Ketika Kompeni Perlu Impor Gadis agar Serdadu Belanda Betah di Batavia

Tim Intisari

Editor

Sebelum marak zaman 'Nyai', VOC pernah menerapkan kebijakan mendatangkan wanita-wanita Eropa supaya pegawai-pegawai Kompeni betah di Batavia (Wikipedia Commons)
Sebelum marak zaman 'Nyai', VOC pernah menerapkan kebijakan mendatangkan wanita-wanita Eropa supaya pegawai-pegawai Kompeni betah di Batavia (Wikipedia Commons)

Sebelum marak zaman 'Nyai', VOC pernah menerapkan kebijakan mendatangkan wanita-wanita Eropa supaya pegawai-pegawai Kompeni betah di Batavia.

Artikel ini pertama tayang di Majalah Intisari edisi Juni 1987 dengan judul "Waktu Jakarta Masih Perlu Impor Gadis"

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Ini terjadi di zaman Kompeni (VOC), ketika penguasa Belanda merasa perlu mendatangkan gadis muda dari Eropa untuk membuat Kompeni betah di Jakarta. Ada juga gadis yang 'dibeli' sebagai budak dari India, Birma dan Indonesia Timur.

Begitulah yang tertulis dalam The Social World of Batavia, European and Eurasian in Dutch Asia, karangan Jean Gelman Taylor.

Ketika ituKompeni mulai menancapkan kakinya di Indonesia, salah satu kesulitan yang mereka hadapi adalah orang-orang Belanda tidak betah tinggal di sana. Padahal Kompeni butuh orang Eropa untuk menjadi tentara, juru tulis dsb.

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1619-1623) mengusulkan kepada para direktur Kompeni di Belanda, agar anak-anak yatim piatu dari Nederland dikirim saja ke Hindia.

Karena tidak mempunyai sanak keluarga dan harta, mungkin mereka betah menetap sebagai kolonis. Dia menambahkan bahwa pria tidak bisa hidup tanpa wanita.

Supaya orang-orang Kompeni bisa mendapat pasangan yang pantas, yang membuahkan anak-anak untuk menjadi kolonis yang pantas pula, kirimkanlah wanita-wanita muda, pintanya.

Sebetulnya beberapa tahun sebelumnya, yaitu pada 1609, pernah dikirim 36 wanita Belanda dalam kapal-kapal yang menempuh pelayaran selama lebih dari sepuluh bulan. Mereka adalah istri tentara dan karyawan Kompeni. Dua di antara wanita itu tewas dalam perjalanan.

Kebanyakan dikirim ke Ambon, salah satu pemukiman permanen Kompeni yang tertua. Beberapa di antaranya mungkin ke Jacatra (begitu sebutan mereka untuk tempat yang kelak dijadikan Batavia).

Tidak diketahui bagaimana nasib ke-34 wanita itu. Mungkin mereka buta huruf, sehingga tidak bisa meninggalkan catatan pribadi, sedangkan Kompeni terlalu sibuk mengurusi perdagangan, sehingga nasib mereka tak tercatat.

Tahun 1621 para direktur Kompeni memberi tahu Coen bahwa tiga keluarga berangkat ke Batavia membawa beberapa gadis muda. Gadis-gadis itu menerima seperangkat pakaian dari Kompeni.

Mereka harus teken kontrak untuk tinggal lima tahun di Hindia seperti halnya karyawan Kompeni, tetapi tidak menerima upah. Cuma kemudian kalau mereka mendapat jodoh di Hindia, mereka diberi 'emas kawin' oleh Kompeni.

Wanita-wanita bersuami terikat kontrak untuk tinggal lima belas tahun di Timur. Kompeni memberi tunjangan pakaian dan makanan untuk istri karyawan yang didatangkan dari Belanda.

Para keluarga karyawan 'pionir' itu mendapat perumahan yang layak dan tunjangan-tunjangan lain dari pemerintah Batavia.

