Intisari-Online.com -Soal kuliner, jangan pernah meragukan Banjarmasin. Beragam kuliner lezat bisa ditemukan di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan ini. Mulai dari masak habang alias masak merak atau soto banjar. Ada juga haruan betanak yang menggunakan ikan gabus sebagai bahan dasarnya.
Masih soal urusan perut, ada satu hal lagi yang menjadi begitu khas di Banjarmasin, yaitu wadai 41. Wadai bukan hanya persoalan mengisi kebutuhan perut belaka, tapi juga menjadi simbol warna kehidupan tumbuh kembangnya masyarakat Banjar.
Wadai 41 merupakan sebutan untuk puluhan jenis makanan khas Banjar yang selalu dihadirkan dalam perayaan tradisional di Kalimantan Selatan. Lantas muncul pertanyaan, kenapa harus angka “41”?
Beberapa kalangan menganggap angka 41 sebagai sesuatu yang sakral, sama sakralnya dengan hari ke-41. Sebagian juga menyakini bahwa penganan yang dihidangkan berjumlah 41 jenis. Apapun itu, wadai selalu hadir dalam denyut nadi urang Banjar. Tak hanya sesekali muncul di upacara saja, tapi ia juga tersedia di banyak warung yang memang khusus menyediakan wadai.
Sudah ada sejak masa Hindu
“Wadai 41 adalah sesaji untuk para roh penghuni alam agar tidak mengganggu kehidupan manusia,” ujar Joerliani Dyohansyah, pegian kebudayaan Banjar kepada Tim Jelajah Kuliner Nusantara Kompas.
Tradisi kuliner ikonik ini sejatinya sudah ada sejak masa pra Islam di Kalimantan Selatan. Pada masa Kerajaan Dipa yang Hindu di Hujung Tanah—sekarang Kalimantan Selatan—tradisi ini sudah lazim dilakukan untuk berbagai macam upacara. Meski Kerajaan Dipa pada akhirnya takluk di tangan Pangeran Samudrera yang dibantu oleh Kesultanan Demak, tapi nyatanya wadai tetap bertahan sebagaimana mestinya.
Sejak awal, wadai 41 memang kaya simbol. Putih sebagai kebaikan, merah sebagai keberanian, kuning sebagai kemuliaan, dan hijau sebagai kemakmuran. Jika kesemua warna digabung maka maknanya adalah harmoni dalam kehidupan.
Wadai 41 sifatnya tidak mengikat. Dalam artian, penganan yang disajikan sebagai pelengkap bisa berubah sewaktu-waktu tergantung dengan selera zaman. “Jika dulu ada kopi manis dan kopi pahit sebagai pelengkap, kini sudah tidak lagi ditemukan. Komposisinya lebih banyak kue-kuean yang rasanya manis dan legit,” tambah Joerliani.