Intisari-Online.com – Alkisah, tumbuhlah sebuah pohon yang rindang. Seorang pedagang bersama anaknya sedang berteduh dan beristirahat di bawahnya. Tampaknya mereka kelelahan setelah berdagang di kota. Dengan menggelar sehelai tikar, duduklah mereka dibawah pohon yang besar itu.
Angin sepoi-sepoi membuat sang pedagang mengantuk. Namun, tidak demikian dengan anaknya yang masih belia. Katanya, “Ayah, aku ingin bertanya…” Terdengar suara yang mengusik ambang sadar si pedagang. “Kapan aku besar, Ayah? Kapan aku bisa kuat seperti Ayah, dan bisa membawa dagangan kita ke kota?”
“Sepertinya,” lanjut sang bocah, “aku tak akan bisa besar. Tubuhku ramping seperti Ibu, berbeda dengan Ayah yang tegap dan berbadan besar. Kupikir, aku tak akan sanggup memikul dagangan kita jika aku tetap seperti ini.” Jari tangannya tampak mengores-gores sesuatu di atas tanah. Lalu, ia kembali melanjutkan, “Bilakah aku bisa punya tubuh besar sepertimu, Ayah?”
Sang Ayah yang awalnya mengantuk, mendengar pertanyaan anaknya, hilang sudah rasa kantuknya. Diambilnya sebuah biji, di atas tanah yang sebelumnya di kais-kais oleh anaknya. Diangkatnya biji itu dengan ujung jari telunjuk. Benda itu terlihat seperti kacang yang kecil, ukuran yang tak sebanding dengan tangan pedagang yang besar-besar.
Kemudian, ia pun mulai berbicara. “Nak, jangan pernah malu dengan tubuhmu yang kecil. Pandanglah pohon besar tempat kita berteduh ini. Tahukah kamu, batangnya yang kokoh ini, dulu berasal dari biji yang sekecil ini. Dahan, ranting dan daunnya, juga berasal dari biji yang Ayah pegang ini. Akar-akarnya yang tampak menonjol, juga dari biji ini. Dan kalau kamu menggali tanah ini, ketahuilah, sulur-sulur akarnya yang menerobos tanah, juga berasal dari tempat yang sama.”
Diperhatikannya wajah sang anak yang tampak tertegun. “Ketahuilah Nak, biji ini menyimpan segalanya. Benih ini menyimpan batang yang kokoh, dahan yang rindang, daun yang lebar, juga akar-akar yang kuat. Dan untuk menjadi sebesar pohon ini, ia hanya membutuhkan angin, air, dan cahaya matahari yang cukup. Namun jangan lupakan waktu yang membuatnya terus bertumbuh. Pada mereka semualah biji ini berterima kasih, karena telah melatihnya menjadi mahluk yang sabar.
Suatu saat nanti, kamu akan besar, Nak. Jangan pernah takut untuk berharap menjadi besar, karena bisa jadi, itu hanya butuh ketekunan dan kesabaran.”
Terlihat senyuman di wajah mereka. Lalu keduanya merebahkan diri, meluruskan pandangan ke langit lepas, membayangkan berjuta harapan dan impian dalam benak. Tak lama berselang, keduanya pun terlelap dalam tidur, melepaskan lelah mereka setelah seharian bekerja.
Jangan pernah merasa malu dengan segala keterbatasan kita. Jangan merasa sedih dengan ketidaksempurnaan. Karena Tuhan menciptakan kita penuh dengan keistimewaan. Dan karena Tuhan memang menyiapkan kita menjadi mahluk dengan berbagai kelebihan.
Mungkin suatu ketika, kita pernah merasa kecil, tak mampu, tak berdaya dengan segala persoalan hidup. Kita mungkin sering bertanya-tanya, kapan kita menjadi besar, dan mampu menggapai semua impian, harapan dan keinginan yang ada dalam dada. Kita juga bisa jadi sering membayangkan, bilakah saatnya berhasil? Kapankah saat itu akan datang? Tuhan Maha Tahu, ia tidak akan pernah melupakan saatnya kita akan menemukan jalan keberhasilan.
Jangan pernah berkecil hati. Semua keberhasilan dan kesuksesan itu telah ada pada diri kita masing-masing. (BMSPS)