Ketika Eugene Dubois Temukan The Missing Link Pithecanthropus erectus

Tim Intisari

Editor

Dalam rangka menemukan 'the missing link', manusia perantara yang kelak dikenal sebagai Pithecanthropus erectus (Manusia Jawa) Eugene Dubois mengerahkan ratusan orang untuk menggali di Trinil (Wikipedia Commons)
Dalam rangka menemukan 'the missing link', manusia perantara yang kelak dikenal sebagai Pithecanthropus erectus (Manusia Jawa) Eugene Dubois mengerahkan ratusan orang untuk menggali di Trinil (Wikipedia Commons)

Terinspirasi dari Teori Evolusi Charles Darwin, Eugene Dubois memutuskan pergi ke Hindia Belanda. Awalnya Sumatera lalu Jawa hingga menemukan "the missing link", Pithecanthropus erectus.

Penulis: Irawati/Tim Intisari, tayang pertama di Majalah Intisari edisi September 1991 dengan judul "Asal Usul Teori 'Asal Usul'"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Betulkah manusia modern ini berasal dari suatu makhluk purba

Katanya, makhluk kuno itu mengalami perubahan perlahan sejak jutaan tahun lalu, kemudian berubah dari bentuk sederhana sampai bermodel manusia masa kini. Kemudian menyebar dan hidup di mana-mana dengan aneka ragam ciri fisik dan kebudayaannya.

Pertanyaan sederhana macam ini, tentu tidak akan menemukan jawaban memuaskan, selama masing-masing manusia masih berpikir panjang. Juga diketahui sejak beberapa waktu lalu, pakar dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, berupaya menjawab teka-teki soal "asal usul" ini dengan sudut pandang disiplin formalnya, hingga tercipta kubu-kubu pendapat pro dan kontra.

Padahal manusia di dunia makin maju dengan temuan ilmu pengetahuan dan teknologi serba baru dan canggih, juga bumi ini pun kian sesak menopang manusia sekitar 5,4 miliar jiwa.

Punya ide bukunya malah dibakar

Cukup lama manusia bumi ini penasaran. Mereka mau tahu asal usul dan cikal bakalnya. Apalagi di dunia Barat, yang kebetulan sejak beberapa abad lalu sudah mempersoalkan, apakah bumi yang menopang hidup manusia itu bundar atau ceper.

Kemudian sekitar 300 tahun lalu, otak di kepala orang Barat mulai bertanya-tanya perihal temuan fosil tulang manusia, serta fosil hewan besar misalnya harimau bertaring pedang, badak dan gajah raksasa, juga beberapa mata kapak batu buatan manusia.

Apakah ini sisa kehidupan masa lalu? Siapa mereka dan apa yang terjadi di masa lalu Sayangnya, di masa itu boleh dikata belum ada tokoh yang mampu menggebrak dengan mantap panggung ilmu pengetahuan.

Pernah ada beberapa orang pintar mencoba mengulas soal kehidupan manusia masa lalu.

Misalnya Isaac de La Peyrere yang pada 1655 mempersoalkan hasil studi tentang sekumpulan batu aneh yang ditemukan di pedalaman Perancis, bukunya malah dibakar di muka umum. Bahkan John Frere (1740-1807) dari Inggris, tak diberi kesempatan mengajukan teori temuannya perihal kehidupan purbakala walau ilmuwan ini ngotot.

Kemudian saat John Friedrich Esper pada 1771 menemukan tulang belulang manusia dan beruang gua di Jerman, dia pun tak ditanggapi walaupun berkomentar: "Apakah sisa tulang ini milik manusia fana yang pernah hidup di zaman dulu?"

Di Prancis, Jacques Boucher de Perthes (1788-1868) yang berhasil menerbitkan dua jilid buku, perihal benda-benda dari batu api kuno yang dianggap berhubungan dengan manusia pembuatnya, tetap tak dianggap sebagai pemikir baru -- malah dia tak dihiraukan sama sekali.

Mungkin di masa itu, mengingat metode penelitian ilmiah yang ada masih belum mantap, belum mampu menalarkan sesuatu kilah ilmiah. Juga peranan agama begitu kuatnya, serta belum mau menerima kilah ilmiah soal alam — apalagi soal asal usul manusia.

