Ketupat Babanci Betawi yang Malang

Moh Habib Asyhad

Penulis

Ketupat Babanci Betawi yang Malang
Ketupat Babanci Betawi yang Malang

Intisari-Online.com -Jika ditanya soal makanan khas Betawi, orang hanya mengenal kerak telor, soto betawi, gado-gado, atau nasi uduk. Selain jenis-jenis yang sudah disebutkan tadi, sejatinya ada jenis kuliner lain yang tak banyak orang tahu karena sudah tidak ada yang menjual. Kuliner ikonik itu adalah ketupat babanci yang kerap disuguhkan pas momen Hari Raya Idul Fitri.

Seperti yang pernah ditulis oleh Harry Nazaruddin dalam buku Betawi Ngak Ada Matinye, ketupat babanci atau sayur babanci sejatinya bukanlah sayur—bahkan tidak ada sayurnya sama sekali. Konon, nama babanci diambil dari “perilaku” sayur ini yang tidak jelas kelaminnya alias banci; gule tidak, kare tidak, soto juga tidak.

Ada juga yang bilang bahwa nama babanci diambil dari perpaduan antara “babah” dan “enci” yang disinyalir makanan ini dulunyadibuat oleh para peranakan Betawi-Tionghoa. Itu bisa saja benar, karena dari beberapa sumber mengatakan, hanya dari golongan mandor dan tuan tanah saja yang bisa menghadirkan makanan pada hari raya.

Secara umum, ketupat babanci atau sayur babanci menyerupai gule yang sangat dominan di aroma dan rasa rempah yang kuat. Daging yang dipakai adalah kepala sapi tapi tidak menyertakan otak, lidah, dan cingur. Selain daging kepala sapi, di akhir pembuatan ketupat ini dimasukkan serutan kelapa dan srundeng yang ditumbuk halus.

Untuk membuat soto babanci, diperlukan 21 jenis bahan, bumbu, dan rempah. Untuk saat ini beberapa jenis rempah yang dipakai sudah termasuk dalam jenis langka. Misalnya lempuyang, kedaung, dan temu kunci.

Lazimnya kuliner Betawi pada umumnya, ketupat babanci juga mencermikan karakter masyarakat Betawi yang jenaka dan nyleneh. Nama babanci, selain dianggap tidak berkelamin, ada juga yang beranggapan bahwa ketupat ini dulu adalah penganan favorit para banci atau waria. Ada-ada saja.

Tapi sayang, ketupat ini sudah tidak banyak dicium keberadaannya. Jika pun ada, praktis itu hanya ketika kegiatan-kegiatan akbar saja. Lebaran misalnya, bazar, atau pesta kuliner yang hanya diadakan setahun sekali. (Dari Berbagai Sumber)