Intisari-Online.con – Merasa sudah cukup menyelami kehidupan glamor, Any memilih aktif dalam berbagai aktivitas sosial. Perlahan-lahan ia mulai menemui makna dari kehidupan yang sekarang dijalaninya. Tulisan ini berkisah tentang Any Kusuma Dewi, Bunda bagi Anak Jalanan Kota Tua, yang ditulis oleh Birgitta Ajeng dan pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2014.
--
Sabtu siang di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Waktu mendekati pukul 15.00, ketika di salah satu sudut dari pusatnya Jakarta masa lalu itu ramai oleh celoteh sekitar seratusan anak usia 5 – 12 tahun. Di teras sebuah bangunan kantor pos, anak-anak kaum papa Ibukota itu tampak asyik mengikuti kegiatan bermain sambil belajar atau roang menyebutnya sekolah anak jalanan.
Meski sekali terdengar tawa canda, umumnya anak-anak yang berseragam kaos merah bertuliskan Yayasan Tri Kusuma Bangsa itu begitu serius mengikuti arahan dari kakak-kakak pengasuh. Mereka terbagi berdasarkan usia dan memiliki tugasnya masing-masing seperti prakarya, mewarnai, menggambar, serta membaca huruf Arab.
Cuaca panas atau hujan, tak menyurutkan semangat anak-anak yang datang dari berbagai aktivitas jalanan. “Bisa dibilang mereka kumpulnya cuma seminggu sekali. Ini kesempatan mereka bermain bersama-sama,” tutur Any Kusuma Dewi yang selalu aktif membimbing. Sesekali Bunda Any, begitu sapaan Any, mengingatkan anak-anak itu agar serius mengerjakan tugasnya.
Bukan hanya perhatian, kehadiran Any juga menjadi orangtua bagi beberapa anak yang mungkin tidak memilikinya. Ini seperti yang terlihat saat seorang anak perempuan berusia awal belasan, memeluk Any dan seolah berharap sentuhan kasih sayang. “Namanya Asih. Dia kalau ketemu saya selalu begitu. Tapi kalau ditanya, ‘Kamu kenapa?’, dia jawabnya enggak terlalu jelas,” tutur Any yang tampak tak canggung memberi pelukan.
Kali lain Any juga menjadi tumpuan harapan bagi orangtua yang memiliki masalah. Seperti misalnya suatu kali seorang pria melapor ke Any, tiga “anaknya” tidak bisa ikut bersekolah lantaran menghilang. Tiga anak yang sehari-hari bekerja di pertunjukan kuda lumping jalanan itu sepertinya terkena razia Satpol PP dan dibawa ke penampungan di Kedoya, Jakarta Barat. Untuk urusan semacam ini, Any pun berjanji untuk mengurus tiga anak didiknya itu.
Serba mewah
Siapa Any? Tak banyak informasi yang bisa ditelisik tentang perempuan berusia akhir 30 tahunan ini. Selain memang dia sendiri merasa tidak terlalu nyaman bercerita tentang kehidupan sehari-harinya. Apalagi kalau informasi itu dikaitkan dengan aktivitas sosialnya. Any hanya bercerita, sehari-hari menjadi direktur utama di sebuah perusahaan ekspedisi kapal laut. Suaminya kebetulan pemilik perusahaan itu.
Meski perekonomiannya cukup mapan, Any tidak ingin disebut sebagai bagian dari pergaulan masyarakat kalangan atas atau sering disebut sosialita. “Enggaklah, itu teman-teman saya saja,” tuturnya merendah. Dia hanya mengakui sempat mengenal kehidupan di kalangan ibu-ibu kaum berpunya di Ibukota yang begitu eksklusif. “Banyak orang yang mau, tapi tidak banyak orang bisa masuk ke sana, “ tutur dia.
Seperti sering diulas di media massa, kehidupan kalangan berpunya itu memang menuntut kemapanan finansial. Terutama pergaulan di kalangan yang akrab dengan hura-hura dan kemewahan. Pesta, arisan, baju, tas, perhiasan, jalan-jalan, dll; adalah sekilas gambarannya. Sambil sedikit tersenyum, Any membenarkan anggapan orang awam itu.
Bisa jadi karena Any luwes bergaul, dia bisa diterima dengan baik di lingkup pergaulan sosialita. Apalagi suaminya tidak berkeberatan dengan gaya hidup istrinya yang menuntut banyak biaya. Any menggambarkan kehidupannya saat itu, untuk tas perempuan bermerk ternama yang harganya Rp200 jutaan, dia mampu membeli dua buah dalam satu bulan. Semua itu harus terpenuhi agar “eksis” alias eksistensinya diakui oleh kelompoknya.
Aktivitas para ibu berpunya itu juga selalu diliputi kesenangan materi yang melebihi kewajaran. Arisan sampai ratusan juta rupiah, selalu berkumpul dengan dresscode yang berbeda-beda dalam satu hari, atau berbelanja dengan jumlah yang sangat fantastis. Namun Any mengaku tidak lantas menjadi jenuh dan risih. “Senang-senang saja kok. Enggak ada masalah,” tutur dia.
Menghilangnya Any dari pergaulan lamanya tentu saja menjadi bahan omongan teman-temannya. Berbagai tanggapan baik positif maupun negatif, tentu ada. Tapi Any mengaku bersyukur, karena dia menghilang bukan karena terlibat masalah dengan teman-temannya. Dan seiring berjalannya waktu, teman-temannya juga memahami aktivitas barunya ini bukan karena ada pamrih.
- bersambung -