Kawin Balita ala India, Sudah Haram Sejak 1930 tapi Tetap Ada hingga Sekarang

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Sudah diharamkan sejak 1930, tapi kenapa pernikahan balita (child marriage) masih ada hingga sekarang?
Sudah diharamkan sejak 1930, tapi kenapa pernikahan balita (child marriage) masih ada hingga sekarang?

Entah kenapa di India kawin balita masih lestari hingga sekarang. Padahal, tradisi ini sudah dilarang sejak 1930--saat India masih diperintah oleh British India.

Ditulis oleh Uli Rauss dan dialihbahasan oleh Marina, tayang di Majalah Intisari pada Januari 2005

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Di hari perkawinannya yang begitu sakral, tubuh pengantin perempuan itu tampak lunglai, lemah tak berdaya. Alih-alih menikmati jalannya ritual pernikahan, memikirkannya pun tidak.

Bukan salah dia, karena umurnya memang belum lebih dari setahun, persisnya 10 bulan beberapa hari. Ya, si mempelai memang masih bayi merah yang belum menyadari petaka apa yang tengah mengintainya.

Sementara pengantin lelakinya tak kalah belia, karena belum genap berusia tiga tahun. Uniknya, calon pasutri itu baru bertatap muka untuk pertama kali beberapa menit sebelumnya. Keduanya lalu didudukkan di atas karpet yang digelar di sebuah tanah lapang.

Tangan kanan dua sejoli itu dibebat sehelai kain katun. Di depan mereka sudah tersedia perapian kecil dan berbagai perlengkapan upacara.

Waktu terus merayap, tahu-tahu sudah menunjuk pukul dua pagi. Di sekitarnya, para hadirin berdesak-desakan hendak menyaksikan jalannya upacara dari dekat. Tangan-tangan kekar orang dewasa--milik orangtua dan kerabat--memegang erat kedua mempelai.

Beberapa kali pengantin perempuan merengek, sambil menendang-nendangkan kakinya. Nyata sekali ia kebingungan.

Tak lama kemudian, terdengar bunyi gemerincing, genderang, serta mantra-mantra pendeta. Kedua pengantin kecil kini meronta-ronta. Apa pun yang terbesit di pikiran mereka, pasti tak mudah dimengerti orangtuanya.

Tubuh para pengantin direngkuh makin mendekati perapian untuk menuntaskan ritual pelengkap, "uji api. Empat kali memutari api, Bundaram dan Sunita resmi menjadi pasangan suami-istri.

Tujuh pasangan

Adegan di atas bukan petikan skenario film, apalagi khayalan seorang pengarang. Melainkan sebuah ritual serius dan nyata adanya, yang terjadi di padang tandus, di sebuah esa di Provinsi Rajastan, India Barat.

Dua pengantin cilik tadi, Bundaram dan Sunita, hanyalah satu dari tujuh pasang yang dipaksa memasuki kehidupan orang dewasa sebelum waktunya. Selain Bundaram dan Sunita, enam pasangan lainnya mendapat perlakuan serupa.

Puspa, bayi berumur 13 bulan, bahkan sampai tertidur di samping "calon suaminya", lantaran terlalu lelah. Di sampingnya ada Nirma dan Rekha, masing-masing berumur lima dan enam bulan.

Masih ada lagi Phooli, Maina, dan Manju yang baru saja beranjak remaja, masing-masing berumur 12 tahun, 13 tahun, dan 17 tahun. Namun, yang paling menghebohkan, kehadiran pengantin termuda, bayi imut berusia 2,5 bulan!

Sebenarnya, sejak tahun 1930 Pemerintah India sudah melarang perkawinan yang melangkahi hak anak menentukan jalan hidupnya sendiri itu. Undang-undang India bahkan dengan tegas memasukkan perkawinan antaranak di bawah umur sebagai tindak kejahatan.

Penggagas dan pelaku pesta dapat dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Peraturan negara itu juga menyebut, laki-laki baru boleh menikah pada usia 21 tahun, sedangkan perempuan pada usia 18 tahun.

Tapi mengapa masih saja ada anak di bawah umur, bahkan bayi bau kencur, yang diseret ke pelaminan? Prem Prakash Choudhary, seorang pengacara, termasuk di antara ribuan saksi mata yang memilih diam menyaksikan tradisi uiiik itu.

Menurut Prakash, sulit mencegah aksi ini, karena sebagian besar pelakunya percaya, inilah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi berbagai problem. Mulai menghemat biaya perkawinan normal (jika ritual dilakukan saat mempelai dewasa), mempererat tali kekeluargaan, sampai menjamin kelangsungan adat istiadat.

Kebetulan, Rajastan nan miskin adalah provinsi yang jauh dari jangkauan hamba hukum. Hajatan itu sendiri lazimnya berlangsung pada hari Akha Teej, yang dianggap sebagai "hari paling baik" untuk melangsungkan perkawinan.

Prakash lalu menunjuk seorang pria tua, Goma Ram, pria tua bersorban putih dan bergiwang emas itu tampak khidmat mengikuti jalannya ritual. Goma adalah pemimpin spiritual setempat yang didapuk menjadi "ketua panitia" hajatan.

