Mengenang Sejarah Lahirnya VOC: Ketika Batavia Gagal Sampai Di Batavia, Kecebur Laut Tamat Riwayat

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ternyata Batavia tak hanya nama lama Kota Jakarta. Nama itu pernah (dan masih) disandang sebuah kapal buatan Belanda. Sedihnya, kedua nama kembar itu tak pernah saling bertaut, karena Kapal Batavia tak pernah berlabuh di Batavia. Artikel ini sebagai persembahan mengenang lahirnya VOC.
Ternyata Batavia tak hanya nama lama Kota Jakarta. Nama itu pernah (dan masih) disandang sebuah kapal buatan Belanda. Sedihnya, kedua nama kembar itu tak pernah saling bertaut, karena Kapal Batavia tak pernah berlabuh di Batavia. Artikel ini sebagai persembahan mengenang lahirnya VOC.

[ARSIP]

Ternyata Batavia tak hanya nama lama Kota Jakarta. Nama itu pernah (dan masih) disandang sebuah kapal buatan Belanda. Sedihnya, kedua nama kembar itu tak pernah saling bertaut, karena Kapal Batavia tak pernah berlabuh di Batavia. Artikel ini sebagai persembahan mengenang lahirnya VOC.

Penulis: Julius Pour untuk Majalah Intisari edisi Desember 2000

Intisari-Online.com -Pada 29 Oktober 1628. Batavia bertolak dari Amsterdam menuju Batavia, India Timur, membawa 341 penumpang dan anak buah kapal (ABK), termasuk 38 perempuan dan beberapa anak kecil. Pelayaran perdana itu diperkirakan memakan waktu 9-1 2 bulan.

Nama "Batavia" dipilih sebagai penghormatan kepada suku Batavi, penghuni sekitar Leiden, yang di abad IV mengusir penguasa Roma dari tanah berawa-rawa, yang kini disebut Belanda.

Namun, "Batavia" juga dipakai VOC (Verenigde Oostindische Compagnie - Perkumpulan Dagang India Timur), untuk nama kota dagang mereka di India Timur, yang ketika itu sedang dalam pembangunan.

Berburu rempah

Armada dipimpin Francisco Pelsaert, dinakhodai Adriaen Jacobsz. Rencananya, selepas menyusur pantai barat Eropa, Batavia mengarah ke lepas pantai Brasil, Amerika Selatan, lalu ke tenggara, menuju Tanjung Harapan, Afrika. Selepas Tanjung Harapan naik ke timur laut menyusuri pantai Timur Afrika lewat Selat Madagaskar. Selepas ujung selatan India, baru masuk Selat Malaka.

Namun, tahun 1611 rute diubah, karena Hendrik Brouwer menemukan rute baru yang lebih singkat. Dari Tanjung Harapan kapal langsung melaju ke timur menyeberangi Samudera Hindia. Setelah berlayar sejauh 6.400 km, kapal berbelok tegak lurus ke utara, ke Selat Sunda, memasuki perairan Nusantara.

Masa itu Australia sudah dihuni masyarakat Aborigin, tapi belum "dikenal" oleh pelaut Eropa. Di peta, benua itu hanya diberi catatan spekulatif, Terra Australis Incognita, daratan luas di Selatan.

Berbagai pelayaran ke Timur Jauh dipicu keinginan mencari rempah-rempah, komoditi penting masa itu. Semangat itu tahun 1492 membawa Christopher Columbus tanpa sengaja menemukan daratan Amerika. Ini membuka kemungkinan adanya "dunia" baru.

Penemuan itu segera diselesaikan oleh Paus Alexander VI untuk mencegah perebutan kekuasaan antara kedua negara adidaya masa itu, yang kebetulan semuanya beragama Katolik. Setahun setelah pelayaran Columbus, Paus "membagi" dunia menjadi dua, untuk Spanyol dan sisanya milik Portugal.

Belanda menyusul

Seabad sesudah Portugal dan Spanyol melanglang buana menumpuk kekayaan dengan praktik monopoli perdagangan, Belanda iri. Pemerintah Belanda, yang berbentuk federasi antartujuh provinsi beragama Protestan dan telah bersama-sama berjuang mengusir Spanyol selama Perang 80 tahun (1568 - 1648), jelas tidak peduli dengan tindakan Paus Alexander.

