Saat ini Intisari hadir diWhatsApp Channel, ikuti kami di sini
Intisari-online.com - Setelah membebaskan diri dari penjajahan Belanda, Indonesia mengalami periode turbulensi. Soekarno, sebagai presiden pertama, memproklamirkan era demokrasi terpimpin.
Langkah-langkahnya termasuk pembubaran parlemen dan partai-partai politik, dengan pengecualian partai komunis yang menjadi sekutu utamanya. Dia juga mengimplementasikan keadaan darurat militer dan menetapkan dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Mengutip dari Forbes, Soekarno berpendapat bahwa "setiap negara memerlukan musuh" dan menuding Belanda, Amerika Serikat, dan Malaysia sebagai lawan.
Namun, pada tahun 1964, inflasi melonjak melebihi 500%, harga beras masyarakat Indonesia melambung hingga 900%, dan pengeluaran pemerintah melipatgandakan pendapatan. Dalam upaya untuk memperbaiki keadaan, Sukarno pada tahun 1965 mencoba membentuk aliansi Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang, mengandalkan dukungan dari Mao Zedong dan Kim Il Sung.
Namun, situasi domestik semakin memanas. Pada 30 September 1965, sekelompok komunis dan perwira militer yang mendukung presiden membunuh enam perwira tinggi dan berusaha mengambil alih kekuasaan.
Soeharto, yang tidak dianggap sebagai ancaman oleh pemberontak, bertindak cepat dan menumpas pemberontakan tersebut. Konflik berdarah pun terjadi, dengan tentara dan sukarelawan membunuh atau menangkap banyak komunis dan simpatisannya.
Estimasi korban jiwa mencapai setengah juta orang, namun tidak ada investigasi independen yang mengkonfirmasi perintah pembunuhan dari Soeharto.
Soeharto, di bawah tekanan rekan-rekan militernya, akhirnya setuju untuk menjadi presiden sementara dan secara resmi diangkat oleh parlemen pada Maret 1968. Soeharto mengingat, seperempat abad kemudian, bahwa ia menolak untuk mengambil kekuasaan secara paksa karena tidak ingin meninggalkan warisan kudeta militer.
Demi menjaga kesatuan bangsa yang terdiri dari ratusan suku dan tersebar di ribuan pulau, Soeharto tidak menentang Soekarno secara terbuka. Ia mempertahankan ideologi Pancasila yang diperkenalkan oleh Soekarno sebagai dasar negara.
Baca Juga: Kisah Sisa-Sisa Tentara Jepang di Taman Makam Pahlawan Indonesia
Era Orde Baru di bawah Soeharto didukung oleh militer, yang menguasai berbagai aspek pemerintahan. Partai Golkar, yang dibentuk dari serikat-serikat pekerja, menjadi partai dominan, dengan dua partai lain yang diizinkan memiliki beberapa kursi legislatif.
Setiap lima tahun, Soeharto terpilih kembali sebagai presiden. Oposisi ditangani oleh badan-badan khusus yang mengawasi partai-partai politik, memanipulasi pemilu, dan mengeliminasi politisi yang tidak diinginkan.
Soeharto menerapkan filosofi Jawa "alon-alon asal kelakon" yang berarti "perlahan tapi pasti". Gaya kepemimpinannya dianggap sebagai kediktatoran berdasarkan konsensus, di mana ia tidak pernah memaksakan kehendaknya dan selalu mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Soeharto berkomitmen pada pembangunan Indonesia. Langkah pertamanya adalah mengakui Malaysia dan mengakhiri konfrontasi. Pemerintah mengadopsi reformasi ekonomi, termasuk penghapusan defisit anggaran, pengendalian inflasi, dan promosi investasi asing. Para ekonom yang tergabung dalam pemerintahannya menjadi arsitek kebijakan baru ini.
Untuk memenuhi kebutuhan dasar, Indonesia meminjam dana dari pengusaha Tionghoa di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Para ahli dari USAID, Bank Dunia, dan IMF yang sebelumnya diusir oleh Sukarno kembali ke Indonesia. Pinjaman dari Barat membantu Soeharto menyelesaikan tugas utama, menyediakan beras impor untuk rakyat dan melunasi utang kepada Uni Soviet dan Tiongkok.
Indonesia kemudian fokus pada pengembangan sumber daya internal, mengikuti jejak "harimau Asia Timur" lainnya. Ekonom yang ditunjuk Soeharto mengendalikan Bank Sentral dan Kementerian Keuangan, menerapkan kebijakan fiskal yang ketat dan menekan inflasi. Proyek-proyek besar di sektor riil dilaksanakan oleh bisnis besar dan militer. Soeharto berperan sebagai mediator, memastikan tidak ada yang menyimpang dari jalur modernisasi.
BULOG, yang mengatur harga dan distribusi makanan, memainkan peran penting dalam ekonomi. Di negara dengan tingkat kemiskinan tinggi dan beras sebagai makanan pokok, BULOG memiliki pengaruh politik yang signifikan. Berkat BULOG, Indonesia mencapai swasembada beras.
Menurut catatan Forbes, kebijakan ekonomi Soeharto membawa banyak keberhasilan. Pada tahun 1965, industri tidak berkontribusi pada ekspor, pada tahun 1993, kontribusinya melebihi 50%. Tingkat kemiskinan turun drastis, PDB per kapita meningkat 3,6 kali, dan Indonesia melampaui Cina dan India dalam pertumbuhan ekonomi. Pendidikan menjadi universal, dan program keluarga berencana berhasil dilaksanakan.
Saat ini Intisari hadir diWhatsApp Channel, ikuti kami di sini
Dapatkan artikel teupdate dari Intisari-Online.com diGoogle News