Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Di tepian kota Solo, di tengah hamparan lahan yang dulunya rimbun dengan kapas, berdirilah sebuah kerajaan industri tekstil yang megah. Namanya, PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau yang lebih dikenal dengan Sritex.
Layaknya seekor garuda yang gagah, Sritex membentangkan sayapnya, menaungi ribuan pekerja dan merajai pasar tekstil Asia. Benang-benang yang dipintalnya menjadi kain berkualitas tinggi, terbang melintasi benua, menghiasi etalase-etalase ternama di seluruh dunia.
Berawal dari sebuah toko kecil di Pasar Klewer pada tahun 1966, Lukminto dengan kegigihan dan ketajaman bisnisnya, perlahan membangun imperium tekstil yang mendunia.
Sritex menjelma menjadi produsen tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara, dengan kapasitas produksi mencapai 100 juta meter kain per tahun.
Kain-kain produksi Sritex, bak kanvas bagi para seniman mode, menghidupkan kreasi-kreasi adibusana. Dari seragam militer hingga pakaian siap pakai, Sritex memenuhi kebutuhan pasar domestik dan internasional.
Jerman, Amerika Serikat, Australia, nama-nama besar itu tercatat dalam daftar klien setia Sritex. Prestasi gemilang Sritex menorehkan tinta emas dalam sejarah industri tekstil Indonesia. Sritex bukan hanya kebanggaan Solo, tetapi juga kebanggaan bangsa.
Namun, tak ada yang abadi di dunia ini. Layaknya roda yang berputar, ada masa kejayaan, ada pula masa kehancuran.
Sang garuda yang perkasa itu, perlahan tapi pasti, mulai kehilangan kekuatannya. Sayapnya yang kokoh terluka, tertembus panah badai krisis. Sritex, raksasa yang tadinya berdiri tegak, kini terhuyung, mencoba bertahan di tengah pusaran ketidakpastian.
Awan Mendung di Langit Sritex
Pada tahun 2021, kabar mengejutkan menghantam industri tekstil Indonesia. Sritex, sang primadona, digugat pailit oleh salah satu krediturnya.
Gugatan itu bagai petir di siang bolong, menggoyahkan fondasi imperium yang telah dibangun selama puluhan tahun. Publik terhenyak, bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan raksasa itu tersungkur?
Ternyata, di balik gemerlap prestasinya, Sritex menyimpan beban utang yang menumpuk. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada tahun 2020 menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk kondisi keuangan perusahaan.
Permintaan pasar global menurun drastis, sementara produksi tetap berjalan. Akibatnya, stok barang menumpuk, arus kas terganggu, dan Sritex kesulitan membayar kewajibannya kepada para kreditur.
Selain pandemi, faktor internal juga turut berperan dalam kejatuhan Sritex. Salah satunya adalah ketergantungan pada pasar ekspor. Ketika pasar global melemah, Sritex kehilangan tumpuan.
Diversifikasi pasar yang terlambat membuat Sritex rentan terhadap guncangan ekonomi global.
Perjuangan Melawan Badai
Sritex tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan dari jurang kebangkrutan. Restrukturisasi utang, efisiensi produksi, dan pencarian investor baru menjadi prioritas utama.
Namun, badai krisis terlalu kuat untuk dihadapi sendirian. Pada tahun 2024, Pengadilan Negeri Semarang mengabulkan permohonan pailit dari salah satu kreditur Sritex. Putusan itu menandai akhir perjalanan sang garuda tekstil.
Kejatuhan Sritex menjadi peringatan bagi para pelaku industri tekstil di Indonesia. Bahwa kesuksesan masa lalu tidak menjamin kelangsungan hidup di masa depan.
Inovasi, adaptasi, dan manajemen risiko yang baik menjadi kunci untuk bertahan di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Sejarah Panjang Sritex
Di tepian kota Solo, di tengah hamparan lahan yang dulunya rimbun dengan kapas, berdirilah sebuah kerajaan industri tekstil yang megah.
Namanya, PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau yang lebih dikenal dengan Sritex. Layaknya seekor garuda yang gagah, Sritex membentangkan sayapnya, menaungi ribuan pekerja dan merajai pasar tekstil Asia.
Benang-benang yang dipintalnya menjadi kain berkualitas tinggi, terbang melintasi benua, menghiasi etalase-etalase ternama di seluruh dunia.
Di kios sederhana itulah, Lukminto muda, dengan semangat membara dan mimpi besar, memulai perjuangannya di dunia tekstil. Berbekal ketekunan dan kejelian dalam membaca peluang pasar, ia menjajakan kain-kain hasil tenunan tradisional.
Kios kecil bernama UD Sri Rejeki itu menjadi saksi bisu kegigihan Lukminto dalam merintis usahanya.
Dua tahun berselang, keberanian Lukminto membawanya melangkah lebih jauh. Ia mendirikan pabrik cetak pertamanya di Joyosuran, Solo. Pabrik itu menghasilkan kain putih dan berwarna yang kemudian dipasarkan di Solo dan sekitarnya.
Langkah ini menandai awal transformasi UD Sri Rejeki menjadi sebuah perusahaan tekstil terintegrasi.
Pada tahun 1978, UD Sri Rejeki berubah menjadi perseroan terbatas dengan nama PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau yang dikenal dengan Sritex.
Di bawah kepemimpinan Lukminto, Sritex terus berkembang pesat. Pabrik-pabrik baru didirikan, mesin-mesin modern didatangkan, dan tenaga kerja profesional direkrut. Sritex tak hanya memproduksi kain mentah, tetapi juga merambah ke produksi benang, pewarnaan, dan garmen.
Tahun 1982 menjadi tonggak sejarah penting bagi Sritex. Lukminto mendirikan pabrik tenun pertama, menandai awal Sritex sebagai produsen tekstil terintegrasi.
Dengan fasilitas produksi yang lengkap, Sritex mampu mengendalikan seluruh proses produksi, mulai dari pengolahan kapas hingga menjadi produk jadi. Hal ini memberikan keunggulan kompetitif bagi Sritex dalam hal kualitas, harga, dan kecepatan produksi.
Merajai Pasar Tekstil Asia
Sritex terus berinovasi dan mengembangkan produknya. Kain-kain produksi Sritex, bak kanvas bagi para seniman mode, menghidupkan kreasi-kreasi adibusana.
Dari seragam militer hingga pakaian siap pakai, Sritex memenuhi kebutuhan pasar domestik dan internasional. Jerman, Amerika Serikat, Australia, nama-nama besar itu tercatat dalam daftar klien setia Sritex.
Reputasi Sritex sebagai produsen tekstil berkualitas tinggi mengantarkannya pada berbagai penghargaan dan sertifikasi internasional.
Salah satu pencapaian yang membanggakan adalah kepercayaan untuk memproduksi seragam militer bagi pasukan NATO dan Jerman pada tahun 1994.
Sritex juga berhasil mengantongi sertifikat dari organisasi pakta pertahanan Atlantik Utara itu sehingga pesanan pun terus berdatangan.
Prestasi gemilang Sritex menorehkan tinta emas dalam sejarah industri tekstil Indonesia. Sritex bukan hanya kebanggaan Solo, tetapi juga kebanggaan bangsa. Sritex menunjukkan bahwa Indonesia mampu bersaing di kancah global dan menghasilkan produk berkualitas dunia.
Namun, tak ada yang abadi di dunia ini. Layaknya roda yang berputar, ada masa kejayaan, ada pula masa kehancuran.
Sang garuda yang perkasa itu, perlahan tapi pasti, mulai kehilangan kekuatannya. Sayapnya yang kokoh terluka, tertembus panah badai krisis. Sritex, raksasa yang tadinya berdiri tegak, kini terhuyung, mencoba bertahan di tengah pusaran ketidakpastian.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
--