Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com - Di bawah naungan langit tropis yang senantiasa cerah, Hindia Belanda di awal abad ke-20 meregangkan sayapnya sebagai permata tak ternilai di mahkota kolonial Belanda.
Rempah-rempah harum, ladang tebu yang membentang luas, dan kekayaan alam lainnya mengalir deras ke negeri kincir angin, menyuburkan kemakmuran dan ambisi bangsa penjajah.
Namun, di balik gemerlap kemewahan dan kekuasaan, tersembunyi kebutuhan yang mendesak, sebuah persoalan yang menuntut penyelesaian: kebutuhan akan tenaga medis yang memadai.
Wabah penyakit tropis seperti malaria, disentri, dan kolera kerap kali menebar maut di seantero Nusantara, merenggut nyawa tak terhitung jumlahnya, baik dari kalangan pribumi maupun orang-orang Belanda yang datang mengadu nasib di tanah jajahan.
Layanan kesehatan yang tersedia masih sangat terbatas, dan mendatangkan dokter-dokter terlatih dari Eropa membutuhkan biaya yang sangat besar. Di tengah dilema ini, pemerintah kolonial Belanda menyadari bahwa mereka harus mencari solusi yang lebih berkelanjutan dan hemat biaya.
Maka, lahirlah gagasan untuk mendirikan sebuah sekolah kedokteran di Hindia Belanda, sebuah lembaga pendidikan yang akan mencetak dokter-dokter pribumi yang cakap dan terampil.
Pada tahun 1902, Sekolah Dokter Djawa didirikan di Batavia, yang kemudian bertransformasi menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) pada tahun 1909.
Pendirian STOVIA bukan semata-mata dilandasi oleh semangat filantropi atau kepedulian terhadap kesehatan rakyat pribumi. Di balik niat baik tersebut, tersimpan pula kalkulasi politik dan ekonomi yang cermat.
Pemerintah kolonial Belanda berharap bahwa dengan adanya dokter-dokter pribumi, mereka dapat menekan biaya layanan kesehatan di Hindia Belanda.
Dokter-dokter lulusan STOVIA akan menerima gaji yang jauh lebih rendah dibandingkan dokter-dokter Eropa, sehingga pemerintah dapat menghemat anggaran secara signifikan.
Selain itu, dokter-dokter pribumi juga diharapkan dapat lebih mudah beradaptasi dengan budaya dan bahasa lokal, sehingga komunikasi dengan pasien menjadi lebih lancar dan efektif.
Namun, di balik motif-motif pragmatis tersebut, pendirian STOVIA juga membawa dampak yang tak terduga. Sekolah ini menjadi tempat bertemunya para pemuda-pemuda cerdas dari berbagai penjuru Nusantara, tempat mereka menimba ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Di bangku-bangku kuliah STOVIA, mereka tidak hanya belajar tentang anatomi, fisiologi, dan farmakologi, tetapi juga tentang nilai-nilai kemanusiaan, etika, dan semangat pengabdian.
STOVIA menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya generasi baru kaum terpelajar pribumi, generasi yang tidak hanya menguasai ilmu kedokteran, tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan politik yang tinggi.
Mereka menyaksikan sendiri ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami oleh rakyat mereka di bawah kekuasaan kolonial. Mereka merasakan sendiri betapa sulitnya mendapatkan akses pendidikan dan layanan kesehatan yang layak.
Semangat nasionalisme mulai berkobar di dada para mahasiswa STOVIA. Mereka menyadari bahwa kemerdekaan bukanlah sekadar impian kosong, melainkan sebuah tujuan yang harus diperjuangkan dengan segenap jiwa dan raga.
Di ruang-ruang diskusi dan organisasi kemahasiswaan, mereka merumuskan ide-ide dan strategi untuk melawan penjajahan.
STOVIA bukan hanya melahirkan dokter-dokter, tetapi juga para pemimpin pergerakan nasional. Tokoh-tokoh seperti Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Wahidin Soedirohoesodo adalah alumni STOVIA yang kemudian menjadi pelopor perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Mereka menggunakan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh di STOVIA untuk membangun kesadaran nasional dan mengorganisir perlawanan terhadap penjajah.
Pendirian STOVIA oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20 adalah sebuah paradoks sejarah. Di satu sisi, sekolah ini didirikan untuk melayani kepentingan ekonomi dan politik penjajah.
Namun, di sisi lain, STOVIA justru menjadi tempat lahirnya semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajahan.
STOVIA adalah bukti bahwa pendidikan adalah senjata yang ampuh, senjata yang dapat mengubah nasib sebuah bangsa.
STOVIA adalah monumen bagi perjuangan para pemuda-pemuda Indonesia yang berani bermimpi dan berjuang untuk mewujudkan impian mereka, impian tentang sebuah Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, STOVIA menempati posisi yang istimewa. Sekolah ini bukan hanya sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga simbol perjuangan dan harapan.
STOVIA adalah benih kebangkitan yang ditanam oleh penjajah, namun tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kini, STOVIA telah tiada, namun semangat dan warisannya tetap hidup. Generasi muda Indonesia harus terus melanjutkan perjuangan para pendahulu mereka, perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang adil, makmur, dan bermartabat.
STOVIA adalah pengingat bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu masa depan yang lebih baik.
Kisah STOVIA adalah sebuah kisah tentang bagaimana kebutuhan, ambisi, dan harapan dapat berkelindan dalam sejarah. Belanda mendirikan STOVIA untuk memenuhi kebutuhan mereka akan tenaga medis yang murah dan efisien.
Namun, mereka tidak menyadari bahwa sekolah ini akan menjadi tempat lahirnya generasi baru kaum terpelajar pribumi yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi.
STOVIA adalah bukti bahwa pendidikan adalah investasi yang tak ternilai harganya. Pendidikan dapat mengubah nasib individu dan bangsa.
STOVIA adalah warisan berharga yang harus kita jaga dan lestarikan. Mari kita terus belajar dan berjuang untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---