Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Angin Timur berbisik pilu, membawa kabar duka dari tanah Jawa. Tahun 1800-an, Hindia Belanda, permata di mahkota kerajaan, tertunduk lesu.
Pagebluk merajalela, menebar maut tanpa pandang bulu. Cacar, kolera, tifus, bagai hantu kelaparan yang memangsa jiwa-jiwa tak berdaya.
Jerit tangis dan aroma kematian menyesakkan udara, mengaburkan cahaya harapan di ufuk Timur.
Sebagian besar masyarakat masih bergantung pada dukun dan tabib, dengan ramuan herbal dan mantra-mantra kuno.
Namun, di hadapan wabah yang ganas, pengobatan tradisional seakan tak berdaya. Angka kematian terus meroket, meninggalkan luka mendalam di hati bangsa.
Pemerintah kolonial Belanda, yang berkepentingan menjaga stabilitas dan produktivitas tanah jajahan, tak tinggal diam.
Berbagai upaya dilakukan untuk meredam amukan pagebluk.
Rumah sakit didirikan, dokter-dokter Eropa didatangkan, namun semua itu bagai setetes air di padang pasir.
Jumlah tenaga medis yang terbatas, ditambah dengan kendala bahasa dan budaya, membuat pelayanan kesehatan sulit menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Secercah Cahaya di Tengah Kegelapan
Di tengah situasi genting ini, muncullah seorang visioner, seorang dokter Belanda yang berhati mulia: Willem Bosch.
Lahir di Belanda pada tahun 1810, Bosch datang ke Hindia Belanda dengan semangat pengabdian yang tinggi.
Sebagai Direktur Dinas Kesehatan Kolonial, ia menyaksikan sendiri penderitaan rakyat akibat wabah yang tak terkendali.
Hatinya terenyuh, nuraninya terusik. Ia menyadari, solusi jangka panjang tidak terletak pada pengobatan semata, melainkan pada pendidikan.
Bosch bermimpi untuk menciptakan tenaga medis pribumi yang terampil dan berdedikasi, yang mampu menjangkau pelosok negeri dan memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyat.
Ia membayangkan sebuah sekolah kedokteran yang akan melahirkan generasi baru penyembuh, yang tidak hanya menguasai ilmu medis modern, tetapi juga memahami budaya dan kebutuhan masyarakat lokal.
Pada tahun 1849, mimpi Bosch mulai menjadi kenyataan. Dengan dukungan pemerintah kolonial, ia mendirikan Dokter Djawa School, cikal bakal STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).
Sekolah ini bertujuan untuk mendidik pemuda-pemuda pribumi menjadi mantri cacar, tenaga medis yang bertugas membantu dokter dalam menangani wabah.
Perjuangan dan Pengorbanan
Jalan menuju pendirian STOVIA tidaklah mudah.
Bosch harus menghadapi berbagai tantangan dan rintangan. Ia harus meyakinkan pemerintah kolonial yang konservatif, yang masih meragukan kemampuan pribumi dalam menguasai ilmu kedokteran.
Ia juga harus mengatasi resistensi dari sebagian masyarakat, yang masih percaya pada pengobatan tradisional dan memandang curiga terhadap ilmu kedokteran Barat.
Namun, Bosch tidak menyerah. Dengan kegigihan dan keyakinan yang teguh, ia terus memperjuangkan mimpinya.
Ia melobi para pejabat, mengumpulkan dukungan dari berbagai kalangan, dan meyakinkan masyarakat akan manfaat pendidikan kedokteran modern.
Ia bahkan rela merogoh kocek pribadinya untuk membiayai sekolah tersebut.
Akhirnya, pada tahun 1851, Dokter Djawa School resmi dibuka.
Sekolah ini menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan kedokteran di Indonesia.
STOVIA: Warisan Abadi Willem Bosch
Dokter Djawa School kemudian berkembang menjadi STOVIA, sebuah institusi pendidikan yang melahirkan banyak tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Di antara para lulusan STOVIA terdapat nama-nama besar seperti dr. Wahidin Sudirohusodo, pencetus ide Budi Utomo, organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia; dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo dan tokoh pergerakan nasional; serta dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, salah satu anggota Tiga Serangkai, pejuang kemerdekaan yang gigih.
STOVIA tidak hanya mengajarkan ilmu kedokteran, tetapi juga menanamkan semangat nasionalisme dan kepedulian sosial kepada para siswanya.
Para lulusan STOVIA tidak hanya menjadi dokter yang terampil, tetapi juga menjadi pemimpin bangsa, pejuang kemerdekaan, dan pengabdi masyarakat.
Sebuah Ode untuk Willem Bosch
Willem Bosch, sang visioner dari negeri kincir angin, telah menorehkan tinta emas dalam sejarah Indonesia.
Ia telah menanamkan benih-benih perubahan di tanah Jawa, yang tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi bangsa.
Ia telah membuka pintu gerbang ilmu pengetahuan bagi generasi muda pribumi, yang kemudian menjadi pelopor kemajuan bangsa.
Meskipun Bosch adalah seorang Belanda, seorang penjajah, namun dedikasinya untuk memajukan pendidikan di Hindia Belanda patut diacungi jempol.
Ia telah membuktikan bahwa kemanusiaan melampaui batas ras dan kebangsaan.
Ia telah menunjukkan bahwa seorang penjajah pun dapat memberikan kontribusi positif bagi tanah jajahannya.
STOVIA adalah monumen abadi untuk Willem Bosch, sebuah bukti nyata akan jasa-jasanya bagi bangsa Indonesia.
Sekolah ini adalah warisan berharga yang terus menginspirasi generasi penerus untuk mengabdi kepada bangsa dan negara.
Sumber:
Zubir, A. (2015). Sejarah Perkembangan Kedokteran di Indonesia: Tinjauan Aspek Sosial Budaya. Jakarta: UI Press.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2018). Sejarah Pendidikan Kedokteran di Indonesia. Jakarta: Kemdikbud.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---