Mevrouw Goei dan Sumbangsih Besarnya untuk Pecinan Semarang

Tim Intisari

Editor

Kaum elite Peranakan Tionghoa di Semarang bukan hanya dikenal karena menguasai sendi-sendi perekonomian Hindia Belanda. Ada juga yang dikenal karena aksi sosialnya, seperti Mevrouw Goei, untuk Pecinan Semarang (sampul Majalah Intisari edisi Februari 2024)
Kaum elite Peranakan Tionghoa di Semarang bukan hanya dikenal karena menguasai sendi-sendi perekonomian Hindia Belanda. Ada juga yang dikenal karena aksi sosialnya, seperti Mevrouw Goei, untuk Pecinan Semarang (sampul Majalah Intisari edisi Februari 2024)

[EDISI IMLEK]

Kaum elite Peranakan Tionghoa di Semarang bukan hanya dikenal karena menguasai sendi-sendi perekonomian Hindia Belanda. Ada juga yang dikenal karena aksi sosialnya, seperti Mevrouw Goei, untuk Pecinan Semarang.

Penulis: Bram Luska untuk Majalah Intisari edisi Februari 2024

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Menjelang akhir abad ke-19 situasi di Hindia Belanda diwarnai dengan perkembangan di berbagai sektor kehidupan. Mulai dari kemajuan di dunia industri sampai terbangun kesadaran untuk hidup berbangsa dengan baik.

Akan tetapi untuk khusus untuk kaum Peranakan Tionghoa, situasi saat itu justru terasa tidak menguntungkan. Ini lantaran semakin hari ada perlakuan diskriminasi dari penguasa saat itu.

Antara lain dengan adanya sistem zonasi (Wijkenstelsel) yang melokalisasi orang-orang Tionghoa. Sistem ini diserta dengan sistem surat jalan (Passenstelsel) jika akan meninggalkan wilayahnya.

Dalam soal hukum pun, orang Tionghoa yang dikelompokkan dalam golongan Timur Asing, sering mendapat tindakan sewenang-wenang bila harus berurusan dengan Pengadilan Polisi (Politierol).

Begitu pula dalam kehidupan sosial ekonomi, diskriminasi terhadap orang Tionghoa begitu terasa sejak Undang-undang Agraria (1870) yang melarang orang Tionghoa memiliki tanah pertanian. Pemerintah juga saat itu bersikap tak acuh terhadap pendidikan anak-anak Tionghoa.

Saat itu orang-orang Peranakan Tionghoa digolongkan sama dengan orang pribumi di depan pengadilan, namun mereka dikenai pembatasan-pembatasan yang tidak dikenakan pada penduduk pribumi. Di sinilah mereka merasakan ketimpangan sosial yang mencolok.

Ada aturan yang membatasi, sementara hak-hak mereka dalam berpolitik, pendidikan dan kesehatan kurang terpenuhi.

Dalam kurun waktu yang sama, Nasionalisme Cina telah menyebar di seluruh Asia Tenggara. Semangat rasa nasionalisme yang sedang membara di Tiongkok pada akhirnya sampai ke Hindia Belanda.

Kesadaran untuk bersatu agar segala penindasan terhadap kaum Tionghoa bisa terobati, memberi dorongan kuat lahirnya gerakan Cina Raya (Pan-Cina) yang diawali dengan pembentukan Perhimpunan Tionghoa (Tiong Hoa Hwee Koan / THHK).

Sementara itu di kalangan masyarakat Tionghoa perantauan (Hoakiau) juga terjadi gerakan pembaruan yang cukup besar imbasnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam keadaan yang serba sulit ini, masyarakat Tionghoa akhirnya bangkit melawan semua ketidakadilan dengan suatu gerakan persatuan yang didasari semangat Nasionalisme Cina yang terjadi di Tiongkok.

Pakai nama suami

Pada masa penuh pergolakan itu, di Semarang yang menjadi pusat dalam berbagai kegiatan baik bisnis maupun pendidikan, muncul seorang tokoh filantropi yang tergerak hatinya karena melihat kondisi masyarakat Tionghoa yang semakin terpinggirkan. Dia dikenal dengan nama Mevrouw Goei Ing Hong.

Sosok Mevrouw Goei banyak tertulis dalam berbagai literasi kuno, seperti buku Riwajat Semarang karya maestronya sejarah Tionghoa Semarang, Liem Thian Joe, Sampoo fonds bladmaupun Orang-orang Tionghoa yang Terkemuka di Jawaterbitan 1935 yang disusun Tan Hong Boen.

