Ketika Presiden Soekarno Didesak Bubarkan PKI dalam Rapat Umum di Sunda Kelapa

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Penulis

Sejarah PKI
Sejarah PKI

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Angin Desakan di Tengah Gelombang Revolusi

Intisari-online.com - Pelabuhan Sunda Kelapa, 8 Oktober 1965. Aroma laut bercampur dengan keringat dan emosi yang menyesaki udara. Ribuan manusia berhimpun, lautan kepala bergolak di bawah terik mentari Jakarta.

Di tengah pusaran massa itu, berdiri tegar Bung Karno, sang proklamator, pemimpin besar revolusi, menghadapi gelombang desakan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Hanya berselang beberapa hari dari peristiwa kelam yang mengguncang negeri, Gerakan 30 September yang menewaskan sejumlah jenderal Angkatan Darat, suasana di ibukota masih diliputi kecemasan dan amarah.

Tuduhan mengarah pada Partai Komunis Indonesia (PKI), dan rakyat menuntut keadilan. Di Sunda Kelapa, di hadapan lautan manusia yang berteriak lantang, Bung Karno merasakan beban sejarah yang semakin berat di pundaknya.

Pidatonya menggelegar, berapi-api seperti biasanya, namun kali ini diwarnai nada getir. Ia menyerukan persatuan, mengingatkan rakyat akan perjuangan merebut kemerdekaan, akan cita-cita revolusi yang belum usai.

Namun, di tengah gemuruh suaranya, terdengar pula bisikan-bisikan yang semakin keras, menuntut pembubaran PKI.

"Bubarkan PKI! Bubarkan PKI!" Teriakan itu membahana, menggema di antara tiang-tiang kapal dan bangunan tua pelabuhan.

Bung Karno terdiam sejenak, tatapannya menyapu lautan manusia, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengancam akan menghancurkan persatuan yang ia bangun dengan susah payah.

Ia memahami kemarahan rakyat, duka yang mendalam atas gugurnya para pahlawan revolusi. Namun, sebagai pemimpin besar, ia juga harus menjaga keseimbangan, mencegah bangsa ini terjerumus ke dalam jurang perpecahan.

PKI adalah partai politik yang sah, memiliki jutaan anggota dan pendukung. Membubarkannya bukanlah langkah mudah, penuh risiko dan konsekuensi yang tak terduga.

Di tengah dilema yang mendera, Bung Karno mencoba mencari jalan tengah. Ia berjanji akan mengusut tuntas peristiwa G30S, menghukum para pelaku yang terlibat, siapapun mereka.

Ia juga menyerukan kepada seluruh rakyat untuk tetap tenang, tidak terpancing provokasi, dan menjaga persatuan nasional.

Namun, desakan untuk membubarkan PKI semakin kuat, tak terbendung. Berbagai organisasi masyarakat, mahasiswa, dan elemen lainnya bersatu padu menyuarakan tuntutan yang sama.

Aksi demonstrasi semakin meluas, poster-poster bergambar palu arit dengan coretan merah bertebaran di sudut-sudut kota.

Bung Karno, sang pemimpin karismatik yang biasanya mampu menjinakkan massa, kali ini seperti kehilangan kendali. Ia terjebak dalam pusaran sejarah, dihadapkan pada pilihan sulit yang akan menentukan nasib bangsa dan warisannya sendiri.

Dilema Sang Pemimpin Besar

Sejak awal kemerdekaan, Bung Karno telah merangkul PKI sebagai bagian dari kekuatan politik nasional.

Ia melihat PKI sebagai partai yang militan, memiliki basis massa yang kuat, dan setia kepadanya. Dalam konteks perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme, PKI adalah sekutu penting dalam mewujudkan cita-cita revolusi.

Namun, kedekatan Bung Karno dengan PKI juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan Angkatan Darat dan kelompok Islam.

Mereka melihat PKI sebagai ancaman bagi ideologi Pancasila dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peristiwa G30S menjadi puncak dari ketegangan yang telah lama membara, memicu gelombang anti-komunisme yang tak terbendung.

Bung Karno berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia ingin menjaga persatuan nasional dan stabilitas politik.

Di sisi lain, ia menghadapi tekanan yang semakin besar untuk membubarkan PKI. Keputusan apapun yang ia ambil akan memiliki dampak yang luas dan mendalam bagi masa depan bangsa.

Dalam pidatonya di Sunda Kelapa, Bung Karno mencoba menenangkan massa, namun desakan untuk membubarkan PKI tak kunjung surut.

Ia berjanji akan mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku G30S, namun ia juga mengingatkan rakyat untuk tidak terprovokasi dan menjaga persatuan.

"Jangan sampai kita terpecah belah, jangan sampai kita saling membunuh hanya karena perbedaan ideologi. Kita semua bersaudara, kita semua adalah anak bangsa Indonesia," seru Bung Karno dengan suara parau.

Namun, seruannya seakan tak terdengar di tengah gemuruh tuntutan massa. Desakan untuk membubarkan PKI semakin keras, tak terbendung.

Bung Karno, sang pemimpin besar revolusi, kini berdiri di tepi jurang sejarah, menghadapi dilema yang akan menentukan nasib bangsa dan warisannya sendiri.

Sumber:

Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Hughes, J. (2002). The End of Sukarno: A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild. London: Archipelago Press.

Cribb, R. (1990). The Indonesian killings 1965–1966: studies from Java and Bali. Clayton, Vic.: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1965). Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 8 Oktober 1965. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait