Thomas Stamford Raffles, Kepergiannya Ditangisi Begitu Banyak Manusia

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Penulis

Lukisan Thomas Raffles oleh George Francis Joseph pada 1817. Dikenal sebagai Bapak Pendiri Singapura, Raffles juga begitu melekat dengan Pulau Jawa.
Lukisan Thomas Raffles oleh George Francis Joseph pada 1817. Dikenal sebagai Bapak Pendiri Singapura, Raffles juga begitu melekat dengan Pulau Jawa.

5 Juli 1826, Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (lahir 5 Juli 1781) meninggal dunia. Pria Inggris pembangun Singapura ini meninggalkan tapak-tapak sejarah di Jawa (1811-1816). Sayang mati muda, 45 tahun.

Artikel ini pertama tayang di Intisari pada Juli 1995

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Kapal Ann itu baru tiga hari meninggalkan Port Morant di Pulau Jamaika untuk pelayaran kembali ke London. Tiba-tiba terdengar pecahan bunyi tangis bayi. Tanggal 5 Juli 1781, bayi lelaki yang lahir di kapal itu, diberi nama lengkap Thomas Stamford Bingley.

Anak kedua dan putra pertama dari Benjamin dan Anne Raffles ini terpaksa lahir di sana, karena Kapten Benjamin Raffles saat itu, sedang nonstop ulang-alik berlayar di jalur Eropa-Laut Karibia. Sebab di antara tahun itu saatnya "ledakan" perdagangan budak kulit hitam dari Benua Afrika.

Sedungu orang Hottentot

Anak lelaki Raffles ini meluangkan waktunya hidup di Inggris, namun sejarah tak mencatat khusus kehidupan Raffles yang tidak kaya. Kecuali keluarga Raffles itu menetap di beberapa tempat tak jelas sekitaran Kota London.

Lalu sekitar tahun 1793, saat umur Thomas Stamford Raffles sekitar 13 tahun, anak lelaki tunggal dari 5 bersaudara ini pernah mendapat pendidikan dasar di Mansion House Boarding School - Hammersmith di London.

Namun hanya 2 tahun saja, Raffles pun terhenti studinya karena tak ada biaya. Khusus soal pendidikan dasarnya ini, dia pada 1824 menulis begini, "Kebutuhan pendidikan dasarku tak terpenuhi." Raffles menambahkan lagi, "Saya rasanya sedungu orang Hottentot."

Ketika berumur 14 tahun, Thomas Raffles terpaksa mencari pekerjaan. Kapten Raffles tak mampu menyekolahkannya dan membiayai hidup keluarganya lagi karena terlilit utang berat. Raffles pun melamar kerja sebagai pegawai pemula di bagian sekretariat di Leadenhall Street--markas EIC (Maskapai India Timur atau East India Company).

Saat Thomas Raffles menjadi klerek, EIC sedang naik daun sebagai pemonopoli perdagangan Barat-Timur, dengan pusatnya di India. Nama Raffles sempat tenggelam, karena jabatannya cumalah kerani kantor.

Raffles sebagai penanggung beban biaya keluarganya, ternyata menjadi kutu buku, pelahap pelajaran, dan ilmu pengetahuan. Sang ibu tak jarang harus memperingatkan anak lelakinya, agar mengaso dan jangan terlalu lama membaca di bawah nyala lilin.

Perilaku kerja Raffles di kantor pun mulai menarik perhatian William Ramsay, sekretaris EIC yang akan menjadi sponsornya berkarier di pemerintahan Inggris.

Cintanya pada Malaka dan Olivia

Dewan EIC tahun 1805 memutuskan supaya Raffles segera keluar dari Inggris. Dia ditugaskan memperkuat pos niaga di Timur untuk mengendalikan jalur pelayaran niaga EIC dari Kalkuta ke Kanton di Cina.

Waktu itu situasi di kawasan itu mulai berubah. Belanda dengan VOC-nya mulai rapuh dan dipengaruhi Prancis. Pos EIC di Pulau Penang menjadi penting, mengingat Selat Malaka yang menjadi gerbang ke Cina itu harus ditata dan dikuasai, mumpung kekuasaan Belanda mulai jatuh.

Thomas Raffles ditunjuk menempati jabatan asisten kepala sekretaris. Bersamaan dengan itu, Raffles sudah jatuh cinta dan mengawini Olivia Mariamne Fancourt Devenish, janda almarhum Jacob Cassivelaun Fancourt pada 14 Maret 1805.

Perihal roman Raffles dengan Olivia yang lebih tua umurnya, tak banyak diketahui sejarawan.

Selama pelayaran panjang dan singgah di India, sekitar enam bulan kemudian Raffles dan istrinya tiba di Penang atau Pulau Pangeran Wales pada 19 September 1805. Di sini mulailah Raffles berkarya hebat menunjukkan dirinya sebagai calon negarawan besar.

Hanya dalam tempo 18 bulan, Raffles sudah meraih kursi kepala sekretaris Philip Dundas--Gubernur Penang.

Kariernya selama 10 tahun di EIC terbukti memberinya bekal kemajuan pimpinan otodidak ini. Tahun 1806 Raffles berkenalan dengan Dr. John Leyden, dokter dari Bengali dan pakar orientalis yang ke Penang untuk berobat.

Sebagai "tuan" Inggris, Raffles menimbulkan kekaguman warga Malaka, karena minatnya terhadap sejarah dan budaya Malaya.

Tindak-tanduk Raffles mulai dianggap aneh beberapa pejabat Inggris di Penang. Apalagi saat dia mengangkat seorang pribumi Melayu sebagai penerjemah resmi. Namun karyanya cukup menonjol selama tahun 1805-1810 di Penang dan Malaka. Dia pun dianggap matang untuk menjadi asisten sekretaris gubernur jenderal.

Tahun 1811 dia dipanggil ke Malaka. Lord Minto memintanya bersama Dr. Leyden untuk ikut armada Inggris yang akan menyerbu Jawa yang sudah berada dalam kedaulatan pemerintahan Perancis-Belanda.

Sasarannya merebut Batavia dari tangan Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens--pengganti Marsekal Herman Willem Daendels (penguasa Jawa 1808-1811).

Menyerang dan Letnan Gubernur Jawa

Pada musim angin tenggara, 11 Juni 1811, sekitar 57 kapal perang Inggris dengan kekuatan sekitar 11 ribu tentara, bertolak dari Malaka mau menyerang pusat pemerintahan kolonial Prancis-Belanda di Jawa. Laskar Inggris tiba di perairan dekat Batavia pada awal Juli 1811, kemudian mendarat di pantai Cilincing.

Mereka pun menyerang lewat rawa-rawa terus maju ke Selatan. Perlawanan laskar pimpinan Janssens tak berdaya.

Batavia diduduki Inggris. Lalu Weltevreden (kini Gambir), serta kemudian Meester Cornelis (sekarang Jatinegara).

"Pasukan Prancis-Belanda itu sekitar 18 ribu orang. Mereka lebih banyak, seharusnya lebih kuat. Rupanya kekuatan laskar di Jawa ini tak efektif. Disiplin laskar itu menurun, juga tak ada semangat perangnya dan serba kacau ... tanggal 27 Agustus Buitenzorg (Bogor) diduduki Inggris, sementara Janssens bersama sisa pasukannya melarikan diri ke Benteng Bukit Gombel--luar Kota Semarang, dekat Salatiga," begitu memoar mantan pasukan Raffles.

Leyden yang ikut menyerang ke Jawa malah terserang malaria dan meninggal pada 28 Agustus 1811, hanya dua hari setelah Meester Cornelis diduduki Inggris.

Tanggal 11 September 1811, Inggris memproklamasikan pemerintahan barunya di Jawa. Warga Belanda tetap dipekerjakan selama dibutuhkan dan harus taat terhadap peraturan Inggris.

