Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Di jantung kota Ngawi, Jawa Timur, di mana Sungai Bengawan Solo dan Bengawan Madiun berpelukan mesra, tersembunyi sebuah monumen bisu yang menyimpan sejuta kisah.
Benteng Pendem, namanya berbisik lirih, seakan enggan menceritakan tragedi dan kejayaan yang pernah ia saksikan.
Namun, bagi mereka yang mau mendengarkan, dinding-dindingnya yang kokoh dan lorong-lorongnya yang sunyi akan berdendang tentang masa lalu.
Bercerita tentang perjuangan, dan tentang bayang-bayang kekuasaan yang pernah mencengkeram bumi pertiwi.
Tahun 1825, Perang Diponegoro berkecamuk di tanah Jawa.
Pangeran Diponegoro, dengan semangat membara, memimpin perlawanan rakyat melawan penjajahan Belanda.
Di tengah gejolak perang, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes van den Bosch, menyadari pentingnya menguasai jalur logistik dan transportasi di wilayah Madiun dan sekitarnya.
Maka, pada tahun 1839, dimulailah pembangunan sebuah benteng megah di tepian Bengawan Solo, yang kelak akan dikenal sebagai Benteng Van den Bosch.
Benteng ini dirancang sebagai pusat pertahanan yang tak tertembus. Dinding-dindingnya yang tebal terbuat dari batu bata merah, menjulang tinggi seakan menantang langit.
Parit-parit lebar mengelilingi benteng, diisi air sungai yang mengalir deras, menjadikannya benteng air yang sulit ditembus.
Di dalamnya, barak-barak tentara berjajar rapi, siap menampung ratusan serdadu Belanda.
Gudang-gudang amunisi dan persenjataan tersembunyi di balik tembok-tembok kokoh, menjamin pasokan senjata yang tak pernah putus.
Strategi "Benteng Pendem"
Namun, ada satu hal yang membuat Benteng Van den Bosch berbeda dari benteng-benteng lainnya. Ia dibangun dengan posisi lebih rendah dari tanah sekitarnya, membuatnya seolah-olah terpendam di dalam bumi.
Strategi ini, yang kemudian melahirkan nama "Benteng Pendem", memiliki dua tujuan utama. Pertama, untuk menyamarkan keberadaan benteng dari serangan musuh.
Kedua, untuk melindungi bangunan dari terjangan banjir yang kerap melanda daerah aliran sungai.
Kejeniusan arsitektur Belanda terlihat jelas dalam desain Benteng Pendem.
Meskipun terpendam, benteng ini tetap kering dan nyaman dihuni. Sistem drainase yang canggih memastikan air hujan dan air sungai tidak menggenangi bangunan.
Udara segar dapat bebas bersirkulasi melalui ventilasi-ventilasi tersembunyi, menjaga kesehatan para penghuninya.
Saksi Bisu Pergolakan Zaman
Selesai dibangun pada tahun 1845, Benteng Pendem menjadi saksi bisu pergolakan zaman. Ia menyaksikan kejayaan pasukan Belanda yang berjaya di tanah Jawa.
Ia menyaksikan kepedihan rakyat Indonesia yang tertindas di bawah kolonialisme. Ia menyaksikan pergantian kekuasaan dari Belanda ke Jepang, hingga akhirnya Indonesia meraih kemerdekaannya.
Selama masa penjajahan Belanda, Benteng Pendem menjadi pusat komando militer. Dari sinilah, pasukan Belanda mengatur strategi untuk menumpas perlawanan rakyat Indonesia.
Di sinilah, para pejuang kemerdekaan dipenjara dan disiksa. Dinding-dinding benteng masih menyimpan jejak-jejak penderitaan mereka, coretan-coretan pilu yang menggoreskan luka sejarah.
Salah satu kisah pilu yang terukir di Benteng Pendem adalah kisah K.H. Muhammad Nursalim, seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro.
Ia ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Benteng Pendem, di mana ia disiksa dan akhirnya dikubur hidup-hidup.
Makamnya kini berada di dalam benteng, menjadi pengingat akan kekejaman penjajah dan semangat juang para pahlawan.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Benteng Pendem beralih fungsi menjadi kamp interniran. Ribuan orang, termasuk tentara Belanda, tawanan perang, dan warga sipil, dikurung di dalam benteng.
Kondisi di kamp interniran sangat memprihatinkan. Makanan dan obat-obatan langka, penyakit merajalela, dan kematian menjadi pemandangan sehari-hari.
Setelah Indonesia merdeka, Benteng Pendem sempat digunakan sebagai markas TNI. Namun, seiring berjalannya waktu, benteng ini mulai terbengkalai.
Dinding-dindingnya ditumbuhi lumut, atapnya runtuh, dan lorong-lorongnya dipenuhi semak belukar. Benteng Pendem seakan tertidur lelap, terlupakan oleh zaman.
Kebangkitan dari Tidur Panjang
Namun, Benteng Pendem tidak ditakdirkan untuk tertidur selamanya.
Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo mengunjungi benteng ini dan menginstruksikan untuk dilakukan revitalisasi. Sejak saat itu, Benteng Pendem mulai bangkit dari tidur panjangnya.
Proses revitalisasi dilakukan dengan hati-hati, menjaga keaslian bangunan dan nilai sejarahnya.
Dinding-dinding yang rusak diperbaiki, atap yang runtuh diganti, dan lorong-lorong yang gelap diterangi.
Benteng Pendem kembali bercahaya, menampakkan keindahan dan kemegahannya yang terpendam.
Kini, Benteng Pendem telah menjadi destinasi wisata sejarah yang populer.
Wisatawan dari berbagai penjuru datang untuk mengagumi arsitektur kolonialnya, menjelajahi lorong-lorongnya yang penuh misteri, dan mengenang kisah-kisah heroik yang pernah terjadi di dalamnya.
Lebih dari Sekedar Batu dan Bata
Benteng Pendem bukan hanya sekadar bangunan tua dari batu dan bata. Ia adalah saksi bisu sejarah, cermin perjuangan bangsa Indonesia, dan monumen pengingat akan pentingnya kemerdekaan.
Ia adalah warisan berharga yang harus kita jaga dan lestarikan untuk generasi mendatang.
Di setiap sudut Benteng Pendem, tersimpan cerita yang menunggu untuk diungkap. Di setiap batu bata, terukir jejak-jejak masa lalu.
Di setiap lorong, bergema bisikan-bisikan sejarah. Mari kita dengarkan dengan hati terbuka, agar kita dapat belajar dari masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---