Tahun 1595 ekspedisi pertama Belanda, dipimpin Cornelis de Houtman, mendarat di Banten, Jawa Barat, setelah berlayar 15 bulan. Pada 1595 - 1601, ada 65 kapal Belanda ikut berdagang di kawasan Timur Jauh.

Persaingan antarbangsa menyadarkan Belanda, negaranya kecil dan lemah. Untuk itu, tahun 1602 mereka memutuskan, semua bisnis ke Timur Jauh disatukan dalam nama VOC. Nantinya, kongsi itu menjadi mirip pemerintahan khusus.

Selama masa kejayaan di abad XVI - XVII, VOC sempat mengirim 1.770 kapal ke India Timur (kini Indonesia) mengangkut sekitar satu juta orang.

VOC berkantor pusat di gedung Wisma India Timur, Amsterdam. Kongsi Dagang itu dipimpin Dewan Direktur, disebut De Heren Zeventien, terdiri atas 17 pengusaha besar dari berbagai kota di Belanda.

Untuk memantapkan kekuasaan, tahun 1619 Jan Pieterzoon Coen mengusir Portugis dari Jawa. Jayakarta, bekas pusat perdagangan Portugis, direbut. Di atas reruntuhan benteng Portugis, Gubernur Jenderal Coen membangun kota baru, dinamai Batavia (kini Jakarta).

Pelayaran perdana ke Batavia itulah yang dilakukan Kapal Batavia. Palka kapal penuh aneka dagangan; uang perak, tekstil, porselen. Di ruang paling bawah tersimpan balok-balok batu berukir. Kecuali sebagai pemberat agar kapal tidak oleng, batu itu akan dirakit menjadi pintu gerbang utama Pelabuhan Batavia. Kiriman itu memenuhi permintaan Coen, yang bertekad, "... membangun Batavia yang bakal menjadi mutiara di Timur Jauh."

Kecebur laut, tamat

Para pelaut zaman dulu memang harus siap bertaruh nasib. Sebagai kapal perang yang harus berlayar berbulan-bulan serta di perjalanan mungkin sekali bertemu musuh atau bajak laut, Batavia membawa 180 prajurit dilengkapi 32 pucuk meriam.

"Meriam" cuma pelontar bola api besi dengan sasaran efektif 20 m. Di masa kini itu tidak mengesankan karena "peluru"-nya tidak bisa meledak, dan maksimal hanya meremukkan dinding kapal musuh. Untuk menembakkan pun perlu waktu lama. Selain karena peluru harus diisikan dari moncong meriam, sebelum diledakkan dengan mesiu yang disulut api, tiap kali menembak perlu hati-hati. Kalau terburu-buru, meriam bisa pecah berantakan.

Zaman itu meriam memang tidak meletus puluhan kali tanpa henti. Berbeda dengan penggambaran dalam film, di mana meriam kapal kuno mampu riuh menembakkan pelurunya.

Di kapal itu para prajurit yang bernasib paling malang. Tugas utama mereka yang berperang bila Batavia bertemu musuh. Agar tak berselisih dengan para pelaut, mereka dikurung di bawah geladak bersama meriam. Ruangan mereka amat tidak nyaman, langit-langitnya cuma setinggi 1,5 meter. Sepanjang pelayaran, tentu mereka harus duduk berjongkok atau berbaring sambil menghabiskan waktu.

Untuk 340 penumpang dan ABK pun cuma ada empat kamar kecil. Hanya ruang nahkoda yang pantas, artinya dilengkapi kamar tidur pribadi.

Pembagian strata masyarakat di kapal pun amat mencolok. Siang hari meja besar ruang nahkoda untuk menggelar peta dan berdiskusi. Malamnya menjadi meja makan mewah untuk para perwira. Mereka bersantap dalam pakaian lengkap dan etiket resmi, menikmati sajian di piring perak atau gelas kristal.

Sebaliknya, pelaut dan prajurit yang di atas atau bawah geladak, harus makan beramai-ramai, satu piring kayu untuk berenam. Menunya nyaris tak berubah selama melaut, roti keras plus daging asin, karena terlalu lama dalam pengawetan.

Belum lagi bahaya jatuh ke laut. Setiap kapal layar, apalagi ukuran besar, selama berlayar tidak pernah bisa berhenti. Kapal tidak mungkin berhenti, mundur, atau berbalik, apalagi hanya untuk memungut yang bernasib sial itu.

