Cerita Wartawan Intisari Ikut Latihan Militer Jepang hingga Tipu Penjajah Demi Selamatkan Pejuang

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ini adalah cerita mendiang Slamet Suseno, mantan wartawan Intisari yang pernah ikut latihan militer Jepang, PETA, saat mudanya. Kemampuan bahasa Belanda-nya dia gunakan untuk menipu penjajah dan menyelamatkan pejuang.
Ini adalah cerita mendiang Slamet Suseno, mantan wartawan Intisari yang pernah ikut latihan militer Jepang, PETA, saat mudanya. Kemampuan bahasa Belanda-nya dia gunakan untuk menipu penjajah dan menyelamatkan pejuang.

Ini adalah cerita mendiang Slamet Suseno, mantan wartawan Intisari yang pernah ikut latihan militer Jepang, PETA, saat mudanya. Kemampuan bahasa Belanda-nya dia gunakan untuk menipu penjajah dan menyelamatkan pejuang.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Tak banyak yang tahu, ternyata ada mantan wartawan Intisari, mendiang Slamet Suseno, yang pernah ikut latihan militer ala Jepang, PETA. Ketika itu, usia Pak Slamet masih 18 tahun.

Ini cerita Slamet Suseno untuk para pembaca sekalian.

"MENIPU PENJAJAH MENYELAMATKAN PEJUANG"

Sesungguhnya kami tidak mengerti, apa pertimbangan penguasa Jepang untuk melatih kami keterampilan militer di daidan (asrama tentara PETA - Pembela Tanah Air) Ponorogo. Sebagai murid Chu Gakko Madiun (SMTP zaman Jepang) tahun 1945, saya masih berumur 18 tahun, dan jelas masih suka guyon.

Latihan militer itu berupa baris-berbaris sambil memanggul senapan dari kayu. Tiap pagi kami memberi hormat senjata kepada inspektur upacara. Kadang juga perang-perangan. Cara bertiarap menghindari peluru misalnya, atau merayap mepet tanah agar bisa mencapai cekungan untuk berlindung.

Merayapnya dengan sikut dan dengkul. Menarik juga acara ini. Kalau harus menusuk musuh dengan bayonet (pura-puranya), kami harus berteriak "Yaaah!"

Tiga minggu lulus

Makanan sehari-hari berupa nasi bercampur gabah yang diberi asem-asem. Tiap hari kami diet gabah dan lombok ijo. Malam pertama perut saya sakit, dan esok harinya harus ke klinik untuk diberi norit. "Nih, sudah! Jangan mencret terus!" pesan bintara kesehatan.

Kami tidak mengerti mengapa makanannya dicampur gabah. Padahal Madiun - Ponorogo itu gudang beras. "Justru itu latihan tirakat!" jelas seorang kawan yang suka mistik. Menurut dia, itu disengaja agar kami tahan banting setelah digembleng di tempat penggemblengan ini.

"Digembleng dengan gabah?" tanya saya ingin ketawa.

"Kamu menghina!" jawabnya serius.

Seorang teman lain yang tidak mengurusi mistik menduga, bahwa pabrik penggilingan padi pemasok daidan itu sudah parah mesinnya karena kekurangan suku cadang. Beras berupa gabah masih lolos.

Tapi yang lebih parah di zaman Jepang itu adalah kekurangan tekstil. Sudah lama pakaian kami terpaksa ditambal sulam kalau ada yang bolong." Begitu juga celana saya bagian belakang yang sehari-hari saya pakai untuk duduk.

Di Daidan Ponorogo, kami harus mencuci sendiri celana rombeng semacam itu. Mencucinya terpaksa sore, karena waktu pagi dipakai taiso (senam dengan iringan piano dari radio). Jadi menjemurnya malam-malam di bawah sinar bulan yang suhunya di bawah standar.

Tidur kami di atas bale-bale bersama yang diberi tikar sebagai seprai. Bantalnya tumpukan celana dan kemeja sendiri yang dilipat. Pakaian ini juga tidak perlu disetrika, karena ditiduri sebagai bantal juga sudah seperti disetrika.

Tiga minggu setelah baris-berbaris, perang-perangan, dan makan gabah, kami dinyatakan lulus sebagai anggota Barisan Istimewa. Beberapa hari kemudian terbetik berita, bahwa bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan di Pegangsaan Timur, Jakarta. Proklamatornya pemimpin sejati kita: Soekarno - Hatta.

