Berkat Kathryn Emerson Wayang Akhirnya Bisa 'Ngomong' Inggris

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Kathryn Emerson melakukan berbagai cara supaya kesenian tradisional Jawa, wayang, dikenal di seluruh dunia. Sementara apa yang kita lakukan di sini? (Kusumasari Ayuningtyas untuk Majalah Intisari)
Kathryn Emerson melakukan berbagai cara supaya kesenian tradisional Jawa, wayang, dikenal di seluruh dunia. Sementara apa yang kita lakukan di sini? (Kusumasari Ayuningtyas untuk Majalah Intisari)

Ini adalah cerita tentang Kathryn Emerson. Selama lebih dari satu dekade wanita asal Amerika Serikat itu menjadi penerjemah wayang. Juga membawa rombongan wayang ke banyak negara. Berkat dia, wayang yang dituturkan dalam bahasa Jawa sastrawi bisa "ngomong" Inggris.

Tulisan oleh Kusumasari Ayuningtyas untuk Majalah Intisari edisi Juli 2014

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -NamanyaKathryn Emerson tapi akrab disapa Kitsie (62). Dia tidak serta-merta tertarik pada wayang dan langsung memilih untuk menjadi penerjemah kesenian tradisional Jawa itu.

Semua dia temukan secara tidak sengaja. Awalnya dia berminat pada gamelan, baru kemudian wayang, lantas berlanjut hingga ingin membawa wayang keliling dunia.

Wanita kelahiran Amerika Serikat ini tidak bisa menjelaskan bagaimana dia bisa menyukai gamelan dan wayang yang KTP-nya Indonesia. Tahu-tahu dia sudah jatuh cinta pada irama gamelan dan sentuhan sastra Jawa kuno di setiap bahasa pewayangan.

Semua berawal saat kuliah

Kitsie mengenal gamelan ketika kuliah di Cornell University, New York, tempatnya kuliah bidang musik jurusan piano. Setiap kali akan menuju kelas, dia selalu melewati ruang gamelan. Ternyata dia menyukai bunyi-bunyian dan nada-nada asing yang terdengar dari ruang itu.

Yang lebih menarik lagi, alat-alat musik itu selalu dimainkan beramai-ramai seperti orkes simfoni. Sangat berbeda dengan dirinya, pemain piano klasik yang menghabiskan sebagian besar waktu dengan berlatih sendiri.

Setelah lulus dari Cornell, perempuan kelahiran Kalamazoo, Michigan, itu menjalani kehidupan sebagai pemain piano klasik selama beberapa tahun. Kemudian melanjutkan studi di Jurusan Piano Performance di Queens College, New York.

Hingga suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di tengah Kota New York, wanita yangberulang tahun setiap tanggal 20 April itu melihat sebuah poster konser gamelan. Ingatannya tentang instrumen berbunyi aneh dan dimainkan bak orkestra pun muncul. Kitsie memutuskan untuk menyaksikannya.

"Saya hubungi nomor yang ada di poster, yang mengangkat orang Amerika," ujarnya.

Ternyata konser gamelan itu dibawakan oleh grup gamelan tetap Konsulat Indonesia di New York yang seluruh pengrawit-nya (pemainnya) adalah warga negara AS. Setelah hampir 10 tahun menjadi pemain piano klasik dan lulus S2 bidang seni pertunjukan piano, Kitsie memutuskan untuk berlatih gamelan.

Dengan keseriusan ala pemain piano, Kitsie mulai berlatih gamelan. Tidak hanya itu, dia juga mempelajari pelbagai informasi mengenai gamelan, baik sejarah maupun seluk-beluk pembuatan gamelan. Keinginan berikut pun timbul: di mana lagi dia bisa mempelajari gamelan itu secara lebih mendalam kalau tidak di negara asalnya?

Pada 1991, Kitsie ke Indonesia dengan bekal dua referensi mengenai tempat asal-usul gamelan: Yogyakarta dan Solo. Keputusan tepat, dia memilih Solo. "Kota ini kecil, tapi penuh dengan genius," paparnya dalam sebuah seminar wayang di Universitas Sebelas Maret Surakarta, pertengahan Maret 2014.

Di awal kedatangannya, Kitsie belajar secara privat pada para pengrawit dari RRI (Radio Republik Indonesia) Solo, Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, serta para pengrawit lain seperti Wakidi Dwijomartono, Darsono, dan Mulyani "Cendhani Laras". Wakidi sendiri kelak menjadi suaminya.

