[Cukilan Buku Majalah Intisari, September 1988]
Di dunia real estate nama Trump sudah lama tidak asing lagi. Nama Trump tiba-tiba mencuat setelah ia berhasil memindahkan ring tinju tempat Mike Tyson berlaga dengan Michael Spinks dari Las Vegas ke Trump Plaza di Atlantic City. Apa latar belakang Trump, dapat Anda baca dari cukilan buku Trump, the Art of the Deal karya Donald J. Trump dan Tony Schwartz.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sejak masih kecil saya sudah tertarik pada dunia bisnis. Ayah, Fred Trump, pengusaha yang bergerak di bidang rumah sewa di Queens dan Brooklyn, New York. Walaupun ia cukup sukses, saya tak mau meniru jejaknya. Habis, di bidangnya untuk mendapat satu dolar saja kita harus ngotot.
Walaupun demikian, dia orang yang paling besar pengaruhnya terhadap saya. Anehnya, hubungan saya dengan ayah hampir-hampir seperti hubungan bisnis. Kadang-kadang saya sampai bertanya-tanya, seandainya saya bukan orang yang begitu menggemari dunia bisnis, mungkinkah hubungan kami dapat seakrab ini?
Ketika masih di SD saya sudah agresif dan berani tampil. Malah di kelas dua saya pernah memukul guru musik, berhubung saya pikir ia tidak tahu apa-apa tentang musik. Tentu saja akibatnya saya hampir dikeluarkan dari sekolah. Sampai sekarang keagresifan saya tidak berubah, namun kini saya lebih suka menggunakan otak daripada tinju.
Di masa remaja, saya tergolong tukang bikin gara-gara. Entah kenapa, saya senang sekali bikin ribut. Saya senang menguji orang. Dalam pesta-pesta ulang tahun saya melempari orang dengan balon berisi air atau remasan kertas.
Ketika berusia tiga belas tahun, saya dimasukkan ke sekolah militer. Kelas delapan saya melanjutkan ke New York Military Academy. Sebenarnya tindakan ayah memasukkan saya ke tempat itu benar juga, karena saya jadi banyak belajar berdisiplin dan belajar menyalurkan sifat agresif ke arah yang positif. Di tingkat tiga, saya terpilih menjadi kapten semua kadet dan pernah diangkat menjadi kapten regu baseball.
Di akademi itu prestasi saya cukup lumayan. Memang saya beruntung, karena sebenarnya saya tidak pernah amat tertarik pada sekolah. Bagi saya sekolah hanya tahap pendahuluan dari masa hidup yang sesungguhnya.
Batal menjadi bintang film
Boleh dikatakan sejak dapat berjalan, saya sudah ikut ayah berkunjung ke site (lokasi pembangunan). Di sana adik saya, Robert, dan saya berburu botol-botol limun kosong yang nantinya akan kami tebus ke toko. Dengan demikian kami mendapat uang. Di masa remaja pun, jika sedang berlibur di rumah, saya ikut ayah melihat-lihat bisnisnya dari dekat.
Di lingkungan bisnis ayah, kita baru bisa sukses kalau menunjukkan sikap yang keras dan tegas. Supaya bisa tetap untung, biaya harus selalu ditekan. Itulah sebabnya ayah selalu sangat memperhatikan harga.
Entah berhadapan dengan pemasok Obat gosok lantai atau dengan kontraktor umum untuk proyek besar, ayah sama telitinya. Ia mengetahui harga semua barang, sehingga tahu sampai di mana ia dapat mendesak pihak yang mengajukan penawaran.
Setelah lulus dari New York Military Academy pada tahun 1964, saya coba-coba masuk ke sekolah bintang film di University of Southern California. Saya tertarik pada gemerlap dunia film dan saya pengagum Darryl Zanuck (pendiri Twentieth Century Fox), Sam Goldwyn dan terutama Louis B. Mayer (keduanya pendiri MGM). Namun, akhirnya saya memutuskan bisnis real estate jauh lebih menguntungkan.
Langkah pertama, saya masuk ke Fordham University di Bronx, berhubung sekolah itu dekat ke rumah. Dua tahun kemudian saya mendaftarkan diri ke Wharton School of Finance di University of Pennsylvania.
Ternyata saya diterima. Waktu itu jika ingin terjun ke bisnis, Wharton-lah tempatnya. Harvard Business School memang menghasilkan manajer yang hebat, namun, Wharton-lah sekolah untuk orang-orang berjiwa entrepreneur sejati.
Mungkin hal paling penting yang saya peroleh dari sana adalah bahwa sebaiknya kita tak perlu terlalu mengagung-agungkan prestasi akademik. Ketika saya lulus, saya sadar bahwa gelar belum membuktikan banyak hal. Tetapi banyak juga orang yang cukup terpengaruh oleh gelar saya dari Wharton yang sangat bergengsi.
Awas, kena tembak!
Begitu lulus, saya pulang dan bekerja full time pada ayah. Saya tetap belajar banyak, tetapi kira-kira di masa inilah saya mulai berpikir-pikir untuk mencari alternatif lain. Bagi pemula, dunia bisnis ayah benar-benar keras. Pernah saya berkeliling bersama petugas penagih uang sewa.
Menghadapi orang yang tidak mau membayar, ukuran tubuh lebih berbicara daripada otak. Kalau akan menagih uang sewa, kami tidak akan berdiri di depan pintu pada saat mengetuk. Kami harus berdiri merapat ke dinding, cuma tangan saja yang dijulurkan untuk mengetuk pintu.
Ketika pertama kali diberitahu mengenai hal ini, saya bilang, "Untuk apa?" Petugas kolektor menatap saya, seolah-olah saya gila. Ia menerangkan bahwa salah-salah kita bisa kena tembak dari dalam. Kalau dari pinggir, paling-paling tangan yang kena peluru.
Ada pula penghuni apartemen yang lebih suka membuang sampah ke luar jendela daripada repot-repot memasukkannya ke mesin pembakar sampah.
Singkat kata, saya ingin keluar dari bisnis ayah karena bisnis ini keras dan kasar. Saya lebih menyukai bisnis yang anggun dan mewah. Agaknya selera itu saya warisi dari ibu. Meskipun ia ibu rumah tangga yang sangat tradisional, ia menyukai hal-hal yang dramatis dan megah. Saya masih ingat, ibu saya yang keturunan Skot itu pernah terpaku seharian di depan televisi untuk menonton upacara pengangkatan Ratu Elizabeth. Ayah lain. Ia lebih menomorsatukan kemampuan kerja dan efisiensi.
Masuk klub orang-orang top
Sejak lulus dari Wharton pada tahun 1968, mata saya sudah mengincar tanah dan bangunan di Manhattan. Waktu itu pasar properti sedang ramai, sehingga harga-harganya tidak terjangkau oleh kantong saya. Ayah sebetulnya kaya, tetapi ia bukan orang yang membekali anak-anaknya dengan dana besar-besaran.
Ketika saya lulus, kekayaan saya kira-kira 200 ribu dolar AS. Itu pun sebagian besar tertanam di gedung-gedung di Brooklyn dan Queens. Jadi sementara terus bekerja pada ayah, saya menunggu saat yang tepat sambil semakin banyak menghabiskan waktu di Manhattan.
Tahun 1971, akhirnya saya memutuskan menyewa sebuah apartemen di sana. Apartemen itu sebenarnya sebuah studio. Pemandangan yang tampak dari jendelanya cuma tangki air gedung sebelah. Bagaimanapun saya berusaha, apartemen itu tetap saja tampak kecil, suram dan kuno. Walau demikian saya senang sekali pada apartemen itu.
Gara-gara tinggal di Manhattan, saya jadi kenal dengan daerah ini. Saya tahu mana property yang baik. Saya menjadi anak kota, bukan lagi anak pinggiran dari Queens.
Salah satu hal yang pertama saya kerjakan adalah mendaftarkan diri ke Le Club. Waktu itu klub ini paling top dan mungkin paling eksklusif di Manhattan. Di Le Club Anda mempunyai peluang besar bertemu dengan orang-orang kaya.
Maka suatu hari saya menelepon Le Club. Saya mengatakan, "Nama saya Donald Trump. Saya ingin menjadi anggota klub Anda." Orang yang menerima telepon cuma tertawa.
"Anda pasti bergurau," katanya.
Memang, waktu itu siapa sih yang kenal dengan Donald Trump? Keesokan harinya saya menelepon lagi. Saya bertanya, "Boleh saya minta daftar anggotanya?"
Jawabnya, "Maaf, tidak." Telepon ditutup.
Keesokan harinya saya menelepon lagi. Saya bilang, "Saya perlu menghubungi direktur Le Club. Saya ingin mengirimkan sesuatu kepadanya."
Entah kenapa, ia memberikan nama direkturnya berikut nomor telepon kantornya. Maka saya telepon beliau. Dengan sopan sekali saya berkata, "Nama saya Donald Trump. Saya ingin menjadi anggota Le Club."
"Anda mempunyai sanak famili atau kawan di klub?"
"Tidak, saya tidak kenal siapa pun."
"Apa yang membuat Anda berpikir bahwa Anda selayaknya diterima sebagai anggota?"
Maka berbicaralah saya panjang-lebar sampai akhirnya ia mengatakan, "Kedengarannya Anda anak muda yang baik. Mungkin ada baiknya kami menerima anggota muda. Bagaimana kalau kita bertemu untuk minum-minum di Twenty-one?"
Besok malamnya kami bertemu. Sebenarnya saya tidak suka minuman keras dan bukan orang yang betah duduk mengobrol berlama-lama. Orang ini, sebaliknya, suka sekali minum dan ia membawa kawan yang sama doyannya. Selama dua jam kami duduk-duduk. Mereka minum dan saya tidak. Akhirnya saya mengatakan, "Hei, bagaimana kalau saya antarkan kalian pulang?" Mereka cuma bilang, "Ah, satu gelas lagi dong."
Nah, saya tidak biasa demikian. Ayah orang yang amat disiplin. Setiap hari ia sampai di rumah pukul 19.00, kemudian makan malam, membaca koran, menonton acara berita di TV dan selesailah acara hari itu.
Saya sama disiplinnya. Dengan demikian saya jadi berpikir-pikir, apakah semua orang yang sukses di Manhattan peminum berat. Kalau memang demikian, wah, untung buat saya. (Ayah dan saya menjauhi minuman, mungkin karena kakek saya yang keturunan Swedia itu dulunya peminum, Ia meninggal ketika ayah baru berusia sebelas tahun, sehingga ayah harus hidup sederhana.)
Baru kira-kira pada pukul 22.00, kedua orang ini puas. Boleh dikata saya hampir-hampir harus menggotong mereka pulang. Dua minggu lewat, tidak juga datang kabar dari sang direktur. Akhirnya saya menelepon dia lagi. Nah, ia sudah tak ingat lagi siapa saya! Terpaksalah saya mengulangi lagi prosedur minum-minum di Twenty-one. Untunglah kali ini ia tidak minum sebanyak dulu.
Ia setuju menerima saya sebagai anggota, tetapi dengan satu pesan: jangan merebut istri orang.Hampir saya tidak mempercayai pendengaran saya. Ibu saya sepenuhnya setia kepada ayah - malah belum lama ini mereka merayakan pesta emas perkawinan. Bagaimana saya tidak terheran-heran mendengar orang ini membicarakan soal merebut istri orang?
Sebuah "gudang" di Manhattan
Ternyata keputusan ini merupakan langkah besar bagi saya, baik secara sosial maupun profesional. Di sana saya berkenalan dengan banyak wanita lajang yang cantik-cantik. Setiap malam saya keluar.
Namun, saya tidak pernah membina hubungan serius. Mereka memang cantik, tetapi banyak yang tidak dapat diajak bercakap-cakap secara normal. Tak berapa lama saya pun sadar bahwa tak mungkin saya mengajak mereka ke apartemen saya. Soalnya, menurut standar mereka, bisa-bisa apartemen saya dianggap gudang!
Tentu kegunaan masuk Le Club itu bukan cuma untuk bertemu wanita cantik. Di sana saya berkenalan dengan banyak orang dan mengetahui berbagai macam property, tetapi saya tidak juga menemukan yang sesuai dengan kondisi kantung saya. Mendadak di tahun 1973 ekonomi di Manhattan menyuram.
Lesunya pasar real estate, sebagian gara-gara pemerintah federal menghentikan subsidi untuk perumahan, tingkat suku bunga naik dan terjadi inflasi terutama dalam biaya konstruksi. Namun, masalah yang paling utama sebenarnya Kota New York itu sendiri. Utangnya semakin gede!Orang-orang mulai membicarakan kemungkinan New York bangkrut. Tak lama kemudian New York mulai tidak dipercaya orang.
Jelas ini bukan suasana yang mendorong pembangunan perumahan ataupun gedung baru. Izin pembangunan yang dikeluarkan New York City merosot drastis dari sekitar 15.000 di tahuri 1973 menjadi 6.000 di tahun 1974. (Kedua-duanya menurut catatan sampai bulan September.) Saya cukup khawatir dengan New York, tetapi tidak berarti saya pesimis. Masalah yang muncul di kota ini justru membuka peluang berharga bagi saya.
Salah satu properti yang sudah lama saya incar adalah tanah bekas tempat langsir gerbong di tepi Sungai Hudson. Tanah yang tersia-sia itu amat luas, terbentang dari 59th Street sampai 72th Street. Setiap kali bermobil di sepanjang jalan raya tepi barat sungai, saya selalu membayang-bayangkan bangunan apa yang dapat dibangun di situ.
Tak perlu menjadi genius untuk membayangkan bahwa 40,47 ha tanah kosong di pinggir sungai di Manhattan mempunyai potensi yang amat besar. Namun, bagaimana merealisasikannya di saat ekonomi begitu lesu adalah soal lain. Meski demikian, saya yakin tak ada salahnya membeli sebuah lokasi yang bagus dengan harga murah.
Pada waktu itu, lingkungan di sekitar tepi barat Hudson dipandang daerah yang berbahaya. Di sepanjang jalan-jalannya berceceran hotel-hotel gratis untuk para gelandangan dan di taman-tamannya beroperasi para penjaja obat bius.
Suatu hari pada musim panas 1973, saya membaca artikel tentang Penn Central Railroad. Perusahaan angkutan kereta api ini sedang menghadapi bangkrut berat. Penn Central telah menyewa jasa sebuah perusahaan yang dipimpin oleh Victor Palmieri untuk menjual aset-asetnya. Nah, ternyata di antaranya adalah lapangan terbengkalai di daerah jalan-jalan West Sixties dan West Thirties.
Setiap kali Victor berhasil menjualkan aset, ia bakal menerima komisi dari mereka. Meskipun saya belum kenal Palmieri, serta-merta saya menyadari bahwa orang ini harus buru-buru saya kenal. Saya menelepon kantornya. Saya mengatakan, "Halo, nama saya Donald Trump. Saya ingin membeli tanah lapang di daerah Sixtieth Street." Pendekatan yang paling sederhana seringkali adalah pendekatan yang paling efektif.
Begitu berkenalan dengan Victor, kami segera berkawan baik. Ia orang Italia yang amat menarik dan luwes. Saya katakan kepadanya, bagaimana jeleknya kondisi tanah di 60th Street, bahwa penduduk di sekitarnya "gawat" benar, bahwa Kota New York juga sedang gawat dan bahwa mungkin.
Saya gila berani-berani mempertimbangkan akan membeli tanah itu. Jika Anda ingin membeli sesuatu, sudah tentu akan sangat menguntungkan bila Anda dapat meyakinkan si penjual bahwa barang dagangannya tidak terlalu hebat.
Kedua, saya katakan bahwa saya pasti akan menemui kesulitan secara politis untuk memperoleh persetujuan membangun di tanah itu. Dewan kota pasti akan memprotes keras gagasan membangun apa pun di atas tanah itu. Saya tekankan lagi bahwa proses menghadapi Dinas Tata Kota dan Dewan Estimasi pasti akan bertele-tele.
Hal ketiga yang saya lakukan adalah mempromosikan diri kepada Victor dan kawan-kawan. Berhubung saya belum berpengalaman dan berprestasi, maka yang saya promosikan adalah energi dan antusiasme saya. Mungkin justru yang ketiga inilah yang terpenting.
Penjual mengongkosi pembeli
Victor mengandalkan tenaga manusia dan ia memutuskan akan mencoba saya. Akhirnya ia tidak hanya mengusulkan agar saya membangun tanah di 60th Street, tetapi juga di West 34th Street. Terus terang, mungkin saya agak omong besar waktu itu. Saya tidak mempunyai pilihan lain. Saya baru 27 tahun, belum pernah membangun apa pun di Manhattan, begitu pula ayah.
Bagaimanapun sukanya Victor kepada saya, saya rasa ia tak bakal nekat bekerja sama dengan saya, seandainya ia tidak membayangkan bahwa perusahaan kami besar dan kuat. Ketika saya omong-omong dengan Victor, sebenarnya kami belum mempunyai nama resmi. Saat itu juga saya menamakan perusahaan kami Trump Organization. Kata "organization" itu terdengar hebat. Tak banyak yang tahu bahwa kantor Trump Organization hanya berupa kantor-kantor kecil di Avenue Z di Brooklyn.
Gara-gara berteman dengan Victor sejak awal perkenalan kami, saya tidak saja berhasil menjadi pembeli, namun juga bekerja untuk dia. Kami membuat perjanjian yang memberikan saya hak khusus untuk membeli tanah di 60th Street dan 30th Street. Penn Central setuju akan membiayai ongkos pembangunan gedung yang akan saya dirikan itu. Bayangkan: si penjual mengongkosi biaya yang bakal dikeluarkan oleh si pembeli. Bagaimanapun anehnya, Anda harus ingat bahwa perjanjian itu dibuat pada saat tidak ada orang yang berminat membangun apa pun dan pada saat New York sedang kembang-kempis.
Mengatrol diri sendiri
Semula saya ingin membangun perumahan kelas menengah dengan uang sewa $ 110 - 125 per kamar (murah sekali untuk sekarang, namun untuk masa itu cukup mahal). Tetapi kira-kira setahun setelah saya mempublikasikan rencana pembangunan itu, keadaan ekonomi di New York City malah semakin anjlok, sampai akhirnya pada bulan November 1975 negara bagian New York menyatakan penundaan semua subsidi untuk membangun perumahan kelas bawah dan menengah.
Saya memutuskan mencoba jalan lain. Sejak dulu saya berpendapat West 34th Street adalah lokasi yang tepat sekali untuk sebuah balai sidang. Susahnya, nyaris setiap orang mempunyai gagasan berbeda-beda. Pada waktu itu Kota New York telah menghabiskan waktu tiga tahun dan biaya $ 13 juta untuk proses perencanaan pembangunan sebuah balai sidang di lokasi lain, yaitu di 44th Street.
Sementara saya merekrut tenaga ahli dan tokoh masyarakat untuk mendukung saya, muncul lagi calon site yang lain: di Battery Park City, Manhattan Selatan. Menurut saya, kedua site saingan itu sama jeleknya. Saya ingin membawa "pertempuran" ini ke depan publik. Namun, saya 'kan belum dikenal siapa pun. Jika ingin menarik perhatian khalayak dan mencari dukungan, saya harus mengatrol sosok penampilan saya di masyarakat.
Maka untuk pertama kalinya saya mengadakan konferensi pers. Kami memasang umbul-umbul besar bertuliskan, "Mukjizat di 34th Street". Di depan banyak sekali wartawan, saya katakan bahwa saya dapat membangun balai sidang itu dengan biaya $ 110 juta atau setidak-tidaknya $ 150 juta lebih murah daripada perkiraan pembangunan di 44th Street.
Menghadapi wali kota
Jelas tantangan saya itu membuat sementara orang bengong dan juga menarik perhatian pers. Namun, tidak secuil pun perhatian kami peroleh dari para politisi. Itulah untuk pertama kalinya dan bukan yang terakhir kali saya menemukan bahwa ternyata para politisi tidak terlalu peduli pada biaya.
Toh biaya itu tidak diambil dari kocek mereka sendiri. Hal pertama yang saya gembar-gemborkan di mana pun saya berada adalah bahwa New York perlu membangun sebuah balai sidang. Soalnya, banyak orang bilang, ”Berhubung NY sedang mengalami krisis keuangan, pemecahan yang terbaik adalah: coret saja gagasan itu sama sekali! Menurut pendapat saya, ini justru pikiran picik yang sudah klasik.
Ini dapat disamakan dengan misalnya: penjualan jatuh, lalu orang memotong anggaran untuk iklan. Padahal justru pada saat itulah kita paling membutuhkan iklan. Pembangunan sebuah balai sidang justru akan mengembalikan citra Kota New York, sehingga akhirnya roda perekonomiannya akan kembali berputar lancar.
Ketika sekelompok mahasiswa yang memperoleh kuliah dari anggota dewan kota Robert Wagner mengadakan studi kecil dan menyimpulkan bahwa site sayalah yang terbaik, saya berhasil mendapatkannya dan langsung menamakannya Wagner Report. Sayang, tetap saja si pemilik nama tidak tergugah.
Tidak lama, saya telah memperoleh dukungan dari hampir semua orang, kecuali segelintir orang yang justru memegang kunci. Nah, Abe Beame menduduki peringkat pertama (wali kota), kemudian John Zuccotti (wakil wali kota). Betapa pun saya membeberkan segala kelebihan site saya, ia tidak bergeming. Zuccotti malah menjelek-jelekkan site saya ke seluruh kota. Saya tahu sebabnya.
Ia tidak mau mengakui bahwa ia telah membuang-buang beberapa tahun hidupnya plus jutaan dolar uang rakyat untuk sebuah lokasi yang tidak masuk akal. Itulah persis yang saya katakan di depan umum. Saya serang dia bahwa ia hanya peduli pada kepentingan diri sendiri, bahwa ia picik dan segudang sebutan lain. Dia berang. Pertengkaran itu mendapat perhatian besar dari media massa. Pada akhirnya hal itu justru berakibat baik bagi site saya. Itu 'kan hanya cara lain saja untuk mempromosikan site saya.
Akhirnya, kami menang juga, gara-gara semua orang kami buat kecapekan. Beame setuju juga, meskipun tidak sampai memberikan tanda tangan. Soalnya, Januari 1978 Ed Koch menggantikan Beame menjadi walikota New York. Memang Koch memerintahkan penelitian kembali, tetapi prosesnya demikian cepat, sehingga April 1978 kota dan negara bagian New York mengumumkan bahwa mereka membeli site saya dan memutuskan akan mendirikan balai sidang di situ.
$ 833.000 untuk nama "Trump"
Sesuai perjanjian, dari Penn Central saya memperoleh kompensasi berjumlah $833.000, berdasarkan harga site itu yang besarnya $ 12 juta. Namun, saya mengusulkan untuk tidak menerima uang itu, asalkan Kota New York setuju akan menamai balai sidang itu dengan nama keluarga saya. Banyak orang yang mengkritik saya karena ini, tetapi saya tidak menyesal. Jika tidak ada keluarga Trump, sampai hari ini New York tidak akan mempunyai balai sidang.
Rupanya Penn Central mempunyai juga beberapa hotel tua yang berdekatan satu sama lama di tengah kota: the Biltmore, the Barclay, the Roosevelt, dan the Commodore. Tiga yang pertama sukses, sehingga harganya pasti lebih mahal dari yang saya inginkan. Tetapi yang terakhir, the Commodore, benar-benar sedang ngos-ngosan. Selain merugi, sudah bertahun-tahun hotel itu menunggak pajak.
Lokasinya di jantung Kota New York dan dekat Stasiun Grand Central. Commodorelah yang mempunyai lokasi terbaik dibandingkan ketiga rekannya. Hari itu juga saya berjalan ke sana. Hotel dan lingkungan sekitarnya sungguh-sungguh bobrok. Namun, sekitar pukul 09.00 saya lihat ribuan orang berpakaian apik membanjiri jalan itu dari Stasiun Grand Central dan dari stasiun kereta api bawah tanah. Ribuan orang kaya bakal melewati lokasi ini setiap hari. Jika saya dapat merenovasi the Commodore, saya yakin hotel ini akan sukses.
Hotel dengan 1.400 kamar
Dalam waktu singkat pokok-pokok kontrak dengan Penn Central untuk the Commodore dapat kami selesaikan. Kira-kira pada saat yang bersamaan, awal 1975, saya mulai mencari perusahaan yang akan mengoperasikan hotel ini. Soalnya, saya baru 27 tahun dan sama sekali buta tentang bisnis perhotelan. Jangankan bisnisnya, menginap di hotel saja hampir-hampir tak pernah.
Padahal hotel yang akan saya bangun ini mempunyai 1.400 kamar (terbesar sejak Hilton 25 tahun sebelumnya). Sejak awal saya sudah condong kepada Hyatt. Hilton bagi saya agak kuno, Sheraton juga. Saya suka pada citra Hyatt. Hotel-hotel mereka biasanya tampak modern, ringan, bersih dan agak gemerlapan. Padahal citra itu yang persis saya inginkan untuk the Commodore.
Apalagi Hyatt kuat sekali dalam penyelenggaraan konvensi, padahal konvensi pasti bisnis yang bagus sekali untuk sebuah hotel di daerah Grand Central. Selain itu, Hilton dan Sheraton telah memiliki hotel di New York City, sehingga mereka tidak terlalu membutuhkan hotel lagi. Sedangkan Hyatt, meskipun di kota-kota besar lain sudah sukses, belum mempunyai hotel di New York. Dengan demikian saya mempunyai peluang lebih besar dalam merundingkan kontrak dengan mereka.
Kejar orang topnya
Akhir 1974 saya menelepon presiden Hyatt, Hugo M. Friend, Jr Kemudian kami bertemu dan ternyata memang benar, Hyatt ingin mempunyai hotel baru. Kami memperbincangkan kemungkinan menjadi rekanan dan segera menyusun kontrak sementara untuk the Commodore yang amat menguntungkan bagi saya. Saya senang sekali dan bangga pada diri sendiri. Dua hari kemudian, Friend menelepon saya. Katanya, "Sorry, kami tidak dapat melakukan kontrak demikian."
Nah, hal begini terulang beberapa kali, sampai seseorang dari Hyatt mengatakan, "Kalau saya boleh usul, berunding-lah langsung dengan Jay Pritzker."
Yang saya tahu hanyalah bahwa keluarga Pritzker adalah pemegang saham terbanyak di Hyatt. Orang Hyatt itu mengatakan bahwa Pritzker-lah sebenarnya yang mengendalikan Hyatt.Saya segera sadar: jika Anda ingin merundingkan kontrak yang penting, Anda harus langsung berbicara dengan orang topnya.
Perundingan dengan Pritzker tidak bertele-tele. Kami setuju bakal menjadi rekanan setara. Saya yang membangun, Hyatt yang akan mengelolanya. Sejak itu, jika ada kesulitan, saya dapat langsung berbicara dengan Pritzker dan hubungan baik ini amat berharga.
Rekanan dengan Hyatt sudah diumumkan kepada publik, gambar rancangan sementara telah dibuat oleh Der, estimasi biaya konstruksi juga telah dibuat, akhirnya tiba saatnya saya harus menghadap bank untuk mencari dana. Ketika itu saya telah mempekerjakan Henry Pearce, pialang real estate dengan keahlian khusus di bidang keuangan.
Pearce sudah berusia hampir tujuh puluh, tetapi energinya melebihi orang-orang muda berusia dua puluhan. Ia gigih sekali. Yang kami datangi adalah para bankir konservatif yang sebagian besar tidak kenal Donald Trump.
Meskipun sebenarnya dalam banyak hal saya lebih konservatif dari Pearce, para bankir ini merasa lebih yakin melihat saya datang bersama pria berambut putih yang sudah lama mereka kenal ini. Sulitnya, kalau kami belum membereskan masalah pendanaan, pemerintah kota tidak berminat mempertimbangkan pemotongan pajak bagi kami.
Sebaliknya, tanpa pemotongan pajak, bank tidak berminat memberi pinjaman, walaupun saya sudah ngoceh panjang-lebar tentang kehebatan Trump Organization. Seperti pemain judi Maka pertengahan 1975 saya melakukan pendekatan kepada pemerintah kota untuk minta pemotongan pajak, walaupun belum mempunyai dana. Senjata saya hanyalah Kebijakan Perangsang Penanaman Modal untuk Bisnis yang baru diberlakukan awal 1975.
Orang lain pasti geli melihat kenekatan saya. Kami seperti dua orang penjudi yang sama-sama tidak mempunyai kartu bagus, sehingga senjata kami hanyalah bualan. Pihak pemerintah kota sangat ingin merangsang pembangunan, sedangkan saya sudah sampai taraf tanggung. Jika mundur, saya malu.
Pihak pemerintah kota akhirnya setuju akan memotong total pajak properti selama empat puluh tahun plus pengaturan yang lain yang cukup rumit. Namun, semua itu harus disetujui dulu oleh Dewan Estimasi.
Seminggu sebelum dewan itu merapatkannya, saya datangi Palmieri. Saya bilang, jika ia ingin pemerintah kota serius mempertimbangkan pemotongan pajak bagi kami, kami harus menunjukkan bahwa the Commodore benar-benar sedang sekarat dan benar-benar akan ambruk. Palmieri setuju.
Dia mengumumkan bahwa Penn Central baru saja merugi lagi sebanyak $ 1,2 juta selama tahun 1975 akibat the Commodore dan bahwa mereka memperkirakan kerugian lebih besar pada tahun 1976. Akibatnya, hotel itu akan ditutup untuk selama-lamanya tidak lebih dari 30 Juni 1976.
Desak terus!
Dewan Estimasi mengambil suara untuk kasus saya sampai tiga kali, tetapi tidak juga mengambil keputusan, padahal oposisi semakin keras menentang usaha saya. Yang paling keras tentu saja suara saingan-saingan sesama pemilik hotel.
Tetapi gongnya adalah ketika pada tanggal 12 Mei 1976 Palmieri mengumumkan akan menutup the Commodore dalam waktu enam hari, persis satu hari sebelum dewan bertemu untuk keempat kalinya. Para kritikus mengatakan itu taktik kami untuk menekan, tetapi 'kan Penn Central telah mengumumkan rencana penutupan itu enam bulan sebelumnya?
Sementara itu, tingkat human the Commodore merosot dan 46% menjadi 33%. Kerugian tahun 1976 diperkirakan $ 4,6 juta. Pada tanggal 19 Mei, koran-koran lokal memuat berita utama tentang para penyewa terakhir the Commodore yang pindah dari situ, tentang ratusan karyawan yang kini sibuk mencari pekerjaan baru. Jelas, kisah-kisah itu membantu saya.
Keesokan harinya dewan mengambil suara. Hasilnya: 8 lawan 0 memberikan program pemotongan pajak penuh selama empat puluh tahun. Pemotongan itu artinya penghematan puluhan juta dolar bagi saya! Walaupun dengan pemotongan pajak, dengan susah payah barulah akhirnya kami memperoleh dana dari dua buah bank.
Istri ikut mengontrol
Grand Hyatt diresmikan pada bulan September 1980. Hotel itu menjadi "hit" sejak awal. Keuntungan kotornya lebih dari $ 30 juta setahun. Sebenarnya kini tugas saya telah selesai. Namun, berhubung saya pemilik 50% saham dan saya bukan tipe orang yang masa bodoh, kadang-kadang saya kirim salah seorang eksekutif saya (tetapi lebih sering istri saya sendiri) untuk datang ke sana dan melihat-lihat.
Pejabat-pejabat di sana ternyata kurang senang. Suatu hari saya ditelepon oleh Patrick Foley, pemimpin seluruh hotel-hotel Hyatt. Katanya, kalau istri saya datang ia memeriksa sana-sini dan segera menyuruh orang menyapu jika ditemukan debu atau menyuruh orang menyeterika seragamnya jika nampak kusut. Manajer Hyatt di New York kurang senang karena di hotel dengan 1.500 karyawan 'kan harus ada jalur kekuasaan yang jelas.
Saya tidak menyangkal bahwa ini merupakan masalah. Namun, selama saya memiliki 50% saham di hotel ini, saya tidak akan berpura-pura menganggap semua beres, jika kenyataannya memang ada yang tidak beres. Itulah jawaban saya. Akhirnya Pat mengganti orang itu dengan manajer lain yang sama-sama berasal dari Eropa Timur seperti istri saya dan menurut Pat sangat luwes. Benar juga.
Kasino terbesar di dunia
Pertama kali saya menyadari betapa menguntungkannya bisnis kasino, adalah ketika saya sedang bermobil menuju meja perundingan untuk Commodore Hotel. Di radio saya mendengar berita bahwa karyawan hotel-hotel di Las Vegas, Nevada, baru saja memutuskan akan mengadakan pemogokan.
Salah satu akibatnya, harga saham hotel-hotel Hilton (Hilton memiliki dua kasino di Las Vegas) turun drastis. Saya tercenung. Bagaimana mungkin, saham dari perusahaan yang memiliki paling tidak seratus hotel di seluruh dunia dapat jatuh hanya gara-gara pemogokan di dua hotel?
Ternyata, meskipun Hilton memiliki lebih dari 150 hotel di seluruh dunia, dua hotel kasinonya di Las Vegas memberikan hampir 40% laba bersih perusahaan itu. Bandingkan dengan New York Hilton (salah satu hotel terbesar di Manhattan dan yang selalu saya anggap amat berhasil) hanya menyumbangkan 1% saja dari seluruh laba Hilton!
Yang saya lakukan setelah itu adalah pergi berkunjung ke Atlantic City di New Jersey. Ketika itu sedang akan diadakan pemungutan suara untuk menghalalkan perjudian di New Jersey hanya di Atlantic City.
Ini cukup berharga untuk dicek. Memang saya tidak pernah memandang judi sebagai masalah moral yang besar. Alasan-alasan untuk menolak perjudian seringkali hanya dibuat-buat. New York Stock Exchange, kantor pusat saham di New York itu sebenarnya kasino terbesar di dunia.
Meskipun Atlantic City sebuah kota pantai yang cuma menampakkan puing-puing sisa, kejayaannya ketika dulu menjadi kota liburan, berita tentang kemungkinan perjudian bakal dihalalkan di sana langsung membuat harga tanah di sana meroket.
Rumah mungil yang setahun sebelumnya hanya laku $ 5.000 mendadak ditawar seharga $ 300.000, $ 500.000 bahkan $ 1 juta. Saya menunggu sampai referendum itu gol. Itu terjadi pada bulan November 1976 dan diresmikan menjadi undang-undang pada pertengahan 1977. Tetapi harga tanah di Atlantic City melonjak jauh melebihi perkiraan saya. Maka saya menunggu lagi sambil pasang mata dan telinga.
Sulit justru menarik
Hampir tiga tahun kemudian, pada musim dingin 1980, saya ditelepon arsitek yang memang saya suruh melihat-lihat di Atlantic City. Katanya, di Boardwalk ada sebidang tanah yang menarik. Tanah seluas kira-kira 4 ha itu terletak di tengah-tengah Boardwalk, di tepi jalan raya Atlantic City Expressway yang langsung masuk kota. Site itu persis bersebelahan dengan balai sidang, yang waktu itu satu-satunya tempat paling luas di seluruh kota yang digunakan untuk konvensi dan pusat hiburan besar.
Saya yakin, tidak ada site untuk kasino yang lebih baik daripada ini. Namun, lokasi ini terkenal sebagai lokasi yang paling sulit dipersatukan. Status tanahnya benar-benar memusingkan karena terdiri atas bagian-bagian yang dikuasai orang yang berbeda-beda. Semua pengacara dan pialang real estate menasihati saya agar mencari lokasi lain yang telah rapi.
Tetapi saya mempunyai beberapa alasan untuk tetap pada pilihan saya: satu, saya selalu menomorsatukan lokasi. Kedua, saya justru senang pada kontrak yang rumit, bukan saja karena lebih menarik, tetapi juga karena lebih besar kemungkinannya saya bisa memperoleh harga yang bagus. Setelah bersusah payah, akhirnya saya berhasil membeli tanah itu utuh pada bulan Juli 1980.
Kini giliran mengusahakan dana, izin arsitektural dan lisensi sebagai pengelola kasino. Hal pertama yang saya lakukan adalah mempekerjakan Nick Ribis. Saya menyukai gaya pengacara ini. Waktu itu ia berumur sekitar tiga puluh, namun penampilannya jauh lebih muda. Nick dan saya segera bersepakat pada satu hal: saya baru akan memulai pembangunan, bila sudah ada kepastian lisensi.
Karena proses permintaan lisensi dapat sama lamanya dengan waktu untuk membangun, perusahaan lain biasanya segera mulai membangun bersamaan dengan pengajuan permohonan lisensi. Namun, saya tidak. Saya tidak ingin mempertaruhkan beberapa ratus juta dolar. Di samping itu, dengan mulai membangun saya akan berada pada posisi yang lemah dalam negosiasi dengan Komisi Pengendalian Kasino. Bagaimana saya bisa bilang 'tidak' terhadap tuntutan mereka, jika saya telah terlanjur menanamkan banyak yang di situ?
Kartu truf saya adalah bahwa pada saat itu tidak ada lagi orang yang mau membangun kasino di saja. Banyak peminat membangun kasino berantakan rencananya gara-gara dihadang masalah dana, tidak mendapat lisensi atau ngeri melihat biaya pembangunan yang begitu besar. Reputasi Atlantic City juga rusak gara-gara kasus korupsi yang dituduhkan FBI.
Waktu itu saya sudah mengajak adik saya, Robert, untuk bekerja sama. Soalnya, proyek ini akan memakan biaya kira-kira 200 juta dolar AS, padahal saya tak mungkin terus nongkrong di Atlantic City. Saya membutuhkan orang yang sepenuhnya kompeten, jujur dan setia untuk mengawasi proyek itu. Pada Februari 1981, Robert, Nick Ribis, dan saya berangkat ke New Jersey untuk bertemu dengan jaksa agung New Jersey dan kepala urusan bisnis perjudian.
Jaksa agung menyangkal bahwa mereka senang mempersulit proses pemberian lisensi. "Pokoknya, asalkan Anda bersedia bekerja sama penuh, kami akan dapat memberikan jawaban dalam enam bulan," demikian katanya.
Direktur yang rupanya ingin main tarik-ulur terpaksa setuju, setelah saya berkata lebih baik mundur daripada menunggu sampai setahun seperti yang dikatakannya.
Kecele
Berikutnya, "yang harus kami hadapi adalah staf Komisi Pengendalian Kasino. Untuk membangun kasino, kami harus memperoleh persetujuan dalam segala hal, dari ukuran ruangan sampai denah keseluruhan, dari jumlah restoran sampai besar-kecilnya ruangan untuk klub olahraga.
Kami memang berniat memberikan rencana pembangunan itu sampai serinci mungkin sebelum pembangunan dimulai. Dengan demikian staf komisi dapat memberitahu kami apa saja yang perlu diubah, sebelum kami mulai membangun.
Hampir enam bulan kemudian, 16 Oktober 1981, divisi perjudian menyatakan Robert dan saya sepenuhnya bersih dan layak untuk. diberi lisensi. Suatu pagi di bulan Juni, Michael Rose menelepon. Yang saya tahu hanyalah bahwa ia presiden direktur rantai perhotelan Holiday Inns. Ia memperkenalkan diri dan mengatakan ingin berkunjung. Saya tidak repot-repot bertanya untuk apa.
Saya tahu, dia pasti berminat membeli Barbizon-Plaza, Hotel. Soalnya, saya yakin Holiday Inns sedang mencari lokasi bergengsi di New York dan beberapa waktu sebelumnya saya sudah menyebar berita di kalangan orang-orang real estate bahwa kalau harganya cocok, saya ingin menjual Barbizon-Plaza.
Seminggu kemudian, Mike Rose tiba. Ia tinggi, rapi dan sangat gentleman. Saya langsung ngoceh panjang-lebar tentang Barbizon-Plaza Hotel. Ternyata saya kecele. Yang ia inginkan adalah menjadi mitra dalam proyek kasino di Atlantic City!
Rose mengajukan penawaran begini: kami membangun hotel-kasinonya, mereka yang akan mengelolanya. Keuntungan dibagi rata. Selain itu mereka akan menanamkan dana sebesar $ 50 juta untuk pembangunan. Mereka juga akan segera memberi ganti sebagian biaya konstruksi sampai saat itu sebesar $ 22 juta.
Kami bersepakat bahwa mereka yang akan mengusahakan dana dari bank dan menggunakan Holiday Inns untuk menjadi jaminan dalam memperoleh bunga sebagus mungkin. Holiday Inns memberikan garansi selama lima tahun pertama jika terjadi kerugian dan mereka akan memberikan sejumlah besar uang sebagai ongkos membangun.
Kurangi satu engsel
Ini benar-benar kontrak yang hampir-hampir sulit dipercaya! Demikianlah, setelah Rose memperoleh persetujuan dari dewan direksinya, kami mulai. Anggaran kami $ 220 juta: $ 50 juta langsung dari kocek mereka, sisanya dari dana pinjaman bank atas jaminan Holiday Inns.
Proyek ini direncanakan bakal selesai Mei 1984, tetapi saya yakin kami akan selesai sebelum itu. Salah satu cara kami menghemat adalah dengan apa yang disebut value engineering. Misalnya arsitek Anda mengusulkan penggunaan sebuah pintu dengan empat engsel. Sebelum Anda memberikan persetujuan, suruhlah insinyur Anda memberikan penilaian.
Misalkan ia mengatakan, "Oh, pintu ini sebenarnya hanya membutuhkan dua engsel. Atau tiga bolehlah, jika ingin sip." Nah, kita buang satu engsel. Memang satu engsel hanya $ 10 harganya, namun berhubung bangunan yang akan kita bangun membutuhkan dua ribu pintu semacam itu, penghematan yang kita lakukan mencapai $ 20.000, hanya untuk satu jenis barang sepele.
Cara menghemat kami yang kedua adalah dengan menyusun perencanaan yang sangat lengkap, sehingga kontraktor dapat mengajukan penawaran untuk setiap aspek pekerjaan. Jika perencanaan kita kurang lengkap, kontraktor yang lihai akan sengaja memurahkan penawarannya dengan harapan di tengah pekerjaan nanti akan banyak perubahan-perubahan dan di situlah ia akan mengambil untung besar.
Ketika itu hanya ada satu proyek kasino yang sedang dibangun di Atlantic City. Oleh karenanya, ribuan buruh bangunan sedang menganggur atau menghadapi habisnya kontrak kerja begitu proyek itu selesai. Akibatnya kami berada di posisi yang menguntungkan dalam membuat kontrak kerja dengan mereka. Ini sebab ketiga kami dapat berhemat.
Gedung itu selesai tepat pada waktunya dan diresmikan 14 Mei 1984, tepat sebelum hari Pahlawan, satu dari tiga hari libur besar bagi bisnis kasino di AS. Saya juga berhasil menekan biaya sedikit menjadi $ 218 juta, lebih murah $ 2 juta dari yang dianggarkan. Inilah hotel-kasino pertama di Atlantic City yang dibangun sesuai anggaran dan selesai menurut jadwal.
Jutaan dolar dalam delapan minggu
Sejak hari pembukaan kasino ini diserbu pengunjung. Semua orang sudah tahu bahwa Holiday Inns dan saya mempunyai banyak perbedaan pendapat tentang kebijaksanaan pengelolaan hotel-kasino itu. Namun, sesuai dengan perjanjian yang akhirnya kami sepakati bersama, saya tidak akan membuat pernyataan apa pun tentang konflik tersebut. Pokoknya, Februari 1986 saya membeli semua saham Holiday Inns di hotel-kasino kami. Saya menyewa tenaga general manager baru untuk hotel-kasino yang sudah saya ganti namanya menjadi Trump Plaza Hotel and Casino.
Tahun 1985, di bawah manajemen Holiday Inns keuntungan kotor hotel-kasino kami kira-kira $ 35 juta. Keuntungan kotor tahun 1986 diperkirakan $ 38 juta. Dalam lima bulan tahun 1986 keuntungan mereka sedikit di bawah yang sudah diproyeksikan. Setelah manajemennya kami ambil alih pada tanggal 16 Mei 1986, keuntungan kotor untuk seluruh tahun itu adalah $ 58 juta. Berarti $ 20 juta lebih banyak daripada yang telah diproyeksikan Holiday Inns.
Tahun 1988 kami memproyeksikan keuntungan kotor $ 90 juta. Sebetulnya, ini bisa menjadi akhir kisah tentang hotel-kasino saya ini. Tetapi gara-gara tergiur oleh bagusnya bisnis kasino di bawah manajemen sendiri, mata saya mulai melirik-lirik ingin membeli perusahaan yang memiliki kasino.
Sasaran saya yang pertama justru Holiday Inns. Setelah menjual hotel-kasino di Boardwalk kepada saya, mereka masih memiliki tiga kasino lagi, satu di Atlantic City, dua di Nevada, di samping hampir seribu buah hotel di seluruh dunia.
Akibatnya, pertengahan Agustus 1984 saya mulai membeli saham-saham Holiday. Pada tanggal 9 September saya telah berhasil menguasai hampir 596 dari seluruh saham perusahaan itu atau sekitar satu juta saham. Saya dapat mempertahankan saham itu untuk investasi atau berusaha terus membeli saham-saham, sehingga saya dapat mengendalikan Holiday Inns.
Tidak lama setelah saya mulai membeli, harga saham Holiday naik. Mungkin orang-orang mengira saya sedang berusaha mengambil alih Holiday Inns. Pada awal bulan Oktober harga sahamnya sudah mencapai $ 72, padahal satu setengah bulan sebelumnya baru $ 54.
Pada tanggal 11 November, saya mendengar bahwa Holiday sedang merombak struktur perusahaan untuk mencegah terjadinya pembelian besar-besaran yang bisa mengancam pemilikan perusahaan itu. Mereka juga meminjam $ 2,8 milyar untuk membayar dividen kepada para pemegang saham dengan standar harga satu saham $ 65.
Harga saham langsung melonjak menjadi $ 75. Tanpa ragu sedikit pun saya menyatakan akan menjual saham Holiday saya. Hanya dalam waktu delapan minggu, saya mendapat untung jutaan dolar. Saya mendapatkan kembali sebanyak yang saya keluarkan ketika membeli hak mereka di hotel-kasino kami di Atlantic City.