Menyerbu pelan-pelan

Tiba-tiba semua anggota Barisan Istimewa dikerahkan bersama barisan Badan Perjuangan yang lain untuk merebut senjata dari tentara Jepang. Pukul 16.00 kami harus berdiri di depan markas kempetai (polisi militer) yang terkenal kejam itu.

Seorang pemimpin (entah dari mana asalnya) berpidato di muka kami. Intinya, kami harus tetap bersiaga penuh sementara Bapak Wakil Residen, Mr. Ali Sastroamidjojo, berunding dengan komandan kempetai.

"Mr" zaman itu masih berarti Meester in de Rechten, padanan LM (Legum Magister) zaman sekarang. Bukan singkatan Mister Inggris. Waktu itu, residen Madiun seorang Jepang. Wakilnya orang Indonesia. Jabatan residen sekarang disebut pembantu gubernur.

Pukul 18.00, pemimpin itu muncul lagi dan memerintahkan kami: "Ingat saudara-saudara! Kita maju pelan-pelan! Jangan provokatif! Jangan grusa-grusu! Jangan membuat panik ketek-ketek itu! (istilah beliau bagi tentara Jepang yang berkonfrontasi di depan kami). Kami pun menyerbu dengan penuh semangat menggelora. Tapi pelan-pelan!

Sudah tentu ini bahan guyonan lagi bagi kami: Teman saya di barisan depan memang berdebar-debar (katanya sesudah semua usai), tapi kami di barisan belakang tetap saja guyon. "Serbuuuu! Pelan-pelaaaan!" bisik kami terpingkal-pingkal.

Kalau disadari kemudian, sebenarnya siasat itu benar-benar lihai. Dibandingkan dengan penyerbuan merebut senjata Jepang di kota lain yang menelan korban, kami di Madiun berhasil gemilang tanpa korban. Mungkin karena perbawa Mr. Ali Sastroamidjojo sebagai wakil residen juga besar atas komandan kempetai yang cuma mayor.

Ternyata anggota tentara Jepang yang tadi berjaga-jaga itu juga mundur pelan-pelan, seiring dengan gerak maju kami. Di lobi kantor (bekas hotel yang dipakai sebagai markas kempetai) kami melihat tentara Jepang itu diajak mengisap rokok oleh pemimpin yang tadi berpidato "Jangan membuat panik ketek-ketek". Ketek-nya sekarang diajak merokok dengan penuh persaudaraan.

Satgas mesiu

Ketika pertempuran yang sebenar-benarnya berkobar di Surabaya bulan November 1945, SMP Madiun (nama SMTP zaman perang kemerdekaan) masih tutup. Mungkin menunggu instruksi dari kantor gubernur di Surabaya yang sedang bergolak.

Pelajar luntang lantung seperti kami sibuk kulak warto adol prungon (mencari berita, menjual hasil dengaran). Di pasar gede saya melihat para gelandangan mencari makanan di dekat warung-warung. Para gelandangan ini berasal dari desa yang musim tanamnya baru usai, dan kini belum ada padi yang bisa dipanen.

Mereka kekurangan pangan, lalu mencari nafkah ke kota. Beberapa anak bukan mencari nafkah, tapi mencari kutu di antara serat kain celana mereka. Kutu celana yang dalam bahasa Jawa disebut tumo katok itu mirip bunyinya dengan nama jabatan Jepang: Sumo kacho. Sampai lama dia kami kenang sebagai plesetan zaman Jepang.

Saya bergabung dengan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), dan karena pernah lulus latihan militer, saya harus melatih para pemuda desa di Delopo. Ketika menjadi pelatih inilah saya tak sampai hati memelototi mereka (seperti pelatih kami dulu) kalau ada yang guyon sambil berbaris.

Dari segi kemiliteran, latihan pemuda desa ini jelas tidak berhasil, karena sama sekali tidak ada acara perkenalan dengan senjata. Tapi kami berhasil menanamkan kesadaran pada mereka, bahwa kita sudah merdeka, dan tidak dijajah lagi oleh bangsa lain. Itu berarti kita tidak boleh merasa minder lagi seperti dulu.

Untuk memompa semangat perjuangan dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang belum selesai (karena masih dirongrong oleh Belanda), mereka kami ajari berteriak "Merdekaaaa!" sambil mengepalkan tangan ke atas, setiap kali ingin memberi salam.