Meski namanya muncul, sayangnya tidak banyak informasi tentang riwayat lengkap Mevrouw Goei.

Hanya beberapa tulisan di beberapa buku yang menuliskan dirinya sebagai seorang tokoh besar di bidang pendidikan sosial serta kesehatan bagi kaum Peranakan Tionghoa di Semarang pada akhir abad ke-19 sampai prarevolusi.

Awal 2021 saya mendapat informasi dari Goei Bian Tiek, sahabat saya yang juga keturunan marga Goei dari Semarang, bahwa nama asli Madame Goei adalah Be Soen Nio. Adapun Goei Ing Hong adalah nama suaminya yang kemudian dipakai setelah sang suami meninggal.

Upaya mencari tahu lebih banyak tentang sosok Madam Goei baru mendapat kemajuan setelah secara tidak sengaja saya menggali kembali sejarah Gereja Katolik Santo Fransiskus Kebon Dalem. Tepatnya dari sebuah jurnal keluaran tahun 1960 yang ditulis Profesor D.E Willmott tentang komunitas Tionghoa Semarang sebagai suatu etnik group yang berubah seiring peralihan zaman.

Dalam salah satu bab di jurnal itu, disinggung tentang peran para imam Katolik dalam mengubah aspek kehidupan masyarakat di Pecinan Semarang. Dari buku ini saya mendapat informasi lanjutan dari buku yang tak kalah menarik yaitu The Kwee Family of Ciledug, oleh Peter Post, 2018.

Pada buku kedua itu tertulislah nama Madame Goei sebagai salah satu penyokong Pastor Beekman SJ ketika mulai berkarya di Pecinan Semarang.

Di dalam buku itu tertulis nama yang tak asing yaitu Dr. Peter Post, kawan saya di Belanda sekaligus sejarawan yang banyak meneliti tentang kaum Peranakan Tionghoa di Nusantara.

Saya langsung mengontak Peter Post malam itu dan sungguh luar biasa karena Langit dan Bumi merestui. Saya mendapat kontak salah satu cucu Mevrouw Goei yakni L.H. Khoe.

Dari pembicaraan dengan Khoe yang berada Belanda, saya mendapat banyak informasi tentang kisah-kisah masa lalu dan foto-foto yang sangat berharga.

Keturunan keenam

Sebelum membahas lebih dalam tentang tokoh filantropi Peranakan Tionghoa Semarang ini, saya akan merunut riwayat keluarga Mevrouw Goei yang termasuk dalam kelompok “Cabang Atas” di Semarang pada masanya.

Istilah itu diberikan untuk kaum elite Peranakan Tionghoa yang eksis dalam sosio-politik masyarakat Tionghoa di Hindia-Belanda.

Sejarah singkat Goei Ing Hong (suami Mevrouw Goei) tak lepas dari catatan tentang Luitenant Goei Poen Kong, seorang perantau asal Tjiang Tjioe, Fujian. Lahir pada 11 Februari 1765, setelah sampai dan menetap di Semarang, dia memperistri Tjoa Tjiauw Nio.

Dalam Riwajat Semarang, tercatat sebelum sebelum menjadi Ocier der Chinezen, Goei Poen Kong sempat menjabat sebagai Lid Boedelkamer, sebelum akhirnya menjabat sebagai Luitenant der Chinezen.

Ketika itu Kapitein der Chinezen Semarang adalah Tan Tiang Thjing. Goei Poen Kong wafat pada 28 Januari 1806 di Semarang dan dimakamkan di daerah perbukitan Simongan.

Goei Ing Hong adalah generasi keenam keluarga Goei semenjak Goei Poen Kong (lihat Silsilah Keluarga Goei di Semarang). Dia lahir di Semarang pada 28 Agustus 1880.

Ayahnya Goei Keh Sioe adalah konglomerat yang juga merupakan kakak dari Goei Bing Nio yang dikenal sebagai istri raja gula, Oei Tiong Ham.

Lahir dari keluarga pebisnis, Goe Ing Hong mewarisi jiwa bisnis dari para leluhurnya. Pada usia yang begitu muda dia sudah dipercaya mengurus bisnis sang ayah bersama kedua saudaranya Goei Ing Hie dan Goei Ing Toen.