Baru saat William Smith (1769-1839), ahli dan pelopor geologi Inggris dengan bukunya tahun 1815, membuka mata beberapa orang soal "isi" bumi yang sebenarnya terdiri atas 32 lapisan.

Menyusul kemudian Charles Lyell (1787 - 1875), geolog Inggris yang pada tahun 1830 dan 1833 mengutarakan gagasan dalam Principles of Geology, perihal proses terjadinya bumi yang tak pernah berubah. Apa yang terjadi di masa lampau, juga terjadi di masa kini.

Teori Lyell tentang uniformitarianisme, di saat itu dianggap cukup masuk akal beberapa golongan tertentu. Katanya, lapisan kerak bumi seperti yang terlihat sekarang ini, terbentuk perlahan-lahan, setingkat demi setingkat oleh suatu proses alami seperti juga yang terjadi di masa kini.

"Bumi ini sudah tua, bukan berumur seribu atau dua ribu tahun saja, melainkan sudah terbentuk sejak jutaan tahun lalu," tulis Lyell.

Darwin dan "keturunan kera"

Karya Lyell ini memukau seorang pemuda, Charles Robert Darwin (1809-1882) namanya. Dia mahasiswa kedokteran dan kemudian teologi dan tertarik menekuni gejala alam.

Lalu Darwin mendalami bidang ilmu alam, semenjak dia ikut ekspedisi ilmiah Inggris dengan kapal HMS Beagle dan tahun 1831-1836, berlayar ke Patagonia, Tierra del Fuego, Chile, Peru, dan beberapa pulau di Lautan Pasifik.

Sepulangnya berekspedisi, Darwin tersengat serangga sehingga ia terkena wabah Chaga. Kesehatannya pun terganggu sampai hari tuanya.

Justru dalam keadaan begini, Darwin makin tekun menyusun laporan lapangannya, bahkan selama 20-an tahun dia terus menurunkan laporan zoologi dan geologi temuan selama ekspedisi, sampai terbit buku The Origin of Species by Means of Natural Selection, of the Preservation for Life tahun 1859 yang mengemukakan pendapatnya tentang setiap makhluk hidup — termasuk manusia — itu sama, karena mengalami evolusi dari bentuk terdahulu yang sederhana.

Jadi semua makhluk bukan tercipta langsung dalam bentuknya yang sekarang. Proses evolusi terpengaruh lingkungan dan seleksi alam, sehingga hanya yang kuat yang bertahan hidup (teori ini terkenal dengan sebutan natural selection atau survival of the fittest - yang sebenarnya bukan hal baru).

Namun Darwin amat menarik karena memberikan fakta-fakta dari hasil studi lapangannya, hingga teorinya ini menghebohkan dan dianggap "revolusi" dalam ilmu pengetahuan, bahkan dianggap penyebab keguncangan sendi keagamaan di saat itu.

Teori Darwin pun mengundang kehebohan bagi masyarakat, karena dianggap kontroversial. Masyarakat umum mengira, Darwin secara tak langsung mengatakan "manusia itu keturunan kera" atau "manusia tak berbeda banyak dengan binatang".

Mungkin dasar Teori Evolusi Darwin yang memuat keyakinannya tentang jenis makhluk hidup yang ada, sebenarnya berasal dari jenis terdahulu yang bentuknya berbeda.

Antara lain Darwin mengulas: Setiap organisme menghasilkan sel pengembang biak yang jumlahnya lebih besar dari keturunan yang masih hidup, jumlah suatu jenis itu kurang lebih tetap, sedangkan proses perjuangan hidup anggota keturunannya banyak yang gugur.

Darwin sendiri mengetahui "kelemahan" teorinya dan berkata, "Asal usul manusia dan sejarahnya akan terungkap nanti. Saya sendiri sebetulnya resah memberitahukan, bahwa saya secara tak langsung membuktikan sesuatu spesies itu berubah. Saya percaya pandangan ini banyak benarnya, karena begitu banyak fenomena yang dapat diterangkan."