Di samping itu juga cara-cara menaikkan dan menghormati Sang Saka Merah Putih, menyanyikan lagu kebangsaan, mengheningkan cipta, dan menyanyikan lagu0lagu perjuangan Maju Tak Gentar, Indonesia Tetap Merdeka, Berkibarlah Benderaku, dan Dari Barat sampai ke Timur (yang kemudian balik nama menjadi Dari Sabang sampai Merauke).

Sementara itu badan perjuangan tumbuh subur, baik dari partai politik maupun perorangan. Yang paling terkenal adalah Barisan Pemberontak Indonesia, pimpinan Bung Tomo. Kami selalu terpesona mendengar pidato radionya setiap sore. Mula-mula pelan, kemudian menggelegar membakar semangat, sampai kami pun terbakar dan benci terhadap NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Suatu hari di alun-alun Madiun ada rapat raksasa yang menampilkan Bung Tomo itu. Ia mengenakan baju seragam Barisan Pemberontak coklat muda dan sepatu lars, sambil menyandang keris di pinggang samping. Kalau para perwira tentara menyandang pedang samurai, Bung Tomo menyandang keris.

Rambutnya gondrong sampai ke bahu, tapi karena memakai bivakmuts (sejenis peci tentara), penampilan gondrongnya tidak mengganggu pemandangan. Walaupun begitu, kami toh tidak tertarik untuk ikut berambut gondrong.

Usai tugas melatih pemuda desa, saya bergabung dengan satuan tugas penelitian bahan peledak. Saya ditempatkan di bekas rumah orang Belanda yang ditawan oleh Tentara Nasional Indonesia. Tugas kami meneliti dan merumuskan formula yang tepat susunan mesiu untuk granat tangan buatan sendiri.

Ketika ayah-ibu mendengar hal itu, mereka cemas. "Kalau mau berjuang jangan di tempat mesiu! Kalau kamu celaka dan sampai tewas, itu bukan gugur sebagai kusuma bangsa namanya, tapi mati konyol di dapur!"

Walaupun saya membela diri bahwa tugas saya bukan mengaduk-aduk mesiu tapi lebih banyak mengerjakan hitungan dengan rumus di atas kertas dan menjaga telepon, namun bapak-ibu tidak percaya. Dikiranya saya bergurau! Untung kemudian SMP dibuka lagi pada bulan Januari 1946. Jadi saya bisa meninggalkan satgas mesiu itu dengan alasan yang terhormat. Bukan karena ortu!

Berkat latihan di daidan

Pada Agustus 1946 saya lulus SMP Madiun dan meneruskan belajar di SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) Malang. Di kota itu banyak berkumpul para pelajar yang tergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Saya pun diajak bergabung, tapi mengingat pesan ortu sebelumnya, bahwa "Tugasmu belajar! Titik!" maka saya tidak ikut TRIP.

Ketika saya pulang ke Madiun karena libur kenaikan kelas tahun 1947, Kota Malang diserbu Belanda, pada bulan Juli, tapi Madiun tidak. Kampung halaman saya masih berada di daerah Republik, dan kini dipenuhi pengungsi dari daerah pendudukan Belanda.

Di mana-mana ada kios makanan yang didirikan para pengungsi ini untuk mencari penghasilan tambahan. Halaman rumah-rumah- yang sebelumnya sepi, kini meriah dengan kesibukan orang masak dan papan nama: "Sudi Mampir" dan "Mari Kangen". Atau "Ben Wareg".

Pertimbangan mereka, sambil berdagang makanan, lumayan bisa numpang makan dengan cuma-cuma. Karena SPMA Malang bubar, saya kemudian meneruskan belajar di SPMA Yogyakarta, yang pada tahun 1947 belum diserbu Belanda.

Sekolah ini menempati bekas rumah sakit jiwa di Tegalduwur, Kecamatan Wedi, dekat Klaten. Tapi saya tidak ikut diasramakan di kamar gila, melainkan di salah satu kamar rumah administratur perkebunan tembakau. Gedung kuno yang megah itu mengingatkan saya pada cerita kejayaan para kepala perkebunan Belanda yang hidup bergaya feodal seperti raja-raja kita zaman Mataram.