"Saya tidak pernah belajar (gamelan) secara formal," terang wanita yang sekarang bermukim di Solo dan Jakarta ini.

Kitsie memang memiliki bakat alami dalam hal musik. Dalam waktu cepat dia bisa menguasai beberapa instrumen. Dia hapal di luar kepala partitur gender, ketukan kendhang, bahkan bisa menggesek rebab yang sulit.

Dia juga pintar menyinden. Seorang rekan Kitsie yang telah mengenalnya cukup lama, bahkan sejak sebelum Kitsie datang ke Indonesia, Rahayu Supanggah, melihat kemampuan Kitsie termasuk spesial.

"Dia pekerja keras, penuh semangat, dan dalam gamelan kemampuannya di atas rata-rata orang Barat," tutur Supanggah yang merupakan seorang maestro gamelan asal Solo.

Supanggah menilai, apa yang dikerjakan oleh Kitsie sangat positif. Dia sangat serius dalam gamelan. Termasuk ketika akhirnya Kitsie menangani sebuah perkumpulan pengrawit, Pujangga Laras, yang melakukan pertemuan sebulan sekali di rumah Supanggah.

Pertemuan itu rutin terselenggara sampai sekarang, sekalipun tidak lagi diadakan di rumah Supanggah, melainkan di rumah Ki Purbo Asmoro, seorang dalang kenamaan dari Solo.

Kesukaan Kathryn Emerson terhadap wayang diawali dengan kesukaannya terhadap gamelan yang dia dengar setiap hendak masuk ke ruang kuliah saat masih di Amerika (Kusumasari Ayuningtyas/Intisari)
Kesukaan Kathryn Emerson terhadap wayang diawali dengan kesukaannya terhadap gamelan yang dia dengar setiap hendak masuk ke ruang kuliah saat masih di Amerika (Kusumasari Ayuningtyas/Intisari)

Menikahi tukang kendhang

Pada 1995 Kitsie mendapat kesempatan mengajar di Jakarta International School (JIS) Jakarta. Dia pun hijrah ke Ibukota dan tinggal di sebuah rumah di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Di rumahnya, Kitsie membuka sebuah sanggar untuk berlatih gamelan bersama guru yang kemudian menjadi kekasihnya, Wakidi Dwijomartono, penabuh kendhang asal Solo.

Lama bergelut di dunia seni karawitan, Kitsie mulai tertarik dengan seni pewayangan yang tak bisa dipisahkan dari gamelan, khususnya wayang kulit. Dia ingin tahu apa yang diceritakan oleh dalang dalam bahasa yang tidak dia mengerti itu. Dari situlah dia mulai belajar bahasa tutur wayang, bahasa Jawa kuno.

"Saya beli buku pelajaran bahasa Jawa untuk SD dan saya rajin mendengarkan siaran radio bahasa Jawa," kenang Kitsie.

Tidak hanya itu, Kitsie juga meminta Wakidi untuk menggunakan bahasa Jawa saat berkomunikasi dengannya. Wakidi sempat kaget, namun tetap menuruti permintaan kekasihnya itu, dan mereka mulai berkomunikasi dengan bahasa Jawa.

Akhirnya, Kitsie bisa memahami bahasa Jawa, ngoko maupun halus.

Tahun 2004, pasangan Kitsie-Wakidi pun menikah. Di tahun yang sama, Kitsie mulai serius mempelajari kesenian wayang kulit. Dia mulai mencari dalang untuk dia jadikan mentor.

Selama setahun Kitsie menonton banyak pertunjukan wayang, sampai akhirnya berkesempatan menyaksikan pertunjukan wayang klasik dengan lakon "Bima Suci" yang dibawakan oleh Ki Purbo Asmoro dalam sebuah acara supitan (khitanan) cucu seorang perajin gamelan, Mulyadi, di Lojiwetan, Solo.

"Saya sudah yakin malam itu bahwa saya akan belajar wayang pada Ki Purbo Asmoro," ujar Kitsie.

Ki Purbo Asmoro adalah seorang dalang kelahiran Pacitan, Jawa Timur, yang menetap di Solo. Selain ndalang, dia juga pengajar Jurusan Pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Ki Purbo dikenal sebagai dalang yang memiliki sentuhan sastrawi halus di setiap wayang klasik yang dibawakannya.