Bisnis keluarga Goei yang bernaung dalam N.V Goei Keh Sioe ini berkembang cukup pesat. Dari artikel di sebuah media Belanda tertulis bahwa pada 1916 perusahaan yang berkantor di Jalan Kranggan ini telah melebarkan sayap bisnis sampai Singapura dan Jepang.

Rumah Plampitan

Goei Ing Hong menikahi Be Soen Nio pada 10 mei 1899. Pasangan ini kemudian tinggal di Jalan Plampitan nomor 9 yang hingga kini masih berdiri, meski sudah banyak bagian-bagiannya yang berubah.

Di rumah yang besar dan luas, pasangan muda ini melakukan banyak kegiatan bisnis serta amal sosial. Rumah mewah dengan gaya Jugendstil ini dirancang oleh arsitek Thomas Karsten.

Beberapa karya monumental dari Karsten antara lain Pasar Djohar dan beberapa sarana umum yang ada di Semarang pada masa Kolonial. Ada pula rumah dari tokoh Tionghoa Thio Thiam Tjong di Jalan Gajah Mungkur yang masih terlihat indah dan megah sampai sekarang ini.

Di rumah Plampitan, Mangkunegara VII yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara VII (sebelum naik tahta namaya: Raden Mas Haryo Soerjosoeparto), bersama istrinya, Gusti Kanjeng Ratu Timur (sebelum menikah namanya: Bendoro Raden Ajeng Mursudarya, Putri dari Sultan Hamengku Buwono VII dari Jogja) dan putrinya Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani pernah menginap dalam suatu kunjungan.

Bisnis Goei Ing Hong saat itu cukup banyak, antara lain sebuah perusahaan real estate bernama N.V. Bouwmaatschappij Goei Ing Hong yang berpusat di di Jalan Kranggan dan N.V. Goei Keh Sioe yang dikenal mempunyai produk bermerek Swie Wan.

Beserta dengan bisnis ekspor komoditi gula dan lain-lain nama Goei Ing Hong cukup berkibar di Semarang bersama keluarga-keluarga lain seperti Be “Kebon Dalem”, Tan “Gedong Gulo”, Oei “Simongan-Gergadjie”, serta The “Karang Toeri”.

Mensponsori pasar malem

Malang tak dapat ditolak, pada 1920, Goei Ing Hong meninggal dunia karena sakit.

Sepeninggal suaminya, Be Soen Nio yang kemudian dikenal sebagai Mevrouw Goei bersama putri semata wayangnya, Goei Kiem Lan Nio, tetap tinggal di rumah lama. Anak ini lahir pada 1919 atau enam bulan sebelum kematian sang ayah.

Sepeninggal suaminya, Mevrouw Goei harus mengurus bisnis dan segala pengabdian untuk masyarakat sendirian. Seolah tanpa kenal lelah, dia mencurahkan semua tenaga dan pikiran untuk membantu sesama di sekitarnya, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Pada masa itu, masih banyak anak-anak keturunan Tionghoa yang jauh dari hidup sehat dan memperoleh pendidikan yang baik.

Pada 25 September 1925, Mevrouw Goei bersama para tokoh Tionghoa (salah satunya dr. Ong Kie Hong) mendirikan sebuah poliklinik Tionghoa di Jalan Gang Besen. Usaha ini sangatlah bagus mengingat masih minimnya fasilitas kesehatan untuk keturunan Tionghoa.

Rumah sakit untuk warga Tionghoa pertama di Sompok yang didirikan Mayor Tan Hong Yan, jaraknya cukup jauh saat itu bagi warga Pecinan Semarang.

Pada Agustus 1925, Hoa Ing Tiong Hak dan Tiong Hoa Hwee Koan menyelenggarakan kegiatan Pasar Malem Semarang. Acara pasar malam pertama di Semarang yang diadakan di daerah Seteran ini ternyata sukses, di mana Mevrouw Goei menjadi salah satu sponsornya.

Kelak acara ini diadakan setiap tahun dan tetap dihadiri tokoh-tokoh kaum Peranakan maupun bangsawan dari Keraton Mangkunegaran.

Pada medio 1930 , ketika Mevrouw Goei bersama para sahabat dan kerabatnya kembali mengadakan Pasar Malem Semarang (tercatat dalam buku Sampoo fonds blad) sahabat dekatnya kanjeng Ratu Timur, istri Mangkunegara VII beserta kerabat Mangkunegaran lain juga turut hadir.

Tak ketinggalan beberapa tokoh-tokoh Peranakan lain seperti Hendrika Be Hien Nio-Oei Tjong Hauw, Tan Liang Ko, dan beberapa tokoh lain, ikut jadi sponsor.

Pada 1929 untuk mengenang dan menghormati sang suami yang telah tiada, Mevrouw Goei membuat altar sembahyang khusus. Bahannya marmer asli Italia yang dibeli lewat bantuan Thio Thiam Tjong yang masih terhitung saudara dari Goei Ing Hong.

Altar ini sangat bagus, merupakan altar yang unik mungkin tidak ada duanya.

Altar sembahyang (Kong Poo) untuk mengenang Goei Ing Hong ini jika dilihat bentuk meja dan atapnya bergaya Cina bagian utara. Bagian atap mirip Tempel of Heaven di Beijing.

Di bagian tengah altar terdapat semacam puisi berpasangan yang disebut kuplet. Altar ini kemungkinan dijual ketika keluarga Mevrouw Goei akan pindah ke Bandung pada tahun 1950-an.

Gereja dari hasil lelang

Dalam The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, Donald Earl Willmott, sang penulis meneliti perubahan dalam komunitas Tionghoa di Semarang menjelang dan pasca-Perang Dunia II.

Studi yang dilakukan antara tahun 1950 sampai 1960 itu antara lain juga membahas peran para Imam gereja yang berkarya di Semarang (khususnya Pecinan) selama awal abad ke-20 sampai setelah Perang Dunia ke II.

Saat meneliti, Willmott banyak dibantu Liem Thian Joe (wartawan serta penulis buku Riwajat Semarang).

Dia menuliskan bahwa pada 1925 di Semarang datanglah Simon Beekman SJ, pastor Katolik yang tertarik membuka misi Katolik di Pecinan Semarang. Terutama setelah dia berjalan-jalan di sekitar Pecinan dan menyaksikan nasib anak-anak setempat.

Setelah mengamati sekian lama, pastor yang saat itu tinggal di Gedangan, rupanya tertarik menjalani misinya di sebuah bangunan megah, di pinggir kali Semarang. Namun beberapa kali dia meminta izin untuk menyewa, pemiliknya menolak.

Padahal rencananya misi pastor Beekman akan berfokus pada masalah sosial serta pendidikan untuk anak miskin dan yatim piatu di sekitar Pecinan.

Pada awalnya urusan anak yatim Peranakan menjadi tanggung jawab Siang Hwee (Kamar Dagang kaum Tionghoa). Namun ketika krisis ekonomi dunia (Great Malaise) melanda Hindia Belanda, organisasi ini mengalami kesulitan finansial maupun tenaga.

Masalah politik kaum Peranakan yang memanas setelah Perang Dunia I di Hindia Belanda juga menjadi penyebab konsentrasi organisasi ini terpecah, sehingga urusan kontrol dan pengasuhan anak-anak jadi terabaikan.

Awalnya misi Beekman tidak berjalan mulus, karena sambutannya dingin dari komunitas Pecinan. Akan tetapi lambat laun misinya mulai menarik hati beberapa orang, salah satunya Mevrouw Goei.

Perlahan-lahan karya misi Beekman semakin berkembang berkat dukungan dari perempuan yang menyambut sepenuh hati tanpa ada rasa curiga ini.

Salah satu bentuk dukungan Mevrouw Goei adalah berdirinya sekolah St.Mary’ Hall pada 1932 di daerah Kapuran (tepat di belakang istana Kebon Dalem). Sekolah khusus perempuan ini ternyata menarik minat murid-murid Tionghoa kala itu.

Setahun kemudian, berdiri pula panti asuhan khusus putra. Menurut studi Willmott, bagian belakang rumah Mevrouw Goei sempat menjadi rumah panti asuhan sementara, ketika Beekman belum mendapat lahan tetap.

Istana Kebon Dalem yang semula begitu masyhur karena kemegahan serta keindahannya mulai meredup dan tak terawat. Krisis ekonomi yang melanda dunia pada dekade 1920-1934 rupanya turut mempengaruhi perekonomian keturunan Majoor Kebon Dalem. Akibatnya pembayaran pajak tanah juga ikut tersendat.

Karena utang pajak tak kunjung terbayarkan, pada 1934 istana Kebon Dalem disita oleh Gemeente Semarang dan hendak dilelang. Kabar ini sampai ke telinga Mevrouw Goei dan juga sekaligus menjadi momen penting bagi Beekman untuk membuka sebuah gereja di kawasan Pecinan.

Berkat jasa pengacara Go Boen Toh, kawan baik Mevrouw Goei, istana Kebon Dalem berhasil diakuisisi Beekman lewat sebuah lelang dengan total harga f 30.000.

Konon menurut cerita-cerita pada masa itu, setelah istana Kebon Dalem terlantar, sebenarnya ada rencana menjadikan rumah itu sebagai rumah dansa. Kemungkinan di situlah para kaum elite Peranakan di Pecinan akan berkumpul, sehingga mereka tidak perlu ke Sociëteit De Harmonie di Bodjong. Akan tetapi rencana itu batal karena besarnya nilai hipotik yang harus dibayar.

Berkat jasa-jasanya yang tak terhingga di bidang pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat, pada 1937 Mevrouw Goei dianugerahi penghargaan Ridderorde Oranje Nassau oleh Ratu Wilhelmina. Bahkan dalam buku Sam Poo Fonds blad tertulis syair pujian untuk Mevrouw Goei karena jasa-jasanya untuk masyarakat saat itu.

Syairnya antara lain berbunyi:

Di sebelah ada gambar Hoedjien Goei Ing Hong.

Anak padoeka Majoor Be Kwat Koen putri ka satoe.

Segala kong-ik jang dioeroes semoeanja beres tida bohong.

Djasanja sehingga dapet koerniaanja Sri Maha Ratoe.

Dapetken hadia medallie Sri Maharaja Wilhelmina.

RIDDER der ORDE van ORANJE NASSAU bintang jang moelia.

Madame Goei Ing Hong tersiar namanja dimana-mana.

Bintang ditjantoemken menambah bertjahaia.

Ikut ditangkap

Pada Maret 1942, tentara Jepang masuk ke Semarang melalui Rembang. Dalam buku Runtuhnya Hindia Belanda (1986), sejarawan Ong Hok Ham menggambarkan: tiga jembatan rel kereta api diledakkan, jembatan Demak ikut hancur.

Sepanjang Bodjong (sekarang Jln. Pemuda) banyak mobil terbakar. Gedung Mobil Veledrome menjadi lautan api, toko-toko di pusat kota Semarang tutup dan disegel kayu. Sementara di sekitar pelabuhan Semarang, tepatnya di Kebon Laut, hampir semua gudang terbakar dan runtuh.

Beberapa hari berselang, orang-orang Belanda dan sekutunya ditangkap dan dimasukan ke beberapa kamp interniran. Beberapa gedung serta penjara-penjara digunakan sebagai kamp untuk orang Belanda dan Eropa, serta beberapa orang Tionghoa pendukung Chung Hwa Binkok atau Republik Nasionalis Tiongkok.

Menurut penuturan dari cucunya L.H Khoe, Mevrouw Goei tidak luput dari penangkapan, namun hanya ditahan hampir seminggu kemudian dibebaskan.

Setelah Perang Dunia II usai, Mevrouw Goei masih menempati rumah Plampitan hingga tahun 1950-an sebelum akhirnya bersama anak dan cucunya pindah ke Bandung. Setelah itu pada 1965 Mevrouw Goei pindah lagi ke Belanda tepatnya di kota Utrecht hingga akhir hayatnya.

Ada catatan lain tentang kedermawanannya.

Sebelum pindah ke Belanda, Mevrouw Goei sempat menjadi donatur terbesar dalam pembangunan Rumah Sakit Tionghoa Semarang atau Tionghoa Ie Wan. Rumah sakit yang didirikan pada 1951, kini bernama Semarang Medical Center setelah sempat selama puluhan tahun dinamai RS Telogorejo.

Sang cucu juga mengisahkan, Mevrouw Goei menyimpan peti mati (siupan) untuk dirinya dan sering menjadi tempat bermain para cucunya ketika masih berada di Plampitan. Dia juga sudah menyiapkan pakaian yang akan dikenakan pada saat dimakamkan.

Menjelang kepindahannya ke Bandung Mevrouw Goei bersama anaknya memindahkan sinci sang suami ke Kong Tik Soe di di komplek Klenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, Semarang.

Mevrouw Goei meninggal pada 20 Mei 1972 di Zeist, Belanda, pada usia 89 tahun. Dia meninggalkan nama harum sebagai salah satu sosok perempuan yang berpengaruh dalam Sejarah Tionghoa di Hindia Belanda, khususnya di Semarang.

Artikel Terkait