"Yang Mulia berkenan menunjuk kepada Yang Terhormat Thomas Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa ... Semua peraturan dan undang-undang akan dikeluarkan atas nama Yang Mulia Gubernur Jenderal dari India, Lord Minto ... Setiap orang harus memperhatikan dan mematuhi kata dari Thomas Stamford Raffles Esquire (gelar kehormatan - Red.)," begitu surat keputusan Lord Minto.

Tindakannya kontroversial

Mayjen Robert Rollo Gillespie selaku pemimpin laskar penyerangan ke Jawa diam-diam tak merestui Raffles sebagai letnan gubernur Jawa. Untung Lord Minto mengetahui hal ini, lalu memanggil Gillespie kembali ke Kalkutta pada Oktober 1811.

Namun ketidakpuasan Gillespie ini membuahkan permusuhan terhadap Raffles.

"Saya memulai dan sendirian di sini, tanpa nasihat untuk mengatur daerah luas dengan penduduk antara 6 - 7 juta jiwa ... padahal kekuatan pasukan kita tak lebih dari 7.000 orang saja," begitu tulis Raffles kepada Ramsay.

"Selama dua abad ini, Belanda benar-benar tak becus memerintah dan meninggalkan sistem administrasi yang berantakan."

Pekerjaan pimpinan baru di Jawa ini terus menapak dan makin mantap. Tahun 1813 terjadi deregulasi, Inggris mengawasi ketat peranan pimpinan lokal, juga menghapuskan tata cara feodal. Raffles menggalakkan penanaman kopi dan menghapuskan sistem tanam paksa peninggalan Belanda.

Pajak tanah diperbaharui. Begitu pun peraturan bea cukai. Mengawasi ketat tata niaga komoditas impor-ekspor rempah-rempah, palawija, serta madat.

Tindakan Raffles dianggap kontroversial, terutama Gillespie yang tak suka terhadapnya. Namun Raffles terus bertindak dan mengadakan ekspansi ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara itu, rekan kerja Raffles makin mantap mengendalikan pemerintahannya di beberapa daerah.

Raffles yang punya perhatian luas terhadap ilmu pengetahuan alam dan sosial budaya, terus memendam minatnya dan menggali ilmu itu.

Raffles beserta stafnya terus menghimpun data primer catatan tentang manusia dan kebudayaan Jawa (juga Sumatera) hingga menjadi karya spektakuler History of Java (1817).

Namun musibah menimpa Raffles. Lord Minto yang amat membantunya meniti karier, meninggal pada-21 Juni 1814. Belum habis dukanya, tiba-tiba Olivia Mariamne pun tutup usia di Bogor. Untuk mengenang Olivia, Raffles membuat tugu kenangan di Bogor.

Naik gunung dan ditarik pulang

Bekerja dan bekerja, begitu cara Raffles memupuskan awan perkabungannya. Meski kesehatannya mulai terganggu, dia mendaki ke puncak Gunung Gede pada Januari 1815, untuk memasang tanda peringatan bagi Lord Minto yang bertulisan:

"Sacred to the memory of the Right Hon. Gilbert Earl of Minto who in October 1811 first established the British Government in Java and the Eastern Seas."

Memburuknya kesehatan Raffles sudah rahasia umum. Namun sebagai peminat serius sejarah kebudayaan, Raffles sempat singgah di Candi Prambanan dan Borobudur, serta mengoleksi segala benda budaya adikarya Jawa—termasuk area perunggu Buddha dan Hindu temuan di Jateng dan Jatim.

Raffles makin menjadi pergunjingan dalam rapat pemerintah. Di awal 1816, nasibnya makin jelas. Rapat pemerintah memutuskan letnan gubernur Jawa ini balik dulu ke Inggris.