Belum lagi kering kritik terhadap Darwin yang disebut-sebut sebagai "bapak manusia kera dari Inggris", muncul Thomas H. Huxley (1825 - 1895) yang mendukung teori Darwin dalam buku Man's Place in Nature (1863) yang menguraikan perkembangan manusia secara teratur, serta membandingkan susunan anatomi tubuh manusia dengan kera, terutama simpanse dan gorila.

Huxley menyimpulkan, antara kera besar dan manusia, dekat sekali pertaliannya. Perkembangan evolusi kera besar dan manusia pun mirip sekali dan dalam hukum evolusi yang sama.

Darwin menerbitkan lagi The Descent of Man (1871) yang mulai menyebut spesies tunggal Homo sapiens. Tak ayal lagi, buku Huxley dan Darwin diberi cap miring dan banyak dicemooh masyarakat umum, sebab masyarakat mengartikan buku kedua tokoh evolusi itu benar-benar sah menyatakan manusia adalah keturunan langsung kera besar tak berekor yang masih hidup sekarang.

Pokoknya, di saat itu, kalau ada orang menerima teori Darwin dan Huxley, sama saja dianggap orang mengakui nenek moyangnya keturunan simpanse, gorila atau orangutan.

Mata rantai yang hilang

Debat kilah ilmiah soal asal usul manusia, justru mulai merangsang beberapa ilmuwan. Termasuk peneliti lapangan yang berperan macam pemburu fosil dan bukti ilmiah, keluar-masuk lapangan serta menggali-gali tanah dan gua.

Manusia mulai meneliti manusia, serta menjadikan dirinya objek dan sumber pertanyaan. Dibandingkan dengan hewan, manusialah yang memiliki ciri-ciri paling menonjol di antara makhluk hidup lainnya.

Kecerdasan manusia, kemampuannya bertutur dan berbahasa, kebiasaan berpola hidup mengelompok, ketergantungan manusia terhadap alat bantu, semakin meningkatnya perilaku budaya juga bersamaan dengan makin menyusutnya perilaku naluriah.

Struktur tubuh manusia yang unik, berjalan tegak di atas kedua kaki dan kemampuan kedua tangan yang begitu terampil memegang dan melakukan gerak presisi, di samping itu volume otak kepala manusia amat besar.

Ilmu pun berkembang dan banyak peminatnya, lalu berkembang menjadi paleoantropologi dengan segala disiplin ilmu penopangnya. Justru saat itu yang menjadi persoalan bukan lagi bagaimana evolusi dari simpanse, gorila, atau orangutan sampai menjelma menjadi manusia.

Namun, yang timbul cumalah gugatan kapan hal tersebut dimulai, sejak kapan terjadi perpisahan cikal bakal manusia dengan makhluk yang disebut kera besar itu. Jadi pertanyaan ini timbul, karena beberapa pemikir mulai yakin bahwa manusia memang berkembang dari sejenis makhluk yang mirip kera besar.

Hingga kemudian muncullah Ernst Heinrich Haeckel di Jerman, dengan bukunya, The History of Natural Creation tahun 1874 yang justru mendukung teori Darwin. Haeckel mencuatkan gagasan dengan membangun "pohon silsilah" manusia.

Menurutnya, manusia pada awalnya muncul dalam suatu bentuk primitif, Homo primigenius, di mana sebelumnya ada sejenis manusia yang secara fisik mirip kera besar, tanpa mampu berkata-kata.

Makhluk yang terkenal dengan nama "mata rantai yang hilang" (missing link) ini, dalam bahasa Latin disebut Pithecanthropus alalus atau "makhluk antara manusia dan monyet yang bisu".

Menurut hipotesis, makhluk bisu ini dapat dicari di daerah tropis, di mana hidup pula kera besar anthropoidea ("mirip manusia") seperti simpanse, gorila, dan orangutan.

Justru bersamaan itu pula, Alfred Russel Wallace (1823-1913) yang tahun 1858 bersama Darwin mengajukan makalah ilmiah mereka di muka forum Linnaeus Society menerbitkan buku tenar Malay Archipelago (1869) dan On The Geographical Distribution of Animals.

Dia juga mengajukan pembuktian hasil penelitian lapangan Wallace sendiri di hutan-hutan tropis Malaya, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Lalu laporannya tentang adanya kera besar, misalnya orangutan dari Kalimantan.

Akibat yang dirasakan, di panggung ilmiah akhir abad ke-19 itu, ide Darwin soal evolusi yang sebenarnya tidak menyebut sama sekali "manusia keturunan monyet" menjadi bulan-bulanan, baik pro maupun kontra – malah sumpah serapah.

Sebab di abad ke-18, Linnaeus sudah membuat klasifikasi manusia itu bertempat di satu ranting ordo primata (Latin: prima atau nomor satu), pucuk tertinggi dalam "pohon silsilah" kerajaan binatang (regnum animalia), bersama kera dan monyet.

Eugene Dubois ke Jawa

Arus ilmiah ini rupanya merangsang seorang pemuda Belanda, Eugene Dubois (1858-1940).

Di benaknya timbul ide sederhana: "Semua kera, khususnya kera anthropoid adalah penghuni hutan tropis. Pelopor manusia ini berbulu badan terbatas, pasti mencari daerah panas. Mau tak mau, daerah tropis itu saya datangi kalau mau menemukan fosil, untuk membuktikan adanya satu makhluk manusia kera yang berjalan tegak di atas kedua kakinya."

Pemuda ini, Marie Eugene Francois Thomas Dubois, kelahiran Eijsden di Limburg-Belanda pada 28 Januari 1858 anak pasangan Jean Joseph Balthasar Dubois dan Maria Catharina Floriberta Agnes Roebruck.

Setelah lulus sekolah menengah melanjutkan belajar ilmu kedokteran dan tahun 1884 menjadi dokter lulusan Universitas Amsterdam. Dua tahun kemudian menjadi lektor dalam mata pelajaran anatomi, dan di tahun yang sama menikah dengan Anna Geertruida Lojenga.

Sebagai anak seorang apoteker desa, Dubois sudah terdidik menyenangi ilmu pengetahuan, bahkan sering mengikuti ayahnya mengumpulkan tanaman berkhasiat di sekitar kampung halamannya. Juga selama pendidikan sekolah menengah di HBS Roermond, Dubois sudah menyenangi koleksi zoologi, mineralogi, petrografi dan pekerjaan laboratorium lainnya.

Tahun 1877, Dubois memilih kedokteran dan lulus. Namun dia tak berniat membuka praktik, malah lebih suka mencurahkan perhatiannya pada ilmu alam.

Setelah menjadi asisten anatomi (1881), lalu meningkat menjadi asisten Thomas Place. Selama itulah Dubois makin terpincut pada fisiologi, bahkan niatnya makin terbelok ke arah morfologi.

Tahun 1885, Dubois mulai melakukan penyelidikan pribadi mengenai anatomi binatang bertulang rangka (larynx), untuk mendeskripsi perbandingan anatomis larynx dari macam-macam kelompok binatang dengan interpretasi sejarah evolusi dari organ tersebut. Sayang hasil penyelidikannya tak sampai membuahkan karya, antara lain disebabkan kurangnya biaya dan subsidi, karena Belanda saat itu berada pada titik terendah depresi ekonominya.

Menurut beberapa sumber, dalam penyusunan naskah riset itu sempat terjadi "insiden" debat ilmiah antara Dubois dengan Fuerbringer. Diduga, Dubois yang peka ini tak senang karena sang senior ingin mengubah naskah penelitiannya.

Dia pun ngambek karena tak mau dirinya hanya menjadi "murid" yang patuh kepada guru. Pengalaman ini membuatnya menjadi semakin tak percaya kepada orang lain, atau kasarnya dia kian obsesif kalau karya selanjutnya akan "digaet" orang lain.

Lalu tak lama kemudian, Dubois melamar menjadi dokter militer Belanda, tujuannya meninggalkan Amsterdam dan supaya dikirim ke Hindia Belanda. Tahun 1887 dia berangkat dengan keyakinan untuk menemukan makhluk missing link itu.