Kitsie hampir selalu meluangkan waktu menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang dibawakan oleh Ki Purbo. Dia paham dan mulai hapal lakon-lakon dalam setiap cerita pewayangan yang pernah dibawakan Ki Purbo. Meski begitu, Kitsie juga suka melihat pertunjukan wayang kulit yang dibawakan oleh dalang lain.

Suatu ketika ada teman Kathryn Emerson di JIS minta ditanggapkan wayang saat mitoni. Dari situlah muncul ide menerjemahkan bahasa wayang ke bahasa Inggris realtime (Kusumasari Ayuningtyas/Intisari)
Suatu ketika ada teman Kathryn Emerson di JIS minta ditanggapkan wayang saat mitoni. Dari situlah muncul ide menerjemahkan bahasa wayang ke bahasa Inggris realtime (Kusumasari Ayuningtyas/Intisari)

Terjemahan realtime

Suatu hari di kisaran tahun 2005, Kitsie dimintai tolong oleh seorang rekannya di JIS yang sedang hamil tujuh bulan untuk membantu memeriahkan acara mitoni atau “nujuh bulanan” (selamatan untuk mendoakan wanita yang memasuki usia kehamilan tujuh bulan) dengan pertunjukan wayang.

Tidak kurang dari 50-an keluarga, juga rekan ekspatriat di Jakarta, hadir dan menyaksikan pementasan wayang dalam acara mitoni tersebut.

Beberapa rekan bingung, bahkan mengeluh, kepada Kitsie karena tidak mengerti sama sekali maksud segala ucapan dan nyanyian dalam wayang itu. Maka Kitsie mengambil inisiatif menerjemahkan penuturan dalang ke dalam bahasa Inggris.

Dia mengetikkan kalimat per kalimat terjemahan pada laptop, kemudian memproyeksikannya ke layar besar di sebelah geber (layar) sang dalang. Lima belas menit sekali teks terjemahan muncul, dan para penonton pun antusias.

Seorang teman yang tidak sabar untuk tahu kelanjutan cerita mendesak Kitsie mengurangi jeda waktu antar-terjemahan. Dia ingin Kitsie langsung menerjemahkan tanpa harus menunggu dalang menyelesaikan kalimatnya, sehingga antara adegan dengan terjemahan tidak berjarak terlalu jauh. Seperti teks terjemahan film.

"Dia bilang pada saya, 'Jangan berhenti, ayo cepat! cepat!'" ungkap Kitsie sambil tertawa.

Keputusan Kitsie untuk menuruti permintaan kawannya itu memunculkan ide baru untuknya: menerjemahkan wayang secara realtime. Terjemahan real time bahasa wayang ini hampir sama dengan penerjemahan simultan yang dilakukan oleh para translator dalam sebuah konferensi tingkat dunia. Hanya bedanya, alih bahasa yang dilakukan oleh Kitsie sarat dengan interpretasi.

"Sulit pada awalnya," beber Kitsie yang sejak saat itu mulai menjajal kemampuannya sebagai penerjemah real time bahasa wayang dalam pentas wayang.

Tiga tahun setelah belajar wayang pada Ki Purbo, Kitsie memberanikan diri mengajak Ki Purbo melakukan tur keliling dunia. Dimulai dari Singapura, berlanjut ke New York, Washington, Chicago, Inggris, Prancis, India, Bolivia, dan Jepang.

Selain menjadi penghubung kelompok Ki Purbo dengan penyelenggara, Kitsie juga bertindak sebagai penerjemah real time di setiap pergelaran. "Saya ingin memberitahu dunia bahwa wayang itu bukan tontonan biasa. Banyak pesan di sana," ujar Kitsie.

Di sela-selamengajar dan menjadi penerjemah di setiap pergelaran wayang Ki Purbo Asmoro dan melanjutkan hobinya bermain gamelan, Kitsie juga tak lupa menyelesaikan studi S3-nya di Universitas Leiden, Belanda. Topik desertasinya seputar Inovasi Ki Purbo Asmoro dan Sejarah-sejarah Pembaruan dari Ki Purbo Asmoro.

Pertanyaannya kemudian: kok ada orang Amerika yang mau capek-capek memperkenalkan wayang ke seluruh dunia--sementara banyak orang lokal yang justru abai terhadapnya?

Artikel Terkait