"Raffles harus dipindahkan dari Jawa, sementara menunggu calon yang cocok untuk menggantikannya," begitu isi surat keputusan itu. John Fendall akhirnya terpilih sebagai pengganti Raffles pada Maret 1816, untuk mengatur masa transisi penyerahan kembali Jawa ke tangan pemerintahan Belanda lagi.

Tanggal 25 Maret 1816, kapal Ganges bertolak dari Batavia menuju Inggris. Raffles pulang dengan kawalan rekan dekatnya, antara lain pribumi Malaka yang menjadi pelayan setia Raffles, serta seorang Jawa bernama Raden Ranadipura.

Pelayaran ke Inggris cukup memakan waktu. Pada 18 Mei 1816 Raffles singgah di St. Helena, menjenguk Napoleon Bonaparte yang dibuang di sana. Lalu berlayar lagi, tanggal 11 Juli Raffles tiba di Inggris dengan berton-ton barang bawaan, berisi spesimen fauna-flora, perabotan serta benda kesenian dan budaya Jawa, juga barang antik lainnya.

Di Inggris, Raffles memulihkan nama baiknya di muka pengadilan direktur. Tak lama, duda tanpa anak ini kemudian terjebak cinta pada Sophia Hull (1786 - 1858) dan menikahinya pada 22 Februari 1817.

Di tengah masa bulan madunya, Raffles kemudian menyelesaikan History of Java pada April 1817. Tak lama kemudian, dia dianugerahi gelar "Sir”.

Raffles berkiprah lagi. Dia dikirim ke Sumatra dan menjadi letnan gubernur di Fort Marlborough, Bengkulu, pada 19 Maret 1818. Pejabat ini terus berprestasi dan melakukan serangkaian ekspedisi di Sumatera. Kemudian ekspedisi lagi ke Singapura.

Antara Desember 1818 dan Februari 1819, Sir Thomas Stamford Raffles mendirikan Singapura dengan hebat, sekalian memantapkan kedaulatan Inggris.

Kariernya terus menanjak, sementara kesehatannya kian memburuk—apalagi setelah anak-anaknya meninggal dunia. Raffles kemudian ditarik lagi ke Inggris, karena beberapa tindakannya dianggap kurang berkenan terhadap kebijakan Inggris.

Dalam perjalanan panjang ini, ia kehilangan lagi dua orang anaknya. Tanggal 22 Agustus 1824 dia tiba di Plymouth. Selama di negerinya, ia harus bertanggung jawab terhadap beberapa soal, termasuk tuntutan denda EIC sebesar 22.272 pon pada April 1826.

Nama Raffles belum pudar. Pria yang cuma berputri tunggal Ella Sophia (2 putra dan 2 putrinya meninggal antara tahun -1822 dan 1824), memperoleh anugerah jabatan presiden pertama Zoological Society of London. Tanggal 5 Juli 1826, Sophia menemukan tubuh suaminya tergeletak di dekat tangga. Thomas Raffles sudah meninggal.

Pemeriksaan medis menganggap Raffles meninggal akibat serangan ayan dan gangguan otak. "Selama bergaul dengannya, Raffles tak pernah mengeluhkan soal sakit di kepalanya ini, kecuali kami tahu dia menderita sakit di perut dan ginjal," tulis rekannya pada Juli 1826.

Jenazahnya dimakamkan di pelataran gereja kecil Hendon, tanpa tanda peringatan mencolok. Banyak orang kehilangan Raffles, misalnya kutipan:

"Banyak orang yang bernama besar, pintar, kaya, dan ganteng seperti Raffles. Namun pribadi Raffles yang ramah tamah dan tulus, tak ada yang menyamainya. Andaikan sekali waktu saya mati dan hidup lagi, saya tidak akan menemukan lagi manusia lain semacam Raffles. Sayang dalam usia 45 tahun Raffles sudah meninggal, sebetulnya dia dapat berbuat banyak lagi … kalau diberi tambahan umur."

Begitulah, di tengah berbagai kontroversi yang meliputi, Raffles adalah sosok yang istimewa. (Bd)

Artikel Terkait