise dan the Great Depression yang terjadi selama satu dekade dari 1929 hingga 1939 itu memang momok mengerikan bagi kondisi keuangan dunia saat itu.

Periode1930–1933 adalah masa-masa suram dunia perbankan. Banyak bank yang terpaksa tutup karena masyarakat menarik simpanan secara besar-besaran. Tak hanya BBT Bank yang kolaps, Kebon Dalem pun semakin meredup pamornya.

Didapat dari lelang

Menurut catatan sejarah, ada salah satu anggota keluarga Be yang beragama Katolik. Namanya Clara Maria Be Kiem Nio. Dia dibaptis pada 2 juni 1895 oleh Pastor Hellings.

Be Kiem Nio, yang lebih dikenal sebagai Mak Oei Kong Swie, menggunakan kamarnya di loteng rumah Kebon Dalem sebagai miniatur Gereja Gedangan.

Pada 1925, Pastor Beekman SJ dari Gereja Gedangan tertarik berdakwah di kawasan Pecinan Semarang. Dia bertemu dengan Be Kiem Nio yang mengajaknya jalan-jalan di area Kebon Dalem.

Karena tertarik, pastor itu minta izin kepada Be Kiem Nio untuk menyewa pelatarannya. Namun permintaan itu rupanya selalu ditolak dengan halus dan senyum.

Saat itu pamor Kebon Dalem sudah memudar dan menjadi rumah abu. Bahkan di beberapa bagian rumah nyaris roboh karena ditelantarkan begitu lama.

Keluarga Kebon Dalem punya kerabat dekat yang terkenal dengan aksi sosialnya. Dialah Mevrouw Goei van Plampitan alias Be Soen Nio. JandaGoei Ing Hong itu rupanya punya perhatian lebih terhadap Istana Kebon Dalem.

Be Soen Nio ini bila diurut silsilahnya ternyata masih cucu-keponakan Be Biauw Tjoan. Be Ik Sam, kakek dari Be Soen Nio, adalah saudara kandung Be Biauw Tjoan.

Be Soen Nio sendiri tentu bukan orang sembarangan. Selain istri seorang konglomerat, dia adalah putri tertua Majoor der Chineezen Solo, Be Kwat Koen.

Pada 1930Mevrouw Goei mengatur rencana agar Kebon Dalem tidak sampai jatuh ke tangan yang salah, mengingat sudah santer beredar kabar kalau rumah itu bakal jadi rumah dansa. Dia kemudian membeli salah satu bagian Kebon Dalem untuk dijadikan sekolah khusus putri Tionghoa bernama St.Mary’s Hall.

Pada akhir 1936, Mevrouw Goei jugamenyokong keinginan Pastor Beekman yang ingin membangun panti asuhan dan gereja.

Pada sebuah acara lelang 28 November 1936 di sebuah gedung dekat Stasiun Poncol, Kebon Dalem ditawarkan. Pastor Beekman yang dibantu Go Boon Toh, pengacara tersohor sahabat baik Mevrouw Goei, memenangkan lelang itu.

"You got it, Father. Congratulation!" teriak Go Boon Toh yang mewakili Pastor Beekman saat proses pelelangan.

Beekman yang saat itu sedang bersama sahabatnya R. Kleiverda (kelak ikut memperbaiki dan membangun kembali istana Kebon Dalem) langsung menuju ke Kebon Dalem. Itulah tonggak awal Kebon Dalem menjadi rumah perlindungan dan sekolah bagi anak-anak Tionghoa terlantar.

Kompleks Kebon Dalem yang dikelola para biarawan dan biarawati terus berbenah berkat sokongan dari para donatur. Salah satu donatur tetap adalah Mevrouw Goei van Plampitan.

Ketika Perang Dunia II, Kebon Dalem sempat menjadi kamp pengungsian khusus anak-anak dan orang tua Tionghoa dan Eropa. Konon, tentara Jepang tidak berani masuk ke kompleks gereja dan panti asuhan yang dijaga suster-suster dan biarawati Jerman. Bagaimana lagi, ketika itu Jerman adalah sekutu Jepang.

Setelah perang,Kebon Dalem jadi kompleks gereja, susteran, dan sekolah lagi. Sementara istananya perlahan-lahan menghilang. Kini di lokasi tersebut hanya tersisa serpihan-serpihannya, beberapa patung, dan batu hiasan bergambar hiolo.

Begitulah riwayat Kebon Dalem yang mengenaskan. Semoga ada Orang Baik yang peduli keberadaannya.

slide 8 to 10 of 6

Artikel Terkait