Dubois ditempatkan di Sumatera, dan mulai membuat berita:

Painan, 8 November 1888 .... tampaknya seorang dokter militer dari Bouveland .... telah membuat beberapa penemuan di dalam gua-gua yang luas dan terkenal di Boea, di daerah Pajakoemboeh. Dan dia telah melakukan penggalian terhadap tulang belulang dari berbagai macam binatang, tengkorak manusia dsb. Hal ini masih merupakan berita angin, tetapi saya yang akan menarik perhatian Anda …

Begitu tulis J.L. Weyers dari Sumatra, ditujukan kepada E. Delvaux - anggota Ikatan Ahli Antropologi Brussels.

Selanjutnya Weyers menulis lagi:

Painan, 26 Maret 1889 … Penggalian yang dilakukan Tuan Dubois, seorang cendekiawan Belanda yang pemah mengajar di Universitas Leiden ... membuahkan banyak penemuan tulang belulang dan berbagai macam binatang, yang di antaranya adalah tengkorak besar proboscidea (gajah) … siapa saja yang tertarik akan dunia keilmuan akan merasa senang mendengar penggalian tersebut ...

Berdasarkan surat-menyurat ini, Delvaux di muka Ikatan Ahli Antropologi Brussels menyatakan: "Dapat disimpulkan bahwa pulau-pulau di bagian barat kepulauan Indonesia, merupakan sisa-sisa daratan luas, yang dulunya menjadi jalur komunikasi langsung Benua Asia."

Dari kumpulan artikel Dubois lainnya sejak dia ditempatkan sebagai dokter militer, tampak lima argumen mengapa Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) dijadikan lahan perburuan mencari fosil dan sisa kehidupan "nenek moyang" manusia.

Alasan pertama, Dubois mengutip Darwin berdasarkanThe Descent of Man yang menyebut "nenek moyang" manusia seharusnya hidup di daerah tropis, karena manusia purba sudan kehilangan bulunya selama perkembangan mereka. Di daerah bercuaca sedang di kala plestosen, suhu udara pasti lebih dingin dibandingkan dengan zaman sekarang.

Orangutan, sebagai hewan primata yang "terdekat" dengan manusia, di zaman kuno pun hanya hidup di daerah tropis. Kemungkinan cikal bakal manusia dalam paham evolusi itu, memang hidup terbatas sekali di beberapa daerah tertentu.

Seperti gorila dan simpanse cuma hidup di Afrika. Orangutan, gibon, atau wau-wau dan siamang pun cuma menghuni kawasan Asia Tenggara. Seperti bukti temuan fosil hewan primata itu. Itulah argumen keduanya.

Darwin menganggap Afrika sebagai tempat paling masuk akal sebagai lokasi asal usul manusia, karena manusia paling "dekat" dengan gorila dan simpanse. Sedangkan Lyell dan Wallace melihat bahwa Hindia Belanda, tempat hidup orangutan dan gibon, tak mustahil pernah dihuni makhluk cikal bakal manusia.

Argumen ketiganya, di Hindia Belanda besar kemungkinan pernah hidup makhluk anthropoid purba ini.

Argumen keempat karena adanya kehidupan gibon di "Hindia Belakang" dan "Archipel Indomaleise". Menurut Dubois, di Hindia Belanda ada hubungan erat antara manusia dan gibon, tanpa menyebut alasan kongkretnya.

Terakhir, sebagai alasan kelima, di Hindia Belanda begitu banyak gua. Bukankah tradisi pencari fosil manusia purba yang selalu memburu gua? Di Hindia Belanda diketahui banyak gua, jadi tak mustahil akan ditemui fosil ataupun bekas kehidupan manusia purbakala itu.

Memang, dalam usaha "perburuan" fosil manusia di gua-gua pada awal profesinya di Sumatera, Dubois sempat kecewa karena hanya menemukan fosil orangutan, gibon, badak, tapir, gajah, babi hutan, kijang, sapi dsb.

