Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Fajar menyingsing di ufuk timur, menyapa Nusantara yang baru saja menghirup udara kemerdekaan.
Semangat membangun bangsa berkobar di dada setiap insan, tak terkecuali para cendekiawan yang menyadari pentingnya bahasa persatuan sebagai fondasi kokoh negara Indonesia.
Bahasa Indonesia, yang diangkat dari bahasa Melayu, memikul beban berat untuk mempersatukan ragam suku dan budaya yang tersebar di kepulauan zamrud khatulistiwa.
Salah satunya adalah perbedaan ejaan yang menimbulkan kesulitan dalam komunikasi dan menghambat perkembangan bahasa itu sendiri.
Sebelum kemerdekaan, Indonesia menganut Ejaan Van Ophuijsen, warisan pemerintahan kolonial Belanda.
Ejaan ini, yang diresmikan pada tahun 1901, menggunakan huruf Latin namun mengikuti sistem ejaan bahasa Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, muncullah Ejaan Republik pada tahun 1947 yang dipelopori oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Soewandi.
Ejaan ini merupakan langkah awal untuk melepaskan diri dari bayang-bayang penjajah dan menyesuaikan ejaan dengan kaidah bahasa Indonesia.
Tetapi, perjalanan menuju ejaan yang ideal belumlah usai. Indonesia terus berupaya menyempurnakan ejaan bahasa agar lebih mudah dipelajari dan dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia.
Di tengah pergolakan politik dan sosial yang melanda negeri muda ini, sebuah gagasan cemerlang lahir dari benih persaudaraan dengan negara tetangga, Malaysia.
Pada tahun 1959, Indonesia dan Malaysia menjalin kerja sama dalam bidang kebahasaan yang menghasilkan sebuah kesepakatan bersejarah, yaitu Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia).
Ejaan ini merupakan kristalisasi dari semangat persatuan dua bangsa serumpun yang memiliki akar budaya dan bahasa yang sama.
Menyusuri Jejak Sejarah Ejaan Melindo
Gagasan untuk menyeragamkan ejaan bahasa Melayu di Indonesia dan Malaysia sebenarnya telah muncul sejak lama.
Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tahun 1954 merekomendasikan pembentukan sebuah badan yang bertugas mengadakan penyeragaman ejaan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu di Malaya.
Namun, baru pada tahun 1959, impian tersebut mulai diwujudkan. Pemerintah Indonesia dan Federasi Malaya mengadakan pertemuan di Jakarta yang dihadiri oleh para pakar bahasa dari kedua negara.
Pertemuan ini menghasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk Panitia Kerja Sama Bahasa Melayu-Indonesia yang bertugas menyusun ejaan bersama.
Panitia ini kemudian mengadakan beberapa kali pertemuan intensif di Jakarta dan Kuala Lumpur untuk merumuskan ejaan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Akhirnya, pada tahun 1962, Ejaan Melindo diresmikan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia dan Menteri Pelajaran Federasi Malaya.
Ejaan Melindo merupakan sebuah tonggak penting dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu.
Ejaan ini tidak hanya menyederhanakan dan menyeragamkan ejaan, tetapi juga mempererat hubungan persaudaraan antara Indonesia dan Malaysia.
Keistimewaan Ejaan Melindo
Ejaan Melindo memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan ejaan sebelumnya.
Beberapa perubahan penting yang diperkenalkan oleh Ejaan Melindo antara lain:
Penggunaan huruf 'j' untuk menggantikan huruf 'dj'. Misalnya, 'djaja' menjadi 'jaya'.
Penggunaan huruf 'y' untuk menggantikan huruf 'j' pada akhir kata. Misalnya, 'sandjak' menjadi 'sandyak'.
Penggunaan huruf 'c' untuk menggantikan huruf 'tj'. Misalnya, 'tjatjing' menjadi 'cacing'.
Penggunaan huruf 'u' untuk menggantikan huruf 'oe'. Misalnya, 'goeroe' menjadi 'guru'.
Perubahan-perubahan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan ejaan dan menyesuaikannya dengan sistem fonologi bahasa Melayu.
Ejaan Melindo juga memperkenalkan beberapa aturan baru mengenai penulisan kata ulang, kata majemuk, dan tanda baca.
Ejaan Melindo, Karya yang Tak Lekang oleh Waktu
Ejaan Melindo merupakan sebuah tonggak penting dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia.
Ejaan ini lahir dari semangat persatuan dua bangsa serumpun yang memiliki cita-cita luhur untuk memajukan bahasa dan budaya Melayu.
Meskipun Ejaan Melindo tidak berumur panjang dan digantikan oleh Ejaan yang Disempurnakan (EYD) pada tahun 1972, namun ejaan ini tetap memiliki makna historis yang tak ternilai.
Ejaan Melindo mengajarkan kita tentang pentingnya kerja sama dan persaudaraan dalam membangun sebuah bangsa.
Ejaan ini juga menunjukkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dinamis dan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Semoga kita dapat meneladani semangat para pendahulu kita dalam memajukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang membanggakan.
Sumber-Sumber Sejarah:
Badudu, J.S. (2000). Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, Abdul. (2009). Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1975). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---