Intisari-Online.com - Taman Budaya Sendawar malam itu, awal November 2013, begitu meriah. Dua kerbau disembelih untuk dijadikan menu makan bersama di tempat berdirinya enam lamin (rumah adat Dayak) itu. Daging kerbau itu akan dimasak menjadi rendang. Kehadiran rendang di wilayah yang mayoritas suku Dayak yang umumnya makan babi itu tentu menarik perhatian.
Rendang menjadi semacam bahasa perdamaian di pedalaman Kalimantan. Rendang yang sudah masak kemudian disajikan dalam ratusan piring yang kemudian secara estafet ditaruh dalam meja panjang. Tangan-tangan yang mengalirkan rendang dan nasi putih itu menyerupai jalinan tali persaudaraan yang sambung- menyambung.
Tak seberapa lama, piring-piring makanan bertumpuk-tumpuk rapi di meja makan. Lalu, dimulailah pesta makan rendang kerbau bersama. Siapa pun yang hadir di Taman Budaya malam itu boleh menikmati sajian sepotong rendang dan nasi putih.
Prosesi masak dan makan bersama itu menjadi puncak dari seluruh acara gugu tahun untuk merayakan Ulang Tahun Ke-14 Kutai Barat. Mengapa rendang jadi pilihan? Lucia Mayo, istri Bupati Kutai Barat, Ismail Thomas, memang tidak bisa menjelaskan secara lebih detail. Namun, budayawan Dayak, Korrie Layun Rampan, melihat, pesta besar pada suku Dayak hampir selalu mengurbankan kerbau. Di sisi lain, masyarakat Dayak sudah lama hidup berdampingan dengan suku lain, seperti Melayu (Kutai), Banjar, dan Bugis.
”Barangkali pengaruh beragam bumbu berempah itu berasal dari luar, sementara dagingnya tetap kerbau,” kata Korrie. Ibarat kata, daging kerbaunya ”berasal” dari Dayak dan bumbunya berasal dari Melayu (Minang).
Lucia menceritakan bahwa rendang sudah lama dikenal di Kutai Barat. Rendang menjadi semacam menu katalisator, tali penyambung rasa persaudaraan di antara suku-suku yang ada di Kutai Barat. Di Taman Budaya ini, Pemerintah Kabupaten Kutai Barat membangun enam lamin sesuai dengan jumlah suku yang ada.
”Kita ada masyarakat dari suku Dayak Benoaq, Dayak Bahau, Dayak Tunjung, Dayak Kenyah, Dayak Aoheng, dan Melayu Kutai. Masing-masing memiliki satu lamin di Taman Budaya ini,” tutur Lucia. Konsep pendirian enam lamin ini mungkin mirip anjungan daerah di Taman Mini Indonesia Indah.
Namun, rendang, tambahnya, ada jauh sebelum enam lamin itu dibangun. Olahan makanan ini khusus dimasak saat digelar pesta besar, seperti menyambut gugu tahun. Juru masaknya pun hampir sebagian besar mereka yang memeluk Islam. (Kompas.com)