Intisari-Online.com – Alkisah, ada seekor puyuh kecil. Meskipun memiliki kaki dan sayap yang kecil, ia belum bisa berjalan atau terbang. Orang tuanya bekerja keras membawa makanan ke sarang, memberinya makan dari paruh mereka.
Di bagian dunia, kebakaran hutan terjadi setiap tahun. Semua burung yang mampu terbang memberi tanda pertama adanya asap. Api semakin menyebar, dan semakin mendekat ke sarah puyuh, orang tua puyuh tetap bersama si puyuh kecil. Ketika api sudah begitu dekat, mereka juga harus terbang untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Semua pohon, besar dan kecil, terbakar dan berderak dengan suara keras. Si puyuh kecil melihat semuanya telah dihancurkan oleh api yang mengamuk di luar kendali. Ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan dirinya. Pada saat itu, pikirannya diliputi oleh perasaan tidak berdaya.
Kemudian terpikir olehnya, “Orang tuaku sangat mencintaiku. Mementingkan diri mereka membangun sarang bagiku, dan kemudian makan tanpa serakah. Ketika api datang, mereka tetapi denganku sampai saat terakhir. Semua burung lain yang bisa, telah terbang jauh sebelum api mendekat.
Begitu besar cinta kasih dari orang tuaku, bahwa mereka tinggal dan mempertaruhkan nyawa mereka, tapi tetap saja mereka tidak berdaya untuk menyelamatkanku. Karena mereka tidak bisa membawaku, mereka terpaksa terbang sendirian. Aku berterima kasih kepada mereka, di mana pun mereka, mereka begitu mencintaiku. Aku berharap dengan sepenuh hati, mereka akan aman, baik, dan bahagia.
Sekarang aku sendirian. Tidak ada yang bisa membantuku. Aku punya sayap, tapi aku tidak bisa terbang. Aku punya kaki, tapi aku tidak bisa lari. Tapi aku masih bisa berpikir. Semua yang tersisa adalah pikiranku, pikiran yang masih murni hanya makluk yang kukenal adalah orang tuaku, dan pikiranku telah diisi dengan cinta kasih terhadap mereka. Aku tidak melakukan hal yang tidak baik kepada siapa pun. Aku dipenuhi kebenaran, bagai bayi yang baru lahir.”
Kemudian keajaiban yang menakjubkan terjadi. Puyuh kecil yang lugu itu tumbuh dan tumbuh hingga menjadi lebih besar dari burung yang paling kecil. Pengetahuan tentang kebenaran pun menyebar.
Kemudian puyuh yang sudah menjadi besar dalam pikiran puyuh mungil itu berpikir, “Semoga kebenaran bersatu dengan kemurnian kebajikan, dan kekuatan kebenaran. Semoga semua burung dan makhluk lainnya, yang masih terjebak oleh api, diselamatkan. Dan mungkin tempat ini aman dari api selama jutaan tahun.”
Demikianlah, kebenaran, kebajikan, dan kasih sayang dapat menyelamatkan dunia.