Enam gadis yang pertama tiba tahun 1622. Mereka disebut 'putri-putri Kompeni'. Tahun itu juga berangkat dari Amsterdam menuju Batavia sejumlah besar wanita, sebagian besar belum menikah.

Para gadis itu ada yang umurnya baru sebelas tahun, ada yang dua puluh tahun. Mestinya mereka anak yatim piatu atau anak keluarga yang sangat miskin, sebab putri orang berada tidak pantas pergi ke Hindia. Soalnya, risikonya besar.

Kalaupun mereka selamat dalam perjalanan laut dan dari serangan macam-macam penyakit di Batavia, hidup bagi mereka penuh bahaya. Mereka bisa jatuh ke pelacuran.

Istri impor atau lokal

Sedikit sekali wanita keluarga "baik-baik" pergi ke Indonesia. Mereka itu paling-paling istri para pejabat senior.

Salah seorang wanita pertama dari keluarga berkecukupan yang datang ke Hindia adalah Margaretha Nicquet yang menemani suaminya, Gerard Reynst, datang bertugas pada tahun 1614. Reynst menggantikan Pieter Both sebagai gubernur jenderal.

Sebagian besar waktunya dilewatkan di kapal yang berlayar antara Maluku dan Banten. Gubernur Jenderal Reynst meninggal bulan Desember 1615. Margaretha menyusul beberapa tahun kemudian di tempat yang kini menjadi Jakarta.

Coen sadar bahwa 'putri-putri Kompeni' ternyata tidak bisa diharapkan untuk mendidik keluarga yang 'takut kepada Tuhan'. Mereka tidak bisa diharapkan untuk menciptakan masyarakat kelas menengah baik-baik seperti di Negeri Belanda.

Supaya bisa 'membudayakan' para kolonis, mesti ada teladan yang dicontoh. Jadi ketika Coen ditunjuk menjadi gubernur jenderal untuk kedua kalinya (1621-1629), dia minta diperbolehkan membawa istri.

Pilihan Coen jatuh pada seorang wanita berumur 21 tahun, Eva Ment, yang berangkat ditemani seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan.

Tidak semua orang sependapat dengan Coen. Kalau Coen merasakan perlunya wanita-wanita imigran, tidak demikian halnya dengan Gubernur Jenderal Hendrik Brouwer, walaupun ketika datang pada tahun 1632 dia membawa istri, ipar perempuan dan dua wanita pelayan. Dia menentang imigran wanita.

Menurut Brouwer, para Burgher datang untuk menjadi kaya. Kalau sudah kaya mereka akan pulang ke Belanda. Mengapa mereka tidak mau menetap di Timur? Itu gara-gara wanita juga, katanya.

"Wanita-wanita Belanda datang ke Timur dalam keadaan miskin. Kemudian kalau sudah kaya, mereka tidak juga berhenti mengomel. Mereka ingin pulang untuk memamerkan kekayaan mereka kepada para kenalan," katanya.

Padahal menurut Brouwer, para pria Belanda yang menikah dengan orang India (budak yang didatangkan dari India) ada yang beres rumah tangganya. Anak-anaknya juga lebih sehat.

Para serdadu Belanda yang beristrikan wanita Asia lebih makmur, karena tuntutan istrinya tidak banyak. Pada awal abad ke-17 orang Eropa yang tinggal di tempat yang kini menjadi ibu kota kita itu pun tidak semuanya Belanda.

Mereka itu, tentara maupun orang-orang sipil, ada yang berasal dari pelbagai bagian Eropa.

Dilarang pulang

Beberapa waktu sebelumnya, tetapi masih tahun itu juga, para direktur Kompeni di Amsterdam sudah berhenti mensponsori pengiriman 'putri-putri Kompeni', walaupun masih ada sejumlah kecil wanita bermigrasi sepanjang abad ke-17 itu. Di antara wanita itu ada yang menyamar sebagai serdadu pria dalam perjalanan.

Tahun 1652 para direktur membatasi perpindahan wanita Belanda. Para karyawan/tentara yang akan dikirim ke Hindia dicari yang bujangan.