Goma Ram juga yang memelihara inisiatif, agar budaya warisan nenek moyang yang telah berlangsung turun-temurun tetap terselenggara sesuai jadwal. Buat Goma, menikahkan anak-anak di bawah umur sama sekali tidak ada urusannya dengan hukum negara. Dia justru melihatnya sebagai kehormatan.

Malam sampai dini hari itu, dia sukses menghasilkan tujuh pasang pengantin baru.

Di desa tempat Goma bermukim, Bilda Bera, perkawinan di usia sangat dini juga menjadi "ladang bisnis" yang menguntungkan. Komunitas yang setia mengikuti tradisi ini, termasuk Goma, jumlahnya mencapai puluhan orang. Sebagian besar terdiri dari para petani pengikut Siwa.

Mereka selama ini hidup dengan saling berbagi harta dan kekayaan lainnya. Termasuk dua hektar tanah pertanian untuk bertanam gandum, cabai, ternak kambing, sapi perah, dua sumber mata air berpompa elektronik, traktor, dan delapan rumah yang mengelilingi lahan pertanian.

Di Provinsi Rajastan, sedikit sekali wanita bisa membaca dan menulis. "Menurut sistem kemasyarakatan kami, anak-anak perempuan dianggap sebagai beban sosial," kata Choudhary. Paling tinggi, mereka disekolahkan sampai kelas IV SD saja.

Makanya, semakin cepat anak perempuan dikawinkan, semakin cepat pula keluarganya keluar dari tanggung jawab mengurus si anak. Sebaliknya, keluarga pengantin pria mendapat "tenaga kerja" gratis.

Takut menolak

Suasana Bilda Bera, pagi hari setdah pelaksanaan ritual kawin paksa, tetap tak berubah. Masyarakatnya tetap konservatif, bebas dari kunjungan polisi dan saksi mata yang menyaksikan acara malam harinya tetap bungkam seribu bahasa.

Kaum wanitanya tetap melakukan rutinitas seperti sebelumnya, membawa makanan ke ladang. Seorang pengantin perempuan terlihat menggiring sapi ke sumber mata air. Sementara para tetua duduk-duduk santai menikmati pesta opium di tengah-tengah desa.

Seorang di antara mereka tampak menghancurkan dan menumbuk entah ramuan apa, di dalam sebuah wadah kayu, mencampurkannya dengan air, lalu meminumnya.

Goma Ram si tokoh desa ikut duduk di sana. Dia terlihat puas, acara semalam berjalan mulus tanpa rintangan sedikit pun. Beban berat yang selama ini menyempiti dadanya seolah terbang begitu saja. Dia berhasil menemukan tujuh anak lelaki untuk dikawinkan dengan tujuh anak perempuan, sebuah prestasi luar biasa.

Pasalnya, merayu orangtua calon pengantin kini bukan lagi persoalan gampang. Ayah Bundaram ikhlas menyerahkan anaknya, karena dia masih punya hubungan keluarga dengan Goma. Tapi ayah Sunita?

"Sebenarnya, saya terpaksa," kata Lasaram, seusai pesta kawin putrinya. Dia mengaku sama sekali tak berminat mengawinkan anak perempuannya seperti ini.

Dia sempat merasa marah, kecewa, dan ragu. "Tapi, apa yang bisa saya perbuat untuk menentang si tua bangka Goma?" imbuhnya tak berdaya.

Lasaram sendiri bekerja di Bombay (sekarang Mumbai), mengurus toko cinderamata dan perhiasan imitasi. Sebagian pendapatannya dia kembalikan ke desa secara berkala. Sampai akhirnya, lima bulan sebelum ritual, datang surat berisi enam baris kalimat pendek-pendek dari Goma Ram.

"Anak baik," begitu surat berawal. "Kamu pasti senang, tahun ini kita akan mengawinkan anak-anak perempuan kita. Sunita akan masuk ke keluarga Babulal, menemani Bundaram."

Lasaram terkejut, tapi dia tak dapat berbuat apa-apa. Ayah seperti Lasaram inilah, menurut Prakash Choudhary, yang membuat tradisi kawin paksa berlanjut terus sampai kini. "Seseorang harus betul-betul bermental kuat, agar terbebas dari kungkungan sistem seperti itu," kata Choudhary.

Choudhary sendiri berhasil mengelak dari ikatan kawin paksa. Usia Prakash Choudhary baru lima tahun ketika dikawinkan oleh orangtuanya. Bermodal harga diri, bakat, nilai-nilai terbaik di sekolah, beasiswa, pekerjaan sebagai hakim, dan kantor sendiri, dia berhasil meyakinkan orangtua dan penasihat desa bahwa perkawinan masa kecilnya merupakan sebuah kesalahan.

Dia tidak pernah lagi bertemu dengan pengantin perempuan yang sempat dijodohkan dulu. Istrinya yang sekarang berasal dari keluarga militer, berkuliah di jurusan Sastra Inggris, dan telah memberinya anak-anak yang lucu-lucu.

"Kadang-kadang, sampai saat ini, saya masih merasa malu terhadap perkawinan masa kecil yang pernah saya alami," tutup pria berusia 48 tahun itu.

Andai semua orang berani bersikap seperti Choudhary....

Artikel Terkait