Intisari-online.com -Pada paruh kedua abad ke-20, praktik teroris mencakup penyitaan dan pembajakan pesawat yang membawa sandera.
Dalam situasi seperti itu, nasib penumpang berada di tangan dinas keamanan maskapai dan tentara pasukan khusus.
Pembajakan pesawat Voila Indonesia oleh ekstremis Islam pada bulan Maret 1981 menimbulkan kemarahan internasional, dan tindakan kompeten para pejuang Kopassanda, pasukan khusus Indonesia , sangat diapresiasi oleh rekan-rekan mereka di Barat.
_____________________________________________________________________
Sejak tahun 1968, dengan dimulainya tindakan aktif oleh warga Palestina dan teroris yang bersimpati dengan mereka, pembajakan pesawat penumpang hampir menjadi hal yang lumrah.
Situasi semakin memburuk sehingga pada bulan Desember 1970, sepuluh negara menandatangani Konvensi Den Haag untuk Pemberantasan Penyitaan Pesawat Udara yang Melanggar Hukum.
Dokumen tersebut tidak memberikan efek yang cepat: tahun 70-an abad kedua puluh menjadi “zaman keemasan” pencurian yang sesungguhnya.
Hanya dalam dekade berikutnya, dengan berkembangnya langkah-langkah keamanan dalam penerbangan sipil, gelombang kejahatan ini mulai menurun.
Meski demikian, kasus pembajakan pesawan pun juga pernah menimpa salah satu maskapai milik Indonesia.
Pada tanggal 28 Maret 1981, Indonesia dikejutkan dengan peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia DC-9 dengan nomor penerbangan 206. Pesawat yang membawa 34 orang di dalamnya, termasuk 6 orang asing, dibajak setelah lepas landas dari Bandara Kemayoran Jakarta menuju Palembang-Medan.
Baca Juga: Hindia Belanda Banggakan Kekayaan Alam yang Dikeruk Dari Indonesia
Kejadian ini terjadi di tengah latihan militer skala besar yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di wilayah Timor dan Kepulauan Maluku. Presiden Soeharto dan para petinggi militer sedang berada di Ambon saat berita pembajakan ini sampai.
Para pembajak, yang berjumlah 5 orang, awalnya ingin pesawat diterbangkan ke Kolombo, Sri Lanka. Namun, karena keterbatasan bahan bakar, pesawat diarahkan ke Penang, Malaysia. Di sana, seorang penumpang wanita tua yang histeris diturunkan.
Pesawat kemudian melanjutkan penerbangannya ke Bangkok, Thailand, dan mendarat di Bandara Don Mueang sekitar pukul 5 sore. Para pembajak menuntut beberapa hal, di antaranya pengusiran personel militer Israel dari Indonesia, pengunduran diri Wakil Presiden Adam Malik, dan pembebasan 80 tahanan politik.
Pemerintah Indonesia segera bergerak cepat untuk menangani situasi ini. Letnan Kolonel Sintong Pandjaitan, seorang perwira Kopassus yang berpengalaman, ditunjuk untuk memimpin tim anti-teroris yang terdiri dari 72 orang.
Pasukan khusus ini berlatih intensif di Jakarta, mempelajari replika pesawat DC-9 dan menyusun strategi penyerbuan. Jenderal Benny Moerdani, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), turut terlibat dalam operasi ini dan bahkan menyuplai tim dengan senjata dan rompi anti peluru yang diperoleh secara ilegal.
Pada tanggal 31 Maret 1981, dini hari, tim anti-teroris yang dipimpin Sintong diterbangkan ke Bangkok secara diam-diam. Mereka menyamar sebagai teknisi pesawat dan membawa peti mati kosong untuk mengelabui para pembajak.
Operasi penyelamatan yang menegangkan ini dinamakan "Operasi Woyla", diambil dari nama sungai di Sumatera Selatan. Tim dibagi menjadi beberapa kelompok dengan tugas masing-masing, seperti penyerbuan, evakuasi sandera, dan penjinakan bom.
Di Bangkok, pasukan khusus yang datang disambut oleh Jenderal Jogo Sugomo, Kepala Badan Intelijen Nasional Indonesia. Selama lebih dari 24 jam dia telah bernegosiasi dengan teroris.
DC-9 yang dibajak ditarik ke Area A Bandara Don Mueang yang kosong: pesawat tersebut ditugaskan ke Angkatan Udara Kerajaan Thailand dan praktis tidak digunakan pada saat itu. Pada pagi hari tanggal 29 Maret, salah satu sandera, seorang warga Inggris, berhasil melarikan diri melalui pintu darurat di dalam pesawat.
Menurut dia, pembajak berjumlah lima orang, bersenjatakan pistol otomatis, satu granat, dan satu bungkus dinamit.
Tepat pada pukul 01:00 pagi, Operasi Woyla dimulai. Tim penyerbu menerobos masuk ke pesawat melalui pintu darurat di bagian belakang dan depan. Baku tembak sengit terjadi di dalam kabin, dan dua pembajak berhasil dilumpuhkan.
Tiga pembajak lainnya melarikan diri ke kokpit dan mengancam akan meledakkan pesawat. Negosiasi alot dilakukan untuk menenangkan mereka, dan akhirnya mereka menyerah setelah Kapten pilot Wendy Suposo berhasil melumpuhkan mereka dengan granat asap.
Operasi Woyla berlangsung selama 2 jam dan menelan korban jiwa 1 orang sandera dan 4 pembajak. 29 sandera lainnya berhasil diselamatkan, termasuk 6 orang asing.
Keberhasilan Operasi Woyla menjadi bukti ketangguhan dan profesionalisme pasukan khusus Indonesia dalam menangani situasi krisis. Operasi ini juga menjadi pengingat pentingnya menjaga keamanan penerbangan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman terorisme.
Operasi Woyla menjadi salah satu operasi anti-teroris paling sukses dalam sejarah Indonesia. Keberhasilannya tidak hanya menyelamatkan nyawa para sandera, tetapi juga memperkuat citra Indonesia di kancah internasional.
Operasi ini juga menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia dalam meningkatkan standar keamanan penerbangan dan memperkuat kerjasama antar lembaga dalam menangani ancaman terorisme.
*