Tapi hanya setahun saya menikmati tidur di rumah kebesaran administratur kebun tembakau itu. Pada bulan Desember 1948,- Yogyakarta diserbu Belanda. Bersama beberapa kawan, saya mengungsi ke Timur, ke arah Madiun. Tapi di Desa Bayat, tiba-tiba kami terjepit di antara patroli Belanda di belakang kami, dan sepasukan tentara (entah dari kesatuan mana) di depan. Terdengar tembakan gencar sepihak.

Teman-teman sudah lari jauh masuk Ke kebun tebu, ketika serdadu Belanda itu memberondong mereka dengan tembakan mitraliur. Tapi saya tidak sempat lari, lalu bertiarap dan cepat merayap masuk ke parit kering di tepi jalan. (Sesuai pelajaran perang-perangan di daidan Ponorogo).

Justru karena itu saya selamat! Moncong mitraliur Belanda di atas jip diarahkan ke gerombolan kawan-kawan di kebun tebu sana. Tidak ke parit tempat saya bertiarap. "Aman," pikir saya. Tapi saya tidak tahu ke mana mitraliur jip-jip lain yang datang kemudian diarahkan. "Ya, Allah!" doa saya kebat-kebit, "kalau saya memang harus mati, berilah saya keringanan, tidak usah merasa sakit kalau luka!"

Ternyata saya tidak apa-apa.

Long march dengan Siliwangi

Sesudah patroli Belanda itu berlalu ke Timur, saya kembali terbirit-birit ke Barat. Ke Tegalduwur lagi. Malamnya saya berkumpul kembali dengan teman-teman yang tidak mengungsi. Sebenarnya kami mau tinggal di asrama SPMA saja dan menunggu perkembangan.

Tapi esok harinya ada perintah dari pihak militer untuk membumihanguskan (membakar) gedung sekolah berikut asramanya. Maksudnya, jangan sampai gedung itu masih bisa dipakai oleh tentara Belanda, dan kemudian merazia penduduk tak berdosa di sekitarnya.

Sesudah melihat sekolah habis terbakar, saya diajak mengungsi ke arah barat oleh Hilman Wargamihardja (teman sekamar) asal Ciamis. "Mau tinggal di mana, Met? Di kolong jembatan?" tanyanya bergurau tapi memojokkan.

Melalui Banyuasin, Bruno, dan desa-desa lereng Gunung Sindoro dan Slamet, kami bersama Tom Azwir, Kees Sukarya, dan Alex Subada berjalan kaki terus menyusuri lembah-lembah sungai, menghindari jalan raya. Daerah pegunungan itu masih dikuasai Republik Indonesia.

Setiap sore kami berhenti berjalan, dan singgah di rumah penduduk setempat. Sebelum singgah, kami melihat-lihat dulu kira-kira cukup berada tidak, penduduk itu. Kalau rumahnya bagus, kami singgah. "Terlalu!" gerutu Tom Azwir yang merasa risi, "pengungsi macam mana ini, pilih-pilih penginapanl"

Mereka ramah semua dan ikhlas menerima kami sebagai tamu yang perlu penginapan (termasuk makan). Di Desa Bruno kami malah diberi uang sangu oleh kepala dinas sosial setempat setelah kami terangkan bahwa kami mau kembali ke orang tua masing-masing di Jawa Barat. "Supaya tidak membebani rakyat yang disinggahi nanti!" ujarnya sambil memberikan amplop tebal.

Di Desa Tobong, lereng Gunung Slamet, kami berjumpa dengan satuan, tentara Siliwangi. Entah satu kompi, entah setengah batalion, kami tidak pernah diberi tahu. Mereka juga berjalan kaki menuju ke daerah tugasnya kembali di Bandung Selatan. Sebelumnya mereka ditarik ke Yogya berdasarkan perjanjian gencatan senjata dengan pihak Belanda.

Hilman kenal baik dengan komandannya. Kami boleh ikut rombongan mereka. Sepanjang perjalanan berikutnya, kami dijamu oleh penduduk setempat sebagai anggota keluarga Divisi Siliwangi. Cuma jalannya sekarang dibalik.

Setiap hari kami harus berangkat pukul 01.00 dini hari. Kemudian harus sudah "menginap dengan rapi" di rumah penduduk sebelum fajar menyingsing. Sepanjang siang kami harus berada dalam rumah. Soalnya, kalau berjalan siang, kami akan terlihat oleh pengintai Belanda dari udara. Lalu pasti mereka memberitahu tentara daratnya untuk menghadang kami.