Dia begitu kecewa dan sempat menulis surat kepada rekannya:

Saya betul-betul kecewa ... saya sering harus menginap bermalam-malam di hutan ... rasanya saya tidak kuat lagi. Untuk ketiga kalinya saya terkena demam berat ... dan 50 tenaga pekerja paksa yang ditugaskan membantu saya, sebagian kabur atau dipindahkan, serta ada yang meninggal ... saya bekerja hanya dengan 12 - 15 pekerja paksa … hutan ini lebat tanpa jalan … pegunungan kapur yang terjal … sulit mendapatkan air ....

Bengawan Solo membuatnya jadi jago

Setelah tugas di Sumatera, Dubois pindah ke Jawa dan mendapat "restu" dari pimpinannya untuk melacak fosil manusia purba di sana. Kebetulan tahun 1889, satu fosil tengkorak berhasil ditemukan di Wajak dekat Tulungagung, Jawa Timur.

Dubois segera ke sana, ke daerah yang penduduknya sering menemukan tulang belulang. Dia segera menggali dan pada bulan November 1890 menemukan beberapa fosil, antara lain satu mandibula (rahang bawah) yang diduga ada kaitannya dengan Pithecanthropus.

Di Trinil pada 1891 - 1893, Dubois menggali singkapan dari lapisan tepian yang tergerus aliran Bengawan Solo. Pada bulan Agustus 1891 dia menemukan sebuah molar (geraham) yang tadinya dikira hanya fosil gigi orangutan. Lalu ditemukan juga satu tengkorak.

Setahun berikutnya Dubois menemukan beberapa potongan fosil lainnya, antara lain sebuah femur (tulang paha) berciri bekas terkena penyakit sejenis tumor. Dari temuan itu Dubois segera mengumumkan dia berhasil menemukan missing link, menemukan bekas manusia-kera yang berjalan tegak atau Pithecanthropus erectus.

Temuan Dubois serentak menjadi perhatian dunia ilmiah.

Karena sebelumnya gelanggang disiplin yang menaruh minat soal manusia purba ini, tak begitu yakin atas beberapa temuan terdahulu. Misalnya temuan sisa fosil manusia di Gua Engis, Belgia (1830), lalu diikuti fosil dari Gibraltar di Spanyol Selatan (1848), serta fosil manusia di Neander, Jerman (1856) -- semula hanya dikira bentuk "kelainan" dari manusia modern, kemudian baru diakui sebagai fosil Homo neanderthal pada abad ke-20.

Juga geografi Pulau jawa yang di bawah naungan Hindia Belanda sekitar abad ke-19 itu belum banyak dikenal orang. Maka tak heran kalau terlontar komentar:

"Bengawan Solo itu apa? Apakah fosil itu berasal dari satu individu? Bagaimana kalau nanti di sana ditemukan lagi fosil tulang paha kiri, apakah makhluk itu, berkaki kiri dua? Kalau nanti di Trinil ditemukan lagi tengkorak, apakah makhluk itu berkepala dua? Kalaupun temuan itu asli, paling-paling hanyalah sisa fosil dari kera wau-wau raksasa atau Hylobates giganteus. Ini semua cuma teka-teki bikinan Dubois.”

Publikasi temuan Dubois nyatanya menjadi polemik berkepanjangan. Apakah Pithecanthropus erectus itu hanya seekor monyet besar, atau betul sisa hidup dari nenek moyang manusia modern?

Hal macam ini menggelisahkan Dubois selama sisa hidupnya. Dia menjadi pencuriga sejati, fosil itu menjadi milik yang sama seperti jiwanya, serta potongan fosil itu selalu disembunyikan dengan cermat.

Dubois selalu panik, hidupnya tertekan dan selalu melarikan diri dari debat ilmiah. Dia pun menjadi ilmuwan eksentrik, dan kepercayaan dirinya makin surut. Selalu dihinggapi rasa kalah dan pasrah.

Padahal rasa ingin tahu orang begitu besar, misalnya saja sampai tahun 1930, tercetak sekitar 500 judul buku ilmiah, khusus membahas "Manusia Jawa" dari Bengawan Solo - temuan Dubois.

Tapi barangkali sekarang Dubois sudah cukup tenang dan senang,karena di makamnya diberi hiasan silangan tulang paha dan tengkorak Pithecanthropus, bahkan kini dibangun monumen kenangan. Pithecanthropus erectus yang dulu sempat ditafsir hanyalah tengkorak makhluk- idiot, mikrokefal atau blasteran antara "orang asli" dengan kera, kini sudah dinaikkan derajatnya dengan nama Homo erectus atau "manusia berjalan tegak" istilah populernya "Manusia Jawa".

Sayangnya, Dubois agak cepat mendahului masanya. Di saat dia mengumumkan temuan "Manusia Jawa" dari Bengawan Solo sebagai missing link teori Darwin, masyarakat dunia belum siap menerima.

Bahkan ilmu pengetahuan pun belum siap, saat itu ilmu pengetahuan baru beranjak merayap tentang teori "manusia dari kera".

--------------------------------------

BOKS

Tulang paha kiri dari Trinil

Setibanya di Jawa, lalu mulai Juni 1890 Dubois langsung meneliti dan pergi ke pegunungan kapur di sekitar Madiun dan Kediri, melacak bekas di sekitar lokasi temuan "manusia Wajak"-nya Van Rietschoten.

Namun, Dubois juga melacak gua serta lapangan terbuka. Dia tinggal di Tulungagung dan secara teratur mendatangi lokasi penggaliannya (kini ekskavasi), termasuk lokasi penggalian Raden Saleh di Kedung Lembu.

Kemudian dalam penggalian di tepian Bengawan Solo, Dubois menemukan banyak sekali fosil mamalia seperti sapi, kijang, gajah, kuda nil, hiena, babi hutan, jenis kucing, buaya, kura-kura, kerang sungai dan lainnya.

Pada tanggal 24 November 1890, di Kedung Brubus dia menemukan sesuatu yang luar biasa: fosil rahang kanan dengan gigi taring dan dua geraham. Mulai Agustus 1891 Dubois mulai intensif menggali di Trinil.

September 1891, di saat Bengawan Solo surut airnya, Dubois menemukan fosil pertama dari primata mirip manusia: geraham bungsu! Lalu dia menghubungkan geraham (molar) itu dengan simpanse Siwalik Lydekker di India.

Lalu di bagian atas, salah seorang pembantunya menemukan tempurung tengkorak mirip manusia, namun berbeda dengan tengkorak gorila atau orangutan. Dubois kian yakin usahanya mulai menguak tabir missing link, lalu dia menyimpulkan dengan dasar literatur serta bahan banding tengkorak simpanse.

Penggalian terhenti karena musim hujan, baru dimulai lagi pada pertengahan Mei 1892.

Pada Agustus 1892, pekerja tim Dubois menemukan lagi fosil ketiga: tulang paha kiri utuh! Menurutnya, ketiga fosil: geraham, bagian atas tengkorak, dan tulang paha (femur) itu jelas milik satu makhluk yang sama.

Tulang paha yang ada cacatnya dianggap Dubois akibat kecelakaan terkena tusukan sejenis senjata, lalu Dubois memperkirakan makhluk itu sudah menggunakan senjata.

Kesimpulan Dubois: "Makhluk itu pasti bukan sejenis simpanse, gorila, atau orangutan yang pandai memanjat pohon. Dari seluruh tubuhnya jelas bahwa tulang kakinya melakukan tugas mekanis, seperti tubuh manusia. Jelas bahwa Anthropopithecus Jawa itu berdiri tegak dan berjalan seperti manusia ..."

Nama Anthropopithecus erectus tak bertahan lama, Dubois memakai nama Pithecanthropus erectus dalam laporan resminya tahun 1894, "Pithecanthropus Erectus Eine Menschenaehniiche Uebergangsform aus Java". Nama ini bertahan lama, walau belakangan kata Pithecanthropus erectus yang sudah terlanjur terkenal itu, dalam musyawarah ilmiah pakar antropologi ragawi diubah lagi menjadi Homo erectus.

--------------------------------------

Begitulah Eugene Dubois menemukan "the missing link", manusia perantara, Pithecanthropus erectus si Manusia Jawa.

Artikel Terkait