Wanita-wanita yang boleh ikut kapal Kompeni dari Negeri Belanda ke Hindia adalah istri 'pedagang senior', istri pendeta, istri tentara, mereka yang mendapat izin khusus dari para direktur dsb.

Masa dinas pejabat yang membawa keluarga diperpanjang sepuluh tahun. Wanita imigran apabila menjadi janda lalu menikah kembali, harus tinggal lima tahun lebih lama dari yang sudah ditentukan sebelumnya.

Para gadis keluarga imigran pun harus tinggal lima tahun di Timur, setelah pernikahannya di sana. Tahun 1669 hukum menentukan bahwa semua wanita imigran harus tinggal sedikitnya lima belas tahun di Timur.

Ketika pengiriman wanita imigran dihentikan, pria Belanda di Hindia lantas mencari pasangan keturunan wanita Belanda yang dulu pernah didatangkan, wanita setengah Eropa atau wanita Asia.

Sejak dulu memang sering terjadi hubungan antara para pedagang Kompeni dengan para wanita budak yang kebanyakan bekerja sebagai pelayan rumah tangga. Tentara dan kelasi begitu juga. Tidak selalu mereka mempunyai satu gundik, bisa beberapa.

Budak-budak pada masa itu dibeli dari pasar-pasar budak di Asia untuk dibawa ke Batavia. Ada yang berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar di India, dari Arakan di Birma maupun kepulauan lain di Indonesia.

Orang Jawa tidak boleh tinggal dalam lingkungan benteng Batavia dan tak digunakan sebagai budak. Jadi penduduk Asia di Jakarta pun sebagian hasil impor.

Para pendukung kolonis ada yang menganggap bahwa pernikahan campuran bisa menjamin adanya kesetiaan para keturunan kolonis pada Nederland. Jadi istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu diberi status Eropa.

Sebelumnya wanita budak yang dikawini itu harus dibebaskan dari status budaknya dan dikristenkan. Namanya diganti dengan nama Belanda atau Portugis.

Sejak 1639 pria Eropa yang menikah dengan wanita Asia atau setengah Asia tidak boleh 'pulang ke negeri' selama istri dan anak-anaknya masih hidup. Sejak tahun 1716 pria Eropa beristri maupun bujangan, kalau mempunyai anak setengah Asia, tidak boleh kembali ke tanah air mereka.

Kotak sirih alat pamer

Wanita yang lahir di Timur, tidak boleh ikut suaminya cuti ke Negeri Belanda tanpa dispensasi khusus. Susanna Muller umpamanya, adalah seorang setengah Asia.

Dia menikah dengan Cornelis van Outhoorn yang lahir di Timur. Tahun 1709 Susanna yang sudah menjanda, tiba di Belanda membawa tiga anaknya.

Ternyata walaupun dia ipar bekas Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691-1704) dan berstatus Eropa, dia tetap harus meminta kewarganegaraan bagi dirinya dan anak-anaknya setiba di Negeri Belanda.

Orang-orang yang cukup kaya biasanya bisa menemukan cara untuk mengirim putra-putra mereka ke Eropa untuk bersekolah. Jumlah orang yang mampu melakukan hal itu terbatas sekali.

Putri mereka tidak dikirim ke Eropa. Anak-anak perempuan berdarah Eurasia itu kemudian lebih disukai untuk dijadikan istri oleh orang Eropa pendatang daripada para wanita Asia.

Dalam pergaulan sosial, orang-orang setengah Asia dan Asia dipandang lebih rendah. Namun, para pejabat tinggi atau orang-orang kaya bisa mempromosikan putra-putranya dan bahkan pada abad ke-18 orang setengah Asia menduduki posisi-posisi berpengaruh.

Wanita setengah Asia juga bisa mencapai status sosial tinggi lewat pernikahan.

Konon wanita-wanita Belanda maupun setengah Belanda di Batavia menjadi sok pamer, terutama kalau pergi dan pulang dari gereja. Yang paling rendah pun membawa budak untuk memayungi mereka dengan payung keemasan.

Ada lagi budak yang membawa buku nyanyian, kipas dan kotak sirih. Maklum zaman itu banyak pria maupun wanita mengunyah sirih, tidak peduli sambil berdoa di gereja.

Kotak sirih itu bukan sekadar tempat sirih, pinang dan gambir, tetapi juga alat pamer karena dihiasi dengan indah dan berfungsi sebagai tempat perhiasan juga. Dalam lukisan-lukisan yang menggambarkan istri orang Belanda zaman itu, kotak sirih selalu mendapat tempat terhormat.

Boleh membawa budak

Para pendatang Eropa mula-mula juga bingung, karena istri mereka yang dibesarkan di Asia biasa mandi setiap hari beberapa kali. Mandinya di Kali Ciliwung, yang khusus dibuatkan tangga dan 'kotak-kotak mandi'.

Baru lama kemudian mereka bisa menyesuaikan diri dengan cara menjaga kebersihan seperti yang ditunjukkan oleh istri mereka.

Pada masa itu wanita Belanda di Batavia maupun setengah Belanda terkenal malas, lain daripada wanita-wanita Belanda di negerinya. Mereka dilayani seperti putri raja oleh para budak.

Anak-anak mereka diasuh oleh budak asal India atau Indonesia. Tidak heran kalau anak-anak itu lantas tidak bisa berbahasa Belanda.

Pada 1617 mulai ada sekolah kecil di Jacatra, yang tujuannya antara lain mengajarkan bahasa Belanda dan tata krama kepada anak-anak berstatus Eropa, selain mengajar berhitung dsb.

Sejak semula orang Belanda mempergunakan bahasa Melayu untuk berhubungan dengan orang-orang di Hindia, walaupun pada abad ke-17 bahasa Portugis banyak juga dipakai, Surat-menyurat resmi antara para penguasa Indonesia dengan para pejabat Kompeni sering dilakukan dalam bahasa Portugis.

Bahasa Portugis terdengar di jalan-jalan, di pasar-pasar, di gereja dan di rumah-rumah tempat orang Belanda memiliki gundik Asia. Maklum budak-budak yang dibeli di Pantai Coromandel dan Malabar kenal baik bahasa Portugis.

Anehnya, orang-orang Belanda itu juga mempergunakan bahasa Portugis dengan para budak yang didatangkan dari Indonesia Timur, padahal budak-budak itu kebanyakan tidak pernah mengenal bahasa tersebut.

Kompeni juga ingin penduduk Asianya menetap. Orang Asia merdeka harus mempunyai izin untuk meninggalkan maupun menetap di Batavia.

Orang-orang Eropa kaya yang sudah terbiasa hidup dilayani budak, biasanya ingin membawa budaknya pulang ke Negeri Belanda. Tadinya hal itu dilarang, tetapi kemudian menjelang pertengahan abad ke-17 babu susu boleh ikut majikannya ke Belanda, tapi majikan harus membayar dulu ongkos kapal untuk babu susu itu pulang ke Hindia.

Bahkan tahun 1734 pensiunan pejabat tertinggi pemerintah boleh membawa pulang empat budak. Sembilan tahun kemudian juru tulis pun boleh pulang membawa budak. Jumlahnya tergantung dari jabatan dan statusnya (berkeluarga atau tidak).

Tindakan-tindakan Kompeni untuk memantapkan jumlah penduduk di Batavia akhirnya berhasil juga.

Kalau pada abad ke-17 dan 18 Belanda bersusah payah mengusahakan agar orang Eropa, setengah Eropa maupun Asia betah di Jakarta, maka sekarang Jakarta malah kebanyakan penduduk.

Kalau pada zaman Coen (1620) cuma ada dua juta penduduk di dalam lingkungan tembok dan sekitar 10.000—15.000 di sekelilingnya, kini jumlah penduduk DKI yang daerahnya ikut membengkak itu 11 juta lebih.

Artikel Terkait