Ketika kuliah di Belanda, Mohammad Hatta selalu serius belajar dan tidak berpacaran. Halida Hatta, putri bungsu Hatta, mengatakan “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan”. Selama Indonesia belum merdeka, Hatta berjanji tak akan menikah.
Penulis: YDS Agus Surono untuk Majalah Intisari edisi Agustus 2016
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dibandingkan Sukarno, kehidupan romansa Hatta berbeda 180 derajat. Hatta, seperti kata Deliar Noer, adalah seorang puritan. Di kalangan teman-temannya, Hatta dikenal tak pernah menunjukkan ketertarikan pada perempuan.
Suatu ketika para sahabatnya di Belanda yang penasaran menjebaknya: mereka mengatur kencan dengan seorang gadis Polandia yang “menggetarkan lelaki mana pun”. Tentu saja, si gadis telah telah dipesan agar menggoda Hatta dengan segala cara.
Apa yang terjadi? Malam itu di kafe yang romantis mereka cuma makan malam, lalu berpisah. Ketika ditanya kenapa rayuannya gagal total, si gadis berkata putus asa, "Sama sekali tak mempan. Dia ini pendeta, bukan laki-laki."
Namun, bukan berarti Hatta tak peduli pada wanita. Dia justru menjunjung tinggi harkat seorang wanita. Makanya dia marah besar ketika Soekarno memutuskan menikahi Hartini. Dia tak dapat menerima sikap sahabatnya menduakan Fatmawati dan membuatnya "digantung tidak bertali".
Hatta, kata penulis Mohammad Hatta: Biografi Politik, Deliar Noer, memang amat menghormati Fatmawati, tak hanya sebagai istri Soekarno tapi juga sebagai ibu negara. Begitu marahnya Hatta kepada Hartini sehingga untuk waktu yang lama Hatta menolak menemui istri kedua Soekarno itu.
Jika pada suatu acara Hartini hadir, Hatta buru-buru menghindar. Kalau Hartini ada di ruang VIP, Hatta beralih ke bilik lain. Bertahun-tahun mereka tak bercakap-cakap, hingga kematian Bung Karno kembali mencairkan hubungan keduanya.
Hatta menentukan pilihan
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa Soekarno dan Hatta adalah sahabat karib. Urusan politik dan pribadi diberi garis tegas. Makanya, tak heran jika Soekarno mau menjadi mak comblang Hatta dalam hal asmara.
Kisahnya berawal ketika tahun 1943, pengacara Mr. Sartono mengadakan jamuan makan malam di rumahnya di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Acara itu dibuat untuk merayakan kepulangan Bung Karno dari tempat pembuangannya di Bengkulu.
Sejumlah tokoh pergerakan hadir di sana. Termasuk Hatta yang datang sendirian. Hadir pula keluarga Ny. S.S.A. Rachim beserta dua anak gadisnya, Rahmi Rachim (17) dan Raharty (14).
Saat itu, Hatta memang belum berkeluarga meski sudah berusia 41 tahun. Dia memang bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Hal ini menarik perhatian Bung Karno. Sebagai seorang sahabat, ia ingin mencarikan pendamping buat Hatta.
Menjelang kemerdekaan, Bung Karno mendatangi rumah keluarga Ny. Rachim di Bandung, Jawa Barat. Dia bertanya kepada Ny. Rachim, "Gadis mana yang tercantik di Bandung?"
Ny Rachim tampak bingung, lalu menyebut beberapa nama sekenanya. "Ada Olek, putri Ibu Dewi Sartika. Meta, putri dokter Sam Joedo yang terkenal di Bandung, atau Mieke, kerabat dokter itu."
Ketika Bung Karno ditanya balik soal gadis-gadis cantik, dia pun menjawab sekenanya juga. "Ah, tidak apa-apa. Tanya-tanya kan ndak salah?"
Setelah proklamasi, Hatta akhirnya menentukan gadis pilihannya. "Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya, 'Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Institut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya'," ujar Sukarno.
Setelah diselidiki, ternyata gadis piliha Hatta itu adalah Rahmi,putri keluarga Rachim.
Rahmi takut
Tiga bulan setelah kemerdekaan, Bung Karno datang ke kediaman Ny. Rachim. Kali ini bersama sahabat karibnya, dokter Soeharto. Di rumah itu, Soekarno langsung mengutarakan niat kedatangan.