Ganti ditembaki tentara nasional

Sesudah kami tiba di rumah orangtua Hilman di Ciamis (kota kabupaten di wilayah Negara Pasundan waktu itu), kami diwartakan sebagai ikut long march dengan Divisi Siliwangi. Di kota itu saya harus mel (dari melden Belanda atau melapor Indonesia) setiap hari ke komandan jaga IVG (Inlichtingendienst Veiligheids Groep atau dinas rahasia kelompok pengamanan) garnisun Belanda. Seperti tahanan kota saja!

Tapi sebulan kemudian saya berhasil berhubungan surat dengan ayah di Wonosobo. Dengan menunjukkan surat ayah, saya kemudian mendapat surat jalan dari kantor Kabupaten Ciamis, untuk pergi ke Wonosobo sebagai anak pengungsi yang akan berkumpul kembali dengan keluarganya.

Sampai Purwokerto saya bisa naik kereta api. Tapi untuk terus ke Wonosobo, saya harus menumpang truk konvoi tentara Belanda. Di Desa Selokromo, antara Banjarnegara dan Wonosobo, truk ditembaki para pejuang kita dari lereng-lereng bukit di kanan jalan.

Jalan itu menyusuri lembah Sungai Serayu, dan iring-iringan konvoi itu merupakan sasaran empuk bagi para penembak di lereng bukit. Kini saya tidak diberondong peluru Belanda, tapi tentara Republik.

Beberapa orang serdadu Belanda luka-luka, tapi dibawa terus ke Wonosobo. Saya masih juga selamat, dan berkumpul dengan ortu lagi, meskipun di kota yang diduduki Belanda.

Karena umur saya waktu itu masih 22 tahun, ayah bersikeras agar saya bersekolah lagi. "Kurang baik menunggu selesainya perang dengan menganggur bermalas-malasan di rumah!" pertimbangannya.

Tapi sekolah pertanian di daerah pendudukan baru akan dimulai lagi bulan Juli 1949. Padahal sekarang baru April. Untuk sementara, saya lalu dimasukkan oleh ayah (yang menjadi jaksa pengadilan negeri), ke kantor MID (Militaire Inlichtingen Dienst atau dinas rahasia militer) Wonosobo sebagai penerjemah.

"Kantor itu kerjanya mengorek keterangan tentang kedudukan para pejuang, dari orang-orang yang mereka tangkap di jalan!" jelas ayah, "Sering mereka itu penduduk biasa yang tak berdosa! Dari segi hukum acara, itu salah! Kamu sebagai penerjemah harus mencegah diam-diam jangan sampai kentara, jangan sampai terjadi penganiayaan karena salah komunikasi, atau salah paham karena soal bahasa. Kehadiran penerjemah sebagai pihak ketiga dalam interogasi, selalu bisa mencegah kesewenang-wenangan orang!"

Ini pekerjaan tegang penuh risiko, tapi dibandingkan dengan berondongan peluru di medan perang, baik dari pihak sana maupun pihak sini, bukan apa-apa. Bahasa Belanda saya yang kekanak-kanakan dari Joes en Roes dan Winnetou, het opperhoofd der apachen, di HIS (Hollands Inlandse School) juga sempat dipermak jadi bahasa percakapan masyarakat sehari-hari di kantor itu, sehingga mulus.

Terkadang untuk menyelamatkan nyawa para gerilya RI saya sengaja menyamarkan atau menipu dengan diam-diam nama daerah tempat persembunyian pejuang kita. Biar Londo-Londo itu kesasar.

Pada akhir Juni 1949 saya berangkat ke Bogor untuk masuk Middelbare Landbouw School. Ini Sekolah Pertanian Menengah Atas versi Belanda, yang tujuannya mencetak pegawai staf perkebunan yang sebentar lagi akan ditinggalkan oleh para pegawai Belanda.

Pada tanggal 27 Desember tahun itu juga, akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan atas wilayah Indonesia kepada RIS (Republik Indonesia Serikat), kecuali kedaulatan di Irian Barat. Wilayah ini baru 13 tahun kemudian (1962) diserahkan.

Tapi sementara itu, RIS sudah sejak tahun 1950 diubah menjadi negara kesatuan Republik Indonesia. Sejak tahun 1950 itu pula, sekolah saya berganti nama menjadi Sekolah Pertanian Menengah Atas, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia. Sekolah ini sekarang disebut Sekolah Pertanian Pembangunan, Departemen Pertanian.

Artikel Terkait