Hukum Tragis Untuk Joost Schouten Sang Diplomat VOC Pelaku Sodom

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Tujuan Belanda mendirikan VOC pada tahun 1602
Ilustrasi - Tujuan Belanda mendirikan VOC pada tahun 1602

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-online.com - Di bawah langit Batavia yang muram, pada tahun 1644, sebuah tragedi mengguncang hati seorang pejabat VOC bernama Gijsbert Heeck. Dalam memoarnya yang kelam, ia mencatat dengan pilu tentang eksekusi Joost Schouten, seorang pedagang dan diplomat VOC yang brilian namun kontroversial.

"Pada tanggal ini, di hadapan saya, Joost Schouten dicekik dan dibakar menjadi abu karena sodomi yang mengerikan," tulis Heeck dengan getir.

Namun, di balik kata-kata yang mengutuk, memoar Heeck juga melukiskan Schouten sebagai sosok yang kompleks, digambarkan sebagai seorang pria dengan kecerdasan luar biasa dan pengetahuan yang luas, namun terjebak dalam pusaran dosa dan nafsu terlarang.

Joost Schouten, lahir di Belanda pada tahun 1600, adalah jiwa petualang yang haus akan pengalaman baru. Pada usia 22 tahun, ia mengarungi samudra menuju Hindia Belanda, di mana ia segera menunjukkan bakatnya yang luar biasa.

Di Ayutthaya, ibu kota Kerajaan Siam, Schouten terlibat dalam dunia perdagangan dan manufaktur, menjalin hubungan dengan para penguasa setempat.

Kemampuannya yang luar biasa menarik perhatian Willem Janssen, seorang pelaut ulung yang mengangkat Schouten sebagai sekretaris dalam ekspedisi eksplorasi dan perdagangan ke Jepang pada tahun 1625. Perjalanan ini membuka cakrawala baru bagi Schouten, memperkenalkannya pada budaya dan tradisi yang berbeda.

Sang Diplomat Cerdik

Pada tahun 1633, Schouten kembali ke Siam, di mana ia menunjukkan keahliannya sebagai diplomat yang ulung. Dengan kecerdikan dan pesonanya, ia berhasil mendapatkan konsesi perdagangan yang menguntungkan bagi VOC dan dirinya sendiri, sekaligus mendapatkan posisi penting dalam perusahaan tersebut.

Schouten tidak hanya seorang pedagang, tetapi juga seorang pengamat yang tajam. Ia melakukan survei mendalam tentang geografi, masyarakat, dan politik Siam, yang kemudian ia tuangkan dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada tahun 1638.

Laporan ini menjadi rujukan penting bagi orang Eropa yang ingin menjelajahi negeri tersebut, bahkan hingga berabad-abad kemudian.

Tahun 1640 menandai kembalinya Schouten ke Batavia, di mana ia disambut dengan popularitas dan kekaguman.

Reputasinya sebagai seorang diplomat dan penjelajah yang handal semakin bersinar ketika ia bergabung dalam ekspedisi Abel Tasman ke Pasifik Barat Daya pada tahun 1642. Ekspedisi ini membawa mereka mengelilingi Australia dan menemukan Selandia Baru, sebuah prestasi yang luar biasa pada masa itu.

Abel Tasman, sebagai bentuk penghormatan kepada Schouten, menamai salah satu pulau yang mereka temui dengan nama Tasmania, dan sebuah pulau kecil di lepas pantainya dengan nama Pulau Schouten. Nama-nama ini menjadi pengingat abadi akan kontribusi Schouten dalam sejarah penjelajahan dunia.

Namun, di balik gemerlap prestasi dan popularitas, Schouten menyimpan rahasia kelam. Setelah kembali dari pelayaran bersama Abel Tasman, ia semakin terjerumus dalam penyimpangan seksual. Ia merayu para pemuda tampan untuk memuaskan nafsunya yang terlarang, memanfaatkan kekuasaan dan otoritasnya untuk memaksa mereka tunduk pada keinginannya.

Pada Juni 1644, Schouten akhirnya terjebak dalam perangkapnya sendiri. Seorang pria Prancis yang ia rayu ternyata adalah seorang mata-mata yang dikirim untuk menyelidiki skandal tersebut. Schouten ditangkap, dipenjara, dan diinterogasi. Di bawah tekanan, ia mengakui semua kejahatannya.

Hukuman yang Tak Terelakkan

Pada masa itu, masyarakat Belanda sangat religius dan tidak mentolerir penyimpangan seksual. Ketakutan akan murka Tuhan mendorong para pemimpin Batavia untuk mengambil tindakan tegas terhadap Schouten.

Pada Juli 1644, ia secara resmi dituduh melakukan sodomi dan dijatuhi hukuman mati dengan cara dicekik dan dibakar di tiang pancang.

Schouten menerima hukumannya tanpa perlawanan. Ia sadar bahwa perbuatannya telah melanggar norma-norma masyarakat dan mencoreng reputasinya yang gemilang. Namun, kontribusinya yang besar bagi VOC membuat pengadilan meringankan hukumannya.

Ia dicekik terlebih dahulu sebelum jasadnya dibakar, sebuah tindakan yang dianggap lebih manusiawi pada masa itu.

Eksekusi Schouten menjadi pengingat akan sisi gelap sejarah kolonialisme. Di balik kemegahan dan kejayaan VOC, terdapat kisah-kisah tragis tentang individu-individu yang terjebak dalam konflik antara ambisi, kekuasaan, dan moralitas.

Joost Schouten, sang pelayar ulung, diplomat cerdik, dan penjelajah tak kenal lelah, akhirnya menemui ajalnya di tiang pancang Batavia.

Namanya terukir dalam sejarah, bukan hanya sebagai pahlawan penjelajahan, tetapi juga sebagai simbol dari kompleksitas manusia dan konsekuensi dari tindakan yang melanggar norma-norma sosial.

Kisah Schouten adalah pengingat bahwa setiap individu, betapapun brilian dan berprestasinya, memiliki sisi gelap yang dapat menghancurkan mereka. Ia adalah cahaya dan bayangan, seorang tokoh yang menginspirasi sekaligus memperingatkan kita akan kerapuhan moralitas manusia.

*

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Artikel Terkait