"Begini, saya mau melamar," kata Bung Karno.
Ny. Rachim balik bertanya, "Melamar siapa?" Ny. Rachmi bingung mendengar jawaban Bung Karno yang ingin melamar Rahmi.
Spontan dia bertanya, "Untuk siapa?"
Dengan tegas Soekarno menjawab, "Untuk teman saya, Hatta."
Suasana menjadi hening. Meski Soekarno dan Hatta bukan orang baru bagi keluarga Ny. Rachim, tetap saja lamaran itu membikin kaget.
Ny. Rachim tak serta merta menerima lamaran itu. Berhubung usia Rahmi sudah 19 tahun dan dianggap sudah dewasa, Ny. Rachim akan menyerahkan jawaban itu ke anaknya. Perbedaan usia Hatta dan Rahim yang terpaut 24 tahun memang menjadi pertimbangan Ny Rachim.
Ketika itu Hatta sudah berusia 43 tahun.
Ketika Ny. Rachim memberitahukan maksud kedatangan Bung Karno ke Yuke–nama panggilan Rahmi--sang anak kaget. "Buat saya? Mahasiswa sinting mana yang mau melamar saya?" ujarnya.
Dengan hati-hati Ny. Rachim menjelaskan, "Ini bukan mahasiswa! Dia orang baik, Mohammad Hatta!"
Saat Ny. Rachim berbicara dengan Yuke, adik Rahmi, Raharty, menyeletuk, "Jangan mau, Yuk, orangnya sudah tua." Yuke tampak ragu-ragu. Dia takut ketika diajak ke hadapan Om Karno (saking dekatnya, anak-anak Ny. Rachim memanggil Bung Karno dan Bung Hatta dengan Om Karno dan Om Hatta).
Saat itu, Yuke hanya bisa bilang, "Om, saya takut."
Mendengar ketakutan Rahmi, Soekarno tersenyum. "Kamu takut apa? Jangan takut, Hatta itu orang baik, dia pemimpin yang baik, dia juga sahabat saya yang baik."
Penjelasan Om Karno membuat Yuke mengerti dan menerima lamaran tersebut. Selain itu, Yuke menilai Om Hatta sebagai orang pintar yang menjalankan syariat agama dengan baik.
Selalu berembug
Pada 18 November 1945, Hatta menikahi Rahmi di sebuah vila di Megamendung, Bogor. Bung Karno sebagai saksi. Mas kawinnya unik. Hatta memberikan buku filsafat yang ditulisnya semasa di Digul, judulnya Alam Pikiran Yunani.
Sebagai pasangan, Hatta tentu saja kerap menunjukkan laku romantis. Ketika istrinya hendak melahirkan anak pertama, Hatta masuk ke kamar bersalin dengan membawa sandwich buatannya.
Hatta juga selalu memberikan tempat di dalam mobil yang bebas dari terpaan sinar matahari kepada istrinya ketika bepergian. Selama mengarungi biduk rumah tangga, hidup mereka aman-tenteram dengan dikaruniai tiga dara.
Meski terpaut usia 24 tahun, Rahmi bahagia dan setia mendampingi Hatta. "Setiap kesempatan yang kami jalani bersama terasa indah dan berharga, seperti serangkaian permata yang berharga," ujar Rahmi.
Relevan untuk masa sekarang, ketika akan memutuskan kebijakan nasional dalam bidang keuangan, Hatta tidak pernah menceritakan rahasia negara itu kepada istrinya untuk mencegah info itu beredar luas sehingga dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis.
Hatta memang lebih banyak mengemong sang istri. "Mereka bicara banyak hal, kadang menggunakan bahasa Belanda. Topiknya luas. Mereka selalu berembug bersama untuk urusan anak-anak," kata Halida Hatta, puteri ketiga keluarga ini.
Hatta-Rahmi mengarungi pernikahan selama 35 tahun. Keduanya baru berpisah, ketika Allah memanggil Hatta pada 1980.
Sembilan belas tahun kemudian, Rahmi menyusul Hatta berpulang. Kedua pasangan ini kembali berdampingan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, seperti tak ingin terpisahkan.