Cerita Multatuli di Balik Pembuatan Novel Max Havelaar

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Eduard Douwes Dekker, atau Multatuli penulis buku Max Havelaar
Ilustrasi - Eduard Douwes Dekker, atau Multatuli penulis buku Max Havelaar

---

Intisari-online.com -Angin puyuh menerjang Batavia, menggulung debu dan daun-daun kering di jalanan yang lengang. Di sebuah kamar sederhana, seorang pria duduk termenung di balik meja tulisnya, pena bulu di tangannya bergerak lincah menari di atas kertas.

Matanya yang tajam, dibingkai alis tebal, menatap kosong ke kejauhan, seakan menembus dinding-dinding kamar dan melintasi samudra luas menuju tanah Jawa yang jauh di sana.

Pria itu adalah Eduard Douwes Dekker, atau yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli, yang berarti "Aku telah banyak menderita".

Di kamar sempit itu, di tengah gemuruh badai dan gejolak batinnya, lahirlah sebuah mahakarya yang akan mengguncang dunia: Max Havelaar.

Kisah Multatuli bukanlah sekadar kisah seorang penulis dan karyanya. Ia adalah kisah tentang keberanian, tentang perlawanan terhadap ketidakadilan, dan tentang jeritan nurani yang terluka. Ia adalah cermin dari realitas pahit kolonialisme di Hindia Belanda, sebuah potret kelam tentang eksploitasi, penindasan, dan penderitaan rakyat yang tak berdaya.

Eduard Douwes Dekker, seorang pemuda idealis, tiba di Hindia Belanda dengan mimpi untuk melayani negeri jajahan dan memperbaiki nasib rakyatnya.

Ia percaya pada janji-janji luhur pemerintah kolonial, pada misi mulia untuk membawa peradaban dan kesejahteraan bagi bumi pertiwi. Namun, mimpinya segera hancur berkeping-keping ketika ia berhadapan dengan kenyataan yang jauh berbeda.

Diangkat sebagai Asisten Residen Lebak, Banten, Douwes Dekker menyaksikan sendiri betapa sistem kolonial telah mencengkeram dan meremukkan kehidupan rakyat. Ia melihat kemiskinan yang merajalela, kesewenang-wenangan para penguasa, dan praktik korupsi yang merajalela.

Ia melihat bagaimana sistem tanam paksa (cultuurstelsel) telah merampas tanah dan tenaga rakyat, memaksa mereka untuk menanam tanaman-tanaman ekspor yang menguntungkan Belanda, sementara mereka sendiri hidup dalam kelaparan dan penderitaan.

Hati Douwes Dekker terguncang. Ia tak bisa tinggal diam menyaksikan ketidakadilan yang terjadi di depan matanya. Ia mencoba melawan sistem yang korup itu, mencoba membela hak-hak rakyat yang tertindas.

Namun, upayanya sia-sia. Ia berhadapan dengan tembok tebal birokrasi kolonial, dengan para pejabat yang lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kesejahteraan rakyat.

Frustrasi dan kecewa, Douwes Dekker akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Ia kembali ke Belanda, membawa serta luka batin yang mendalam dan tekad untuk mengungkap kebenaran tentang Hindia Belanda.

Ia ingin dunia tahu tentang penderitaan rakyat Jawa, tentang kekejaman sistem kolonial yang telah merampas hak-hak mereka.

Dengan pena sebagai senjatanya, Douwes Dekker menulis Max Havelaar. Novel ini adalah sebuah protes keras terhadap kolonialisme, sebuah gugatan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Ia menggambarkan dengan detail dan penuh emosi tentang kehidupan rakyat Jawa di bawah kekuasaan Belanda, tentang kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan yang mereka alami.

Max Havelaar bukanlah sekadar novel fiksi. Ia adalah sebuah dokumen sejarah, sebuah kesaksian tentang realitas kelam kolonialisme di Hindia Belanda. Ia adalah sebuah jeritan nurani yang menggema, sebuah panggilan untuk keadilan dan kemanusiaan.

Saidjah dan Adinda, Simbol Cinta dan Pengorbanan di Tengah Ketidakadilan

Di antara lembaran-lembaran Max Havelaar, terselip sebuah kisah cinta yang tragis, kisah Saidjah dan Adinda. Dua insan muda yang dimabuk cinta, namun harus terpisah oleh kejamnya sistem kolonial.

Saidjah, seorang pemuda desa yang sederhana, harus menyaksikan kekasih hatinya, Adinda, dirampas dan dianiaya oleh para penguasa. Ia berjuang untuk mendapatkan kembali Adinda, namun usahanya sia-sia. Adinda meninggal dunia, meninggalkan Saidjah dalam kesedihan dan keputusasaan.

Kisah Saidjah dan Adinda adalah simbol dari penderitaan rakyat Jawa di bawah kekuasaan Belanda. Ia adalah metafora tentang cinta yang terenggut, tentang harapan yang pupus, dan tentang ketidakberdayaan di hadapan kekuasaan yang menindas.

Di Balik Max Havelaar

Max Havelaar diterbitkan pada tahun 1860 dan langsung menggemparkan dunia. Novel ini menjadi perbincangan hangat di Belanda dan Eropa, memicu perdebatan sengit tentang kolonialisme dan etika.

Ia membuka mata dunia terhadap realitas kelam di Hindia Belanda, mengungkap sisi gelap dari sistem kolonial yang selama ini disembunyikan.

Max Havelaar juga menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan anti-kolonial di seluruh dunia. Ia membangkitkan semangat perlawanan terhadap penindasan, menyuarakan jeritan hati mereka yang tertindas.

Ia adalah sebuah karya sastra yang tak lekang oleh waktu, sebuah monumen abadi bagi perjuangan kemanusiaan.

Multatuli, sang penulis di balik Max Havelaar, menjadi simbol keberanian dan perlawanan. Dirinya mengorbankan karir dan kenyamanannya demi membela kebenaran dan keadilan. Kemudianmengguncang dunia dengan tulisannya, menyuarakan jeritan hati mereka yang tak bersuara.

Warisan Multatuli, di Balik Karya Max Havelaar

Hingga kini, lebih dari seabad setelah kematiannya, warisan Multatuli tetap hidup. Max Havelaar terus dibaca dan dipelajari, menginspirasi generasi demi generasi untuk berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan.

Kisah Saidjah dan Adinda masih menggetarkan hati, mengingatkan kita akan pentingnya cinta, pengorbanan, dan perjuangan untuk kemanusiaan.

Multatuli telah tiada, namun api perjuangan yang ia nyalakan tetap berkobar. Ia telah mewariskan kepada kita sebuah karya sastra yang abadi, sebuah pesan tentang keberanian, keadilan, dan cinta kasih.

Ia adalah pahlawan bagi mereka yang tertindas, suar harapan bagi mereka yang mendambakan dunia yang lebih baik.

Sumber:

Douwes Dekker, Eduard. (1860). Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij. Amsterdam: J. de Ruyter.

Mahayana, Maman S. (2007). Multatuli dan Karya Sastranya. Jakarta: Balai Pustaka.

Toer, Pramoedya Ananta. (1982). Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Hasta Mitra.

Vickers, Adrian. (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait