Kebo bule sebagai benda keramat Keraton Surakarta barangkali banyak yang sudah tahu, tapi rasanya tidak dengan kenapa kebo bule itu diberi nama Kyai Slamet. Kenapa kebo bule diberi nama Kyai Slamet, bukan kyai yang lain, begini ceritanya.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Mengutip situs resmisurakarta.go.id, kebo bule adalah salah satu benda keramat yang menjadi ikon perayaan Malam 1 Suro di kompleks Keraton Surakarta. Dijuluki kebo bule karena kerbau satu ini adalah jenis kerbau albino, warnanya putih.
Saat perayaan atau kirab Malam 1 Suro, kehadiran kebo bule selalu ditunggu-tunggu dengan antusiasme yang tinggi dari warga masyarakat khususnya warga Solo.
Masih dari sumber yang sama, menurut kepercayaan orang Jawa, satu diantara kisah yang banyak berkembang di tengah masyarakat, Kebo Bule ini dianggap membawa berkah dan keselamatan dari Yang Maha Kuasa.
Karena itulah kedatangannya selalu dinantikan dan banyak warga yang berusaha untuk memegang, mengambil air jamasan. Ada juga yang berbondong-bondong mengambil kotoran si Kebo Bule yang terjatuh di jalan saat ritual mubeng beteng membawa pusaka-pusaka milik Keraton Kasunanan karena dipercaya memiliki khasiat tertentu.
Kebo bule pusaka keraton ini bernama Kyai Slamet, Kebo Bule Kyai Slamet.
----
Minggu (7/7) kemarin, Keraton Surakarta menggelarmenggelar kirab pusaka untuk memperingati malam 1 Suro. Dalam kirab tersebut, pihak Keraton mengeluarkan tujuh ekor kerbau bule atau kebo bule sebagai tandadimulainya kirab pusaka malam 1 Suro.
Kebo bule itu dikirab untuk mengawal sejumlah pusaka keraton pukul 23.31 WIB. Pusaka yang dikirab tersebut dibawa para abdi dalem keraton. Masing-masing ada 21 abdi dalem mengawal pusaka yang dikirab.
Raja Keraton Solo, Pakubuwana XIII beserta permaisuri dan putra mahkota ikut kirab pusaka malam 1 Suro. Kirab mengambil rute Supit Urang, Jalan Pakubuwana, Gapura Gladag, Jalan Mayor Kusmanto, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Veteran, Jalan Yos Sudarso, Jalan Slamet Riyadi dan kembali ke Keraton Solo.
Kerabat Keraton Solo GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng mengatakan, tujuh ekor kebo bule yang dikirab satu di antaranya masih anakan. Kebo bule ini sudah terbiasa dikeluarkan untuk kirab.
Kemudian untuk pusaka yang dikirab ada 12 pusaka. Kirab pusaka diawali dengan prosesi wilujengan.
"Kalau tadi yang saya cek yang disiapkan dari dalam itu ada tujuh dan yang sasana pustoko yang sebetulnya peruntukannya untuk mendampingi Sinuhun untuk kirab itu kita siapkan lima," kata Gusti Moeng di Keraton Solo, Jawa Tengah, Minggu malam.
Dia menambahkan, ada 400 orang sentono dan abdi dalem keraton yang dilibatkan ikut kirab pusaka malam 1 Suro. Para abdi dalem tersebut ada yang bertugas membawa dan mengawal pusaka keraton yang dikirab.
"Kami sudah menyiapkan santono dan abdi dalem itu 400 orang yang di mana setiap pusaka itu (dikawal) ada 20-21 orang. Ini berjalan seperti biasa, rute juga seperti biasa," ungkap dia.
Gusti Moeng menjelaskan, kirab pusaka malam 1 Suro mengandung makna permohonan. "Sebetulnya ini lebih dari permohonan. Karena pusaka-pusaka ini dibikin dengan tujuan yang sangat luar biasa, juga dibikin dengan lahir dan batin oleh empu-empunya di situ tercurah doa-doa untuk apa yang dibutuhkan waktu itu pastinya yang memerintahkan adalah raja," terang dia.
---
Soal nama,Kyai Slamet sendiri sebenarnya merupakan nama dari salah satu pusaka berbentuk tombak milik Keraton Kasunanan yang sering dibawa berkeliling tembok Baluwarti setiap Selasa dan Jumat Kliwon oleh Pakubuwono X.
Saat itulah si kebo bule selalu mengikuti di belakang. Karena Kebo Bule selalu membersamai saat tradisi ini dilakukan maka kebo ini kemudian identik dengan sebutan Kebo Bule Kyai Slamet karena ikut berjalan beriringan di belakang tombak Kyai Slamet.
Kebo Bule ini merupakan pemberian dari Bupati Ponorogo, Kyai Hasan Besari Tegalsari. Hadiah itu diberikan Bupati Ponorogo setelah Pakubuwono II berhasil merebut kembali Keraton Kartasura dari tangan pemberontak Pecinan yang kemudian dilanjutkan dengan hijrahnya kerajaan dari Kartasura ke Desa Sala pada 20 Februari 1745.
Pemberian kerbau ini dimaksudkan sebagai pengawal dari tombak Kyai Slamet tadi.
Yang menarik dari kisah ini ternyata dipilihnya Desa Sala sebagai lokasi kerajaan yang baru karena ada peran sang kebo bule. Ketika proses pindah kerajaan, kerbau ini dilepas dan dibiarkan berjalan sendiri hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi lokasi Keraton Kasunanan berdiri.
Lebih lanjut, kerbau kesayangan Pakubuwono II yang diberikan sebagai hadiah tentu memiliki makna tersendiri yaitu sebagai lambang rakyat kecil utamanya kaum petani dan simbol penolak bala karena kerbau dipercaya memiliki kepekaan dalam mengusir roh jahat dan atau mampu menghilangkan niatan buruk.
Selain itu, meski kerbau identik dengan hewan bodoh justru inilah yang dijadikan sebagai pengingat bahwa sebagai manusia yang berakal budi haruslah menjadi manusia yang pintar dan jangan sampai bertindak serta berpikir bodoh selayaknya kerbau.