Jangan pula membayangkan menemukan peta lengkap, serta radio. Alat penduga jarak serta pelacak mata angin pun selalu kurang akurat. Maka, tiap kali nakhoda keliru menghitung posisi kapal, terutama saat menentukan kapan harus berbelok di tengah Samudera Hindia, tiupan angin serta arus laut bisa mengacaukan rute pelayaran dan mengempaskannya ke batu karang.

Drama menjelang fajar

"... Sekitar dua jam sebelum fajar menyingsing, mendadak terasa guncangan hebat, disusul gemuruh keras sekali. Saya meloncat dari kabin sambil melirik catatan di meja. Tertulis, Senin 4 Juni 1929, posisi kapal 28 - 28,5° Lintang Selatan," demikian laporan kecelakaan tulisan Pelsaert, terbit tahun 1647 dalam judul Ongeluckige Vojagie Van’t Schip Batavia, Nae de Oost-Indien (Pelayaran Naas Kapal Batavia Ketika Menuju India Timur).

Ternyata kerusakan kapal jauh lebih parah dari dugaan. "Kapal menabrak batu karang, sebagian dindingnya jebol, 40 orang hilang, air laut mengalir masuk, menyebabkan Batavia pecah dua, dan perlahan tenggelam…”

Musibah akibat kesalahan manusiawi belaka. Nakhoda Jacobsz mabuk, ditambah petugas anjungan lalai. Gemerlap gugusan pulau karang di cuaca cerah, disangka pantulan sinar bulan di permukaan air. Akibatnya fatal, Batavia melaju menghantam karang, di lokasi yang kini dikenal sebagai wilayah perairan Kepulauan Houtman Alborhos, lepas pantai Australia Barat.

Setelah mengamati kerusakan, Pelsaert berprakarsa mencari pertolongan dengan naik perahu ke Pulau Jawa, sekitar 900 mil laut arah utara. Itu dilakukan sesudah percobaan pelayaran ke timur hanya menemukan, "Daratan tandus misterius tanpa sumber air."

Dia keluru. Kalau saja terus berlayar ke timur, Pelsaert akan menemukan benua baru, satu abad mendahului pelaut Inggris Kapten James Cook yang mendarat di Teluk Botany, Australia Utara. Bisa-bisa Pelsaert yang tercatat sebagai "penemu" Australia.

Pelsaert pergi dengan membawa kekhawatiran. Mencari pertolongan dengan cuma membawa 47 eks penumpang Batavia. Sebanyak 268 penumpang terpaksa ditinggal di lokasi kecelakaan.

Kekhawatirannya beralasan sebab komplotan Jeronimus Cornelisz, seorang pedagang, ingin menguasai muatan kapal. Begitu Pelsaert pergi, Cornelisz mengangkat diri sebagai "gubernur" dan meneror sisa penumpang Batavia. Sebagian prajurit menyelamatkan diri ke pulau terdekat. Tapi, yang tidak sempat lari disiksa dan dibunuh. Sebanyak 96 nyawa melayang.

Di luar dugaan, hanya 22 hari berlayar Pelsaert tiba di Nusakambangan, Jawa Tengah, dan dan langsung meminta pertolongan ke Batavia. Dengan menumpang kapal kecil, 17 September 1629 Pelsaert tiba di lokasi kecelakaan. Selain menyelamatkan penumpang, dia bertugas melucuti pemberontak.

Sesuai hukum VOC, dilangsungkan sidang di tempat dengan keputusan, tujuh tersangka dijatuhi hukuman gantung. Si pemimpin, "Gubernur” Cornelisz, mendapat hukuman paling berat. Selain naik tiang gantungan paling awal, kedua tangannya dipenggal sebelumnya.

Sejarah memang sering pahit. Hanya 154 penumpang Batavia yang selamat tiba di Batavia. Sedangkan seluruh muatannya hampir tiga abad terkubur di dasar laut. Selama ratusan tahun musibah Batavia dan muatannya memicu minat para pelacak sejarah dan pemburu harta karun. Namun, lokasi musibah tidak ditemukan, sampai tahun 1950 disingkapkan sejarawan Henrietta Drake-Brockman.

Namun, akibat kesulitan teknis, baru 13 tahun kemudian dimulai penyelamatan terhadap sekitar 15.000 artefak eks Batavia. Kini semua koleksi berharga itu, termasuk calon Pintu Gerbang Pelabuhan Batavia, dikoleksi Western Australian Maritime Museum di Fremantle, Selatan Perth, Australia Barat. (Julius Pour